Dengarkan Artikel
Oleh: Dayan Abdurrahman,
“Dalam setiap perang, selalu ada yang kalah bahkan sebelum tembakan pertama dilepaskan: mereka yang tidak berdaulat atas nasibnya sendiri.”
Setelah lebih dari tujuh dekade berlalu sejak Holocaust, kita menyaksikan bahwa proyek politik untuk memulangkan orang-orang Yahudi ke Palestina—yang konon disebut sebagai “penebusan historis”—telah menjelma menjadi sumber konflik global paling berkepanjangan. Dari pengusiran paksa warga Palestina, pendudukan wilayah Tepi Barat, hingga eskalasi brutal di Gaza, semua ini bukan sekadar krisis kemanusiaan. Ini adalah buah dari skenario besar dunia pasca-Perang Dunia II, yang dikendalikan bukan oleh idealisme moral, melainkan oleh kepentingan geoekonomi dan kekuasaan.
Dalam panggung global yang kompleks itu, Asia memiliki alasan mendalam untuk waspada.
Dari Mandat ke Kapital: Skenario Barat Tidak Pernah Netral
Kolonialisme klasik telah lama berganti rupa menjadi hegemoni ekonomi, superioritas militer, dan narasi moral palsu yang dikemas dalam paket demokrasi liberal. Proyek negara Israel bukan sekadar hasil keprihatinan terhadap korban perang. Itu adalah strategi jangka panjang untuk menanamkan pos militer-politik Barat di jantung Timur Tengah—wilayah yang sejak dulu dikenal sebagai “jalur urat nadi energi dunia”.
Wilayah itu sebelumnya memang pernah dijajah secara fisik. Namun kini ia dikendalikan lewat sistem keuangan global, bantuan militer, dan intervensi diplomatik yang timpang. Setiap kali bangsa Timur Tengah mencoba mengartikulasikan kedaulatannya sendiri, mereka akan dicap sebagai radikal, teroris, atau pengganggu stabilitas.
Dan dunia Barat akan segera merespons dengan doktrin intervensi: “responsibility to protect,” yang justru melanggengkan subordinasi politik.
Pelajaran dari Asia: Demokrasi Bukan Produk Impor
Berbeda dengan wilayah-wilayah yang porak-poranda karena eksperimen geopolitik, negara-negara Asia seperti Indonesia, Jepang, dan India telah menempuh jalur transformasi internal dari kerajaan atau otokrasi menuju demokrasi (meski belum sempurna). Demokrasi yang dibangun bukan karena tekanan Barat, melainkan hasil dari kesadaran historis: bahwa tanpa partisipasi rakyat dan legitimasi moral, tidak ada bangsa yang akan bertahan lama dalam dunia modern.
Indonesia, misalnya, telah melewati babak panjang dari otoritarianisme Orde Baru ke era reformasi. Meski masih banyak cacat prosedural, demokrasi Indonesia berdiri sebagai bukti bahwa bangsa ini mampu menata dirinya sendiri, tanpa harus menjadi satelit ideologis siapa pun.
📚 Artikel Terkait
Di titik ini, kita patut bertanya: mengapa bangsa-bangsa Asia, yang selama berabad-abad mengalami kolonialisme, justru lebih cermat membaca arah angin politik global?
Bangkitnya Asia dan Etika Non-Blok
Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955 bukan sekadar event sejarah. Itu adalah pernyataan sikap kolektif bangsa-bangsa Selatan: bahwa kami menolak menjadi pion dalam Perang Dingin. Prinsip-prinsip Non-Blok—tidak berpihak, tidak tunduk, dan tidak mengeksploitasi—harusnya kembali dihidupkan sebagai etika politik Asia hari ini.
Saat ini, lebih dari separuh masyarakat ASEAN menyatakan bahwa mereka menolak memilih antara Amerika Serikat dan Tiongkok, menurut survei terbaru ISEAS-Yusof Ishak Institute (2024). Netralitas aktif adalah bentuk kedewasaan politik kawasan ini. Negara seperti Vietnam menunjukkan “bamboo diplomacy”: lentur terhadap tekanan global, tetapi tetap teguh di akar nasionalisme.
Palestina sebagai Cermin Bangsa
Apa yang terjadi di Palestina bukan hanya soal hak asasi manusia, tetapi soal kontrol. Kontrol terhadap narasi, terhadap sejarah, dan terhadap masa depan. Inilah yang harus diwaspadai oleh bangsa-bangsa Asia. Di tengah tekanan geopolitik, embargo teknologi, dan ketergantungan ekonomi global, bangsa kita bisa saja kembali terseret menjadi bagian dari skenario adidaya.
Namun ada yang membedakan kita hari ini: kesadaran.
Kesadaran bahwa dominasi Barat bukanlah keniscayaan. Bahwa kekuatan moral dan kemandirian politik bangsa Asia bisa menjadi alternatif. Kita bisa, dan harus, membentuk ulang tatanan global, bukan menjadi ekornya.
Ke Depan: Strategi Kultural dan Ekonomi Baru
Kekuatan Asia terletak bukan pada kekuatan militernya, melainkan pada kombinasi unik: populasi besar, stabilitas internal, warisan kultural, dan potensi ekonomi. Indonesia, India, Jepang, dan Tiongkok hari ini bukan sekadar pasar. Mereka adalah arsitek masa depan peradaban multipolar.
Namun untuk mewujudkannya, bangsa Asia perlu:
- Menolak narasi tunggal dari Barat. Jangan menerima begitu saja propaganda “demokrasi vs otoritarianisme” yang menyederhanakan realitas geopolitik.
- Menjaga otonomi informasi. Bangun media independen dan pusat riset regional agar tidak tergantung pada narasi media Barat yang bias dan berkepentingan.
- Memperkuat kerjasama intra-Asia. Dari ASEAN hingga RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership), Asia harus menjadikan dirinya sebagai blok produksi dan pengetahuan, bukan hanya konsumen dan penonton.
Penutup: Jangan Jadi Penonton Sejarah
Sejarah tidak menunggu bangsa yang ragu. Kita sedang berada di ambang realitas baru, di mana dominasi Barat tidak lagi sepenuhnya tak tergoyahkan. Namun jika kita lengah—terpecah, terpancing, atau tergoda oleh intervensi asing—maka sejarah hanya akan mengulang luka lama dengan wajah baru.
Palestina bukan hanya cerita tentang bangsa lain. Itu adalah cermin. Dan dari cermin itu, kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah kita masih sanggup menjaga kedaulatan, atau akan kembali menjadi catatan kaki dalam sejarah kekuasaan global?
Catatan Penutup:
Artikel ini ditulis dengan merujuk pada laporan-laporan independen dari ISEAS-Yusof Ishak Institute, Al Jazeera, Anadolu Agency, serta kajian sejarah diplomatik Non-Aligned Movement. Tidak ada satu pihak yang mewakili kebenaran mutlak, namun sejarah menunjukkan siapa yang selalu diuntungkan dari setiap konflik.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini















