Oleh Rosadi Jamani
Jujur, saya yang nulis ini meneteskan air mata. Semoga kalian kuat nahan tangisan. Bila tak kuat, siapkan tisu segulung. Inilah cerita base on true story.
Fitri melangkah pelan di jalanan berbatu menuju rumah tua yang sudah bertahun-tahun hanya ia lihat lewat layar ponsel. Sepuluh tahun di Taiwan, bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga, melewati hari-hari penuh rindu demi menyambung hidup keluarganya di desa kecil di Jawa Tengah. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat. Ia pergi saat adik-adiknya masih bermain di halaman rumah, kini mereka sudah hampir selesai sekolah berkat kiriman uangnya setiap bulan.
Fitri menahan napas di depan pintu kayu yang catnya mulai terkelupas. Tangannya bergetar saat mengetuk pelan. Pintu berderit terbuka, memperlihatkan sosok wanita tua dengan kerutan di wajahnya yang kian dalam. Ibunya. Tapi sang ibu tidak mengenalinya.
“Ibu, maaf… saya dari yayasan, mau minta sumbangan untuk anak yatim piatu jelang lebaran.” Fitri menyodorkan map dengan suara bergetar. Wajahnya tertutup masker, hanya matanya yang terlihat, mata yang mulai basah oleh genangan air mata.
Ibunya menatapnya dengan ragu, kemudian mempersilakan masuk. “Duduk sebentar, ya. Tunggu Bapak di belakang.”
Fitri duduk di tikar usang di ruang tamu. Tak lama, suara langkah kaki terdengar. Sosok lelaki tua dengan rambut memutih dan tubuh kurus masuk ke ruangan. Wajahnya kaku, matanya sayu, seperti menanggung beban hidup yang terlalu berat. Itu bapaknya.
“Bapak, ini ada tamu minta sumbangan,” ucap sang ibu.
Si bapak merogoh sakunya yang hampir kosong. Ia mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan yang sudah lecek, menyodorkannya dengan tangan gemetar. “Maaf ya, cuma ini yang Bapak punya…”
Fitri menerima uang itu dengan tangan bergetar. Air matanya mulai tak tertahan. Perlahan ia melepas maskernya. Napas bapaknya tercekat. Ibunya memperhatikan lekat-lekat wajah itu, garis wajah yang tak asing. Mata yang penuh kerinduan.
“Bu… Pak… ini aku…”
Ibunya terlonjak, tangannya menutupi mulut. “Fitri…? Fitri anakku…?”
Air mata mulai membanjiri pipi tuanya. Fitri mengangguk, lalu merosot ke lantai, bersimpuh di kaki orang tuanya. “Maaf, Bu… Pak… aku pulang… Aku kangen…”
Sang bapak terduduk, matanya membelalak tak percaya. Tubuhnya mulai bergetar, lalu menangis dalam diam. Ibunya langsung memeluk Fitri, menangis keras, tubuhnya terguncang.
“Anakku… anakku pulang…” Suara ibunya pecah, memeluk tubuh Fitri yang juga terisak.
Fitri menggenggam tangan bapaknya yang kasar dan keriput. “Maafkan aku, Pak… Aku terlambat pulang…”
Bapaknya menggeleng, menahan tangis yang akhirnya pecah. “Kamu nggak pernah terlambat, Le… Kamu pulang, itu sudah cukup…”
Tangisan memenuhi ruang sempit itu. Tiga sosok yang saling merindukan, akhirnya bertemu kembali dalam dekapan yang penuh cinta.
Fitri menatap wajah bapak dan ibunya yang penuh air mata. Ia tahu, tak ada tempat seindah pelukan orang tua. Tak ada kebahagiaan sebesar bisa pulang, meski setelah sekian lama.
Beruntung buat kalian masih punya ayah dan ibu. Masih bisa merasakan pelukan hangat keduanya. Masih bisa memberinya THR. Masih bisa bermanja ria. Tidak bagi yang semua telah tiada. Hanya bisa berdoa di atas makam mereka. Berdoa untuk mereka agar tenang du alam sana. Selamat bagi yang mudik, semoga selamat sampai tujuan. Selamat lebaran, mohon maaf lahir dan batin buat semua follower saya.
camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar