Dengarkan Artikel
Oleh: @Frida.Pigny | https://superschool.ing
“Aku malu jadi orang Aceh. Orang Aceh itu bodoh-bodoh.” Itu yang diucapkan seorang anak SD di Aceh. Ibunya orang Medan, ayahnya Aceh, dan mereka baru saja pindah ke sini. Tapi dalam waktu singkat, anak ini sudah menangkap stigma yang melekat pada daerah ini.
Reaksi pertama kebanyakan orang Aceh biasanya marah. Atau paling tidak, tersinggung. Jika satu-satunya respons adalah emosi negatif, tidak ada perubahan ke arah kemajuan yang akan terjadi.
Jim Rohn pernah berkata, “Formal education will make you a living; self-education will make you a fortune”, yang artinya kira-kira ‘bersekolah bisa bikin kamu punya nafkah, tapi belajar mandiri bisa bikin kamu kaya-raya’. Jadi, tidaklah cukup hanya mengandalkan pendidikan formal jika ingin maju dan berinovasi.
Lihatlah Korea Selatan tahun 1950-an, negara yang miskin dan hancur lebur akibat perang. Mereka memilih untuk tidak tenggelam dalam keterpurukan. Mereka menanamkan mentalitas “pali-pali” atau serba cepat dan selalu ingin maju. Hasilnya? Dari negara yang kelaparan, mereka kini menjadi salah satu ekonomi terbesar dunia.
Sebaliknya, jika kita hanya mengandalkan kebanggaan kosong dari kejayaan masa lalu nektu dan membesarkan Sultan tanpa aksi, kita akan tetap berada di titik yang sama. Kemajuan membutuhkan energi. Dan energi harus mengalir ke arah yang tepat. Kalau selama ini kita hanya sibuk mempertahankan harga diri dan tersinggung ketika ada kritik, maka kita sedang membuang energi ke tempat yang salah.
Pertumbuhan selalu menyakitkan. Kita tahu betul akan hal itu, tapi kebanyakan kita melupakannya. Masih ingat waktu kita tumbuh gigi? Atau saat jatuh berkali-kali saat kita belajar jalan? Orang Jepang memahami ini. Setelah kalah dalam Perang Dunia II, mereka tidak sibuk menyalahkan dunia. Mereka menerapkan Kaizen, filosofi perbaikan terus-menerus, dan sekarang mereka menjadi salah satu kekuatan industri terbesar dunia. Kontras dengan mentalitas di Aceh yang masih sibuk mencari kambing hitam, bukan solusi.
Bagaimana dengan pola asuh? Di negara-negara Skandinavia, anak-anak sejak kecil diajarkan tentang ‘boundary’ atau batasan pribadi, kemandirian, dan tanggung jawab. Di Aceh, banyak orang tua masih berpikir bahwa menjadi orang tua otomatis berarti paham parenting atau pendidikan mengasuh. Padahal, parenting punya masa kadaluarsa. Anak bukan milik kita selamanya, dan cara mendidik mereka harus berkembang sesuai zaman. Jika kita tetap berpikir bahwa pola asuh lama sudah cukup, kita sedang membangun generasi yang rapuh.
Harvard University dalam risetnya menyebutkan bahwa anak yang diberikan kebebasan berpikir sejak dini akan tumbuh dengan rasa percaya diri lebih tinggi dan lebih mampu mengambil keputusan matang dalam hidupnya.
Ini bukan sekadar teori. Lihatlah putra daerah Aceh, Iskandar, yang membawa Indonesia Airlines ke Singapura. Dia berani keluar dari zona nyaman, tidak menunggu pengakuan dari tanah kelahirannya, dan justru di luar negeri, ia membuktikan bahwa orang Aceh bisa bersaing di kancah global.
Sayangnya, kisah sukses seperti ini jarang dibanggakan di tanah sendiri. Kita lebih sibuk mengagungkan kejayaan masa lalu tanpa benar-benar membangun masa depan. Ibarat menyetir dengan mata yang selalu terfokus pada kaca spion, terus-menerus melihat ke belakang, padahal kaca itu tidak dimaksudkan untuk menggantikan lebar pandangan dari kaca depan saat menyetir. Fokus ke depan sangatlah diperlukan.
Langkah pertama menuju perubahan adalah mengenali ‘noise’ atau gangguan yang menghambat. Begitu kita bisa memilah mana opini yang harus didengar dan mana yang harus diabaikan, kita baru bisa menentukan langkah nyata. Kebanyakan orang lebih suka menghindari rasa sakit daripada mengejar kemajuan, karena memang perubahan itu tidak nyaman. Tapi sukses itu sendiri tidak pernah menjadi jalur yang nyaman. Hanya yang berani dan mau menabrak dinding tebal berduri saja yang bisa melewatinya.
Saya pikir sangat penting jika sekolah-sekolah mulai mengajarkan Growth Mindset atau pola pikir bertumbuh yang mengajarkan critical thinking, problem-solving, dan leadership. Juga, menanamkan karakter kewirausahaan sedari dini. Bukan hanya sekadar berjualan kue buatan ibu di bazar sekolah, tetapi lebih kepada mengajarkan bagaimana membangun bisnis berbasis inovasi digital, teknologi, dan ekonomi kreatif sejak dari TK. Sekolah-sekolah bisa bermitra dengan pengusaha sukses asal Aceh, seperti Iskandar, untuk mentorship langsung bagi siswa.
Ide lainnya yang mungkin efektif untuk diterapkan agar masyarakat kita bisa segera maju yaitu mewajibkan kelas parenting sebelum menikah. Pemerintah Aceh bisa mengadopsi model negara-negara maju yang mewajibkan kelas parenting sebagai bagian dari persiapan pernikahan. Materi yang diajarkan termasuk memahami psikologi anak, komunikasi efektif, dan cara mendidik anak agar siap menghadapi dunia modern.
Di banyak negara maju seperti Norwegia, Jerman, Singapura, Prancis, Australia, dan beberapa negara bagian di Amerika, kelas parenting menjadi bagian penting dalam persiapan pernikahan atau sebelum memiliki anak. Skandinavia mendorong kursus parenting untuk membangun komunikasi keluarga yang sehat, dan Jerman menawarkan Elternschule sebagai panduan pola asuh. Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah Singapura mendorong kursus parenting sebagai bagian dari kebijakan keluarga. Sementara Perancis memiliki “École des Parents et des Éducateurs” (EPE) atau Sekolah Orang Tua dan Pendidik, yang menawarkan pelatihan dan konseling bagi calon orang tua serta mereka yang menghadapi tantangan dalam membesarkan anak. Di Australia dan beberapa negara bagian AS mewajibkan kelas parenting terutama dalam kasus perceraian.
Intinya, menjadi orang tua bukan sekadar menghindari status ‘perawan tua’, tapi merupakan keterampilan yang harus dipelajari. Jadi, hentikan penanaman ide untuk menikah dini pada anak-anak muda Aceh kalau tidak mau meningkatkan jumlah janda-duda di negeri rencong ini.
Data menunjukkan bahwa angka perceraian di Aceh cukup signifikan. Pada tahun 2024, Mahkamah Syar’iyah (MS) Aceh mencatat total perceraian di Aceh sebanyak 7.103 perkara.
Terkadang kebanyakan orang tua tidak menyadari bahwa dengan menyuntik ide ‘cepat-cepat menikah’ pada anak-anak mereka dapat menciptakan korban generasi penerus. Bayangkan efeknya bagi anak-anak yang dilahirkan dari pasangan-pasangan yang bercerai ini. Kebanyakan bukan satu anak, karena masih banyak orang kita yang memegang teguh tradisi ‘banyak anak banyak rezeki’.
Jika Aceh ingin maju, pendidikan pola pikir bertumbuh dan kelas motivasi harus menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah dan mewajibkan kelas parenting sebelum menikah bagi pasangan yang hendak melaksanakan sunah Rasul. Kedua hal ini bisa menjadi langkah revolusioner untuk membangun generasi unggul Aceh kedepannya.
Jadi, apakah kita masih tersinggung saat anak-anak SD menyindir kita sebagai ‘bangsa yang bodoh’? Apakah kita tetap memilih sibuk melihat masa depan dengan kaca spion karena sudah terbiasa? Sementara, Singapura akan terus terbang dengan Indonesia Airlines. Kita? Masih di lampu merah, debat siapa yang salah. Cukup sudah berpuas diri dengan label ‘Aceh Pungö’. Kini saatnya kita menginjak gas dan melaju ke depan karena sekarang Aceh ‘Teupü Droë’.(*)
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini






