Dengarkan Artikel
Oleh Juni Ahyar
Senja itu turun pelan, seperti sebuah doa yang diam-diam disampaikan langit pada bumi. Raka berdiri di tepi jendela kamar kosnya, menatap jauh pada cakrawala yang mulai berwarna kelabu. Hujan rintik-rintik turun, menimbulkan aroma tanah basah yang mengingatkannya pada sesuatu—atau lebih tepatnya, pada seseorang. Nadira.
“Apakah kau juga menatap langit ini?” gumam Raka lirih. Pertanyaan itu tak pernah ia ucapkan pada siapa pun, kecuali pada dirinya sendiri dan Tuhannya. Ia memejamkan mata, membiarkan gerimis yang jatuh dari langit menjadi semacam pesan tak kasatmata yang mungkin sampai ke hati Nadira, di seberang sana.
Kenangan tentang gadis itu hadir begitu jelas. Nadira dengan rambut hitam panjang yang selalu dikepang sederhana, dengan senyum lembut yang mampu menenangkan badai di hati Raka. Mereka pertama kali bertemu di perpustakaan kampus. Nadira sedang menunduk membaca buku puisi Chairil Anwar, sementara Raka, yang hanya ingin mencari bahan kuliah, malah terpaku pada gadis itu. Sejak pertemuan itu, hati Raka tak pernah sama lagi.
Kenangan yang tak pernah padam di dalam pikirannya, Raka kembali ke hari-hari sederhana bersama Nadira. Hari ketika mereka menulis mimpi di kertas sobekan dan menggantungnya di pohon depan kampus. Nadira menulis: “Aku ingin hidup dengan sederhana, bersama orang yang kucintai, dalam ridha Allah.”
Saat itu Raka hanya tersenyum, tapi diam-diam menambahkan dalam hatinya: “Semoga akulah orang itu.”
Namun, waktu tidak selalu ramah. Setelah lulus, Nadira harus kembali ke kampung halamannya di kota kecil jauh di ujung barat. Orang tuanya sudah menyiapkan jalan hidup yang berbeda untuknya. Raka tahu, cintanya tak hanya diuji jarak, tapi juga restu.
Malam itu, di tengah gerimis, Raka membuka ponselnya. Ada satu pesan dari Nadira:
Nadira: “Rak, kamu baik-baik saja? Aku hanya ingin tahu, kamu masih ingat mimpimu dulu?”
Raka menatap layar ponselnya cukup lama sebelum menjawab.
Raka: “Aku ingat semua, Dir. Termasuk mimpiku untuk menua bersamamu.”
📚 Artikel Terkait
Hening. Tak ada balasan. Tapi tak lama, layar ponselnya kembali menyala.
Nadira: “Kalau itu takdirnya, aku pun takkan menolak. Aku rindu, Rak. Tapi aku pasrah pada Tuhan.”
Hati Raka seperti diremas. Dalam keheningan itu, ia melipat ponselnya di atas meja, lalu sujud. “Ya Allah,” ucapnya dalam hati, “aku merayu-Mu. Jika Engkau izinkan kami bersatu, aku berjanji akan menjaganya, bukan hanya dengan cinta, tapi dengan iman.”
Doa di bawah gerimis gerimis semakin deras, membasahi kaca jendela. Raka duduk bersandar di dinding, memandangi foto mereka saat wisuda—foto satu-satunya yang ia cetak dan bingkai.
“Nadira,” gumamnya, “sumpah mati aku rindu. Andai kau tahu betapa aku berdoa setiap malam untuk kita.”
Ia teringat malam-malam ketika Nadira menemaninya belajar, ketika mereka sama-sama lelah, tapi tetap saling menyemangati.
Nadira adalah satu-satunya orang yang selalu percaya pada Raka, bahkan ketika ia hampir menyerah pada hidup.
Kini, setiap malam, Raka sujud lebih lama. “Ya Allah, aku sebut namanya dalam doa. Aku tahu Engkau Maha Tahu isi hatiku. Aku tak meminta yang muluk, hanya izinkan aku menjaga anugerah ini jika ia memang tercipta untukku.”
Langit yang sama malam semakin larut. Gerimis berhenti, meninggalkan aroma tanah yang menenangkan. Raka kembali menatap langit yang mulai bertabur bintang. Di seberang kota yang jauh, Nadira mungkin sedang melihat langit yang sama.
Di ujung telepon, suara Nadira terdengar pelan ketika Raka memberanikan diri meneleponnya.
“Dir, kau baik-baik saja?”
“Baik,” jawab Nadira, meski suaranya terdengar rapuh. “Aku sering lihat langit, Rak. Dan aku selalu berharap, kau melihatnya juga. Mungkin, di langit itu, doa kita bertemu.”
Raka menahan napas, tak mampu berkata-kata. “Dir,” katanya pelan, “apapun yang terjadi, aku takkan berhenti berdoa. Jika Tuhan menakdirkan kita bersatu, aku takkan melepaskanmu.”
Sunyi. Hanya suara angin di sela-sela telepon. Lalu Nadira berkata, “Aku percaya, Rak. Aku juga menyebut namamu di dalam doa. Semoga kita bersama.”
Raka menatap bintang-bintang malam itu, merasa sedikit lebih tenang. Ia tahu, doa yang lahir dari hati takkan pernah hilang. Dan malam itu, di bawah langit yang sama, dua hati sedang sama-sama merayu Tuhan…
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini














