Dengarkan Artikel
Oleh: Frida.Pigny
Di tengah padatnya lalu lintas Kota Banda Aceh, ada satu nama jalan yang sering luput dari perhatian sejarah: Jalan Mohd. Jam. Banyak warga mengira nama ini berasal dari profesi “tukang jam” karena di kawasan itu berjajar toko jam. Padahal, “Jam” adalah singkatan dari Jamalul Alam Badrul Munir, dengan nama lainnya seperti Jamalulail, Jamalulai, Jamalul, Jamaloy, Jamalulen hingga Mohd. Jam, semuanya merujuk pada Sultan Jamalul Alam Badrul Munir, Sultan ke-22 Kesultanan Aceh yang memerintah dari tahun 1703 hingga 1726.
Secara sederhana, ‘wangsa’ adalah garis keturunan keluarga kerajaan atau bangsawan yang memegang kekuasaan secara turun-temurun. Bisa dibilang, ini seperti “nama keluarga besar” yang menjadi dasar legitimasi kekuasaan dalam sistem monarki. Dalam konteks sejarah Nusantara, istilah ini sering digunakan untuk menyebut kelompok penguasa yang berasal dari satu silsilah, seperti Wangsa Sailendra di Mataram Kuno atau Wangsa Jamalullail di Aceh, yang konon katanya menjadi turunan Arab pertama yang memasukkan Islam ke bumi Rencong.
Patut diluruskan di sini bahwa Sultan Iskandar Muda bukan bagian dari Wangsa Jamalullail. Sultan Iskandar Muda adalah penguasa Kesultanan Aceh yang memerintah dari tahun 1607 hingga 1636. Ia berasal dari Wangsa Meukuta Alam, yaitu dinasti pendiri Kesultanan Aceh. Ia merupakan keturunan langsung dari Sultan Ali Mughayat Syah, pendiri Kesultanan Aceh.
Sementara itu, Wangsa Jamalullail adalah dinasti kerajaan yang memerintah di Perlis, Malaysia, dan berasal dari keturunan Syed Harun Jamalullail, seorang keturunan Arab dari Hadramaut yang menetap di Kedah dan kemudian mendirikan dinasti di Perlis pada abad ke-19. Jadi, meskipun keduanya adalah bagian dari sejarah kerajaan Melayu, mereka berasal dari dinasti dan wilayah yang berbeda.
Sultan Jamalul Alam berasal dari Wangsa Syarif Jamalullail, keturunan Arab dari Hadhramaut, Yaman, yang hadir di Aceh sebagai penyebar Islam dan penggerak perdagangan internasional. Ayahandanya, Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin, sempat menduduki takhta sebelum digulingkan. Putranya, yang saat itu bergelar Alauddin, akhirnya naik takhta menggantikan sepupunya, Perkasa Alam Syarif Lamtui, dalam gejolak kekuasaan yang mencerminkan tarik-menarik antara elite bangsawan dan ulama.
Masa pemerintahan Jamalul Alam menandai kebangkitan perdagangan Aceh. Ia dikenal sebagai sultan yang baik hati, cakap dan mampu memperkuat hubungan dagang internasional. Pada tahun 1709, ia membuka pelabuhan kepada kapal-kapal Inggris dari Madras, nama lama dari kota Chennai di India. Hal ini menegaskan posisi Aceh sebagai pelabuhan utama di Selat Malaka. Aceh menjadi pelabuhan penting bagi kapal-kapal Eropa. Namun, kekuatan ekonomi dan latar Arabnya menimbulkan kecemburuan dari sebagian elite lokal dan kelompok ulama.
Konflik internal ini lambat laun menggerogoti kekuasaannya. Beberapa sumber menyebutkan bahwa golongan ulama dan elite lokal merasa terancam oleh kekuatan ekonomi dan pengaruh Jamalul Alam yang begitu besar.
Menurut narasi lisan, Sultan Jamalul Alam awalnya bersahabat dengan sultan sebelumnya, namun tekanan dari elite lokal membuat hubungan mereka merenggang. Ia disarankan menjauh dari pusat kekuasaan dan bermukim di wilayah pesisir timur, seperti Sigli, di mana ia tetap aktif sebagai pedagang.
Ketegangan ini mencerminkan dinamika kekuasaan yang khas di Aceh kala itu, yaitu konflik antara spiritualitas ulama dan otoritas bangsawan yang berkaitan dengan masa transisi antara Perkasa Alam dan Jamalul Alam. Namun, karena Jamalul Alam akhirnya memang naik takhta, kemungkinan besar konflik ini berlanjut setelah ia menjadi sultan.
Setelah digulingkan pada tahun 1726, jejak Sultan Jamalul Alam dan keluarganya kian memudar. Namun, warisan mereka masih terasa. Salah satunya adalah Taman Poteu Jeumaloy, lokasi yang dipercaya sebagai tempat peristirahatan terakhir beliau. Di taman ini juga terdapat makam istri beliau, ayahandanya Sultan Badrul Alam, dan kakeknya, Syarif Ibrahim.
📚 Artikel Terkait
Konon, Sultan pernah berwasiat agar dirinya dimakamkan di antara dua tanah utama miliknya: Blang Padang dan kawasan Masjid Raya Baiturrahman. Wasiat tersebut sarat akan filosofi yang mendalam: sebuah penanda bahwa hidupnya berada di antara rakyat dan Tuhan.
Blang Padang senantiasa difungsikan sebagai penopang keberlangsungan Masjid Raya Baiturrahman, baik dalam bentuk pendanaan maupun sebagai ruang berkumpul rakyat. Di sanalah kerap digelar berbagai perhelatan besar yang memperkuat ikatan spiritual dan sosial masyarakat.
Sayangnya, kondisi makam keluarga kerajaan ini kini memprihatinkan. Sebagian nisan telah hilang, dan lahannya disalahgunakan untuk fungsi lain seperti dapur warung. Ini bukan hanya bentuk pengabaian, tetapi pengkhianatan terhadap sejarah dan identitas Aceh.
Perang Cumbok (1945–1946) adalah konflik sosial-politik besar di Aceh antara kelompok ulama ‘Persatuan Ulama Seluruh Aceh’ (PUSA) dan uleebalang (bangsawan lokal). Perang Cumbok memperparah hilangnya jejak Wangsa Jamalullail. Konflik antara kelompok ulama dan para uleebalang menyebabkan banyak bangsawan lokal kehilangan harta, kedudukan, bahkan nyawa. Keluarga Jamalul Alam termasuk di dalamnya, meski belum ditemukan catatan resmi tentang pemusnahan sistematis. Dan meskipun kekerasan terhadap bangsawan memang terjadi secara luas di Aceh. Namun, kisah ini turun temurun diturunkan dari generasi ke generasi.
Sebagian narasi menyebut bahwa ada keturunan Jamalullail yang melarikan diri ke luar Aceh, bahkan ke Brunei. Meskipun menarik, klaim ini perlu diluruskan. Sultan Brunei saat ini, Hassanal Bolkiah, berasal dari Wangsa Bolkiah, bukan Jamalullail. Meski beberapa sultan Brunei pernah memakai gelar “Jamalul Alam”, itu merupakan gelar umum dalam tradisi kerajaan Islam, bukan petunjuk garis keturunan. Walaupun kemungkinan adanya hubungan pernikahan atau migrasi individu dari Aceh ke Brunei tetap terbuka, mengingat hubungan historis antara kedua wilayah. Tapi mungkin perlu sandingan data lain yang lebih kuat terkait hal ini mengingat akibat dari Perang Cumbok, sebagian keturunan dari Wangsa Jamalullail dihadapi oleh dua pilihan: keluar dari Aceh atau dibunuh, tinggal menetap dan menyamar.
Namun, sejarah tetap mencatat eksistensi keluarga ini di Aceh. Emperom, salah satu kawasan tua di Banda Aceh, disebut sebagai tempat bermukimnya keturunan Wangsa Jamalullail. Nama seperti Tgk. Sayedi Hasan Al-Jamalullail alias ‘Kuyet’, tokoh lokal yang dihormati, menjadi bukti hidup dari garis keturunan ini.
Jika kita telusuri silsilah dari Tgk. Sayedi Hasan hingga generasi saat ini, maka individu berusia 40-an tahun hari ini bisa jadi merupakan generasi ke-8 atau ke-9 dari Sultan Jamalul Alam. Ini bukan sekadar silsilah darah, tapi pengingat akan keberadaan sejarah yang terlupakan.
Kini, yang tersisa hanyalah nama jalan, sisa taman, makam yang terbengkalai, perebutan tanah wakaf, dan narasi yang nyaris padam. Tapi sejarah tidak untuk dilupakan. Ia harus disuarakan kembali agar kita tahu dari mana kita berasal, untuk bisa menentukan ke mana arah kita melangkah.
Sebagaimana kata pepatah Aceh: “Beuna keu droe tanyoe droe, that keu bangsa tanyoe bangsa”. Jika kita tak mengenal diri dan bangsa kita, maka siapa yang akan menjaga kehormatan kita?
Ironisnya, di tengah gempuran pembangunan dan pelebaran otoritas, tanah wakaf yang diwariskan dengan ikhlas oleh para leluhur kini bisa diklaim sepihak, seolah-olah sejarah bisa dibeli, atau disalin ulang tanpa izin dari waktu. Generasi hari ini sibuk berdebat soal legalitas, sambil lupa bahwa kehormatan tak pernah ditentukan oleh sertifikat, melainkan oleh ingatan dan keberanian untuk menjaga yang tak kasat mata: martabat.
Dan mungkin benar, lagu masa kecil kita “Nenek Moyangku Seorang Pelaut” bukan sekadar gubahan patriotik, tapi potongan sejarah dari pedagang Hadramaut yang membawa iman, ilmu, dan adab ke bumi ini. Sayangnya, hari ini, daripada mengarungi samudra ide dan warisan sejarah, kita justru sibuk menambatkan jangkar di laut yang dangkal. Terombang-ambing dalam kabut lupa yang kita pelihara sendiri.
Yang kita butuhkan bukan sekadar pembangunan. Tapi keberanian untuk tidak menggusur sejarah dengan tangan kita sendiri, lalu bertanya 50 tahun dari sekarang: kenapa anak-anak kita tak lagi tahu dari mana mereka berasal? Hana itèh droe.
Koeta Radja. Kota yang dulu menjadi nadi peradaban Islam di Asia Tenggara. Hari ini memanggil bukan dengan pekikan perang, tapi dengan bisikan sejarah. Pertanyaannya: masihkah kita mendengar?
Jalan Mohd. Jam?
Nama pendek yang memendekkan ingatan. Terlalu ringkas untuk menampung warisan satu wangsa yang nyaris dihapus dari ingatan. Sudah waktunya kita menyebutnya dengan utuh: Jalan Sultan Jamalul Alam Badrul Munir. Karena yang kita hormati bukan tukang jam, tapi seorang Sultan, sang penyambung peradaban.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini


















