Dengarkan Artikel
Praaangg…
Sebuah vas bunga yang terletak di ruang tamu tepat di atas meja tiba-tiba saja pecah. Rani terkejut dan bergegas berlari ke sana. Ia lantas melihat Enzy yang sudah berlumuran darah, membanjiri kedua tangannya.
“Ya ampun… Enzyyy…” ucap Rani seraya menutupi mulut karena tidak kuasa melihat kondisi adiknya dalam keadaan berdarah-darah.
Rani mendekati gadis itu sambil matanya terus mencari sesuatu untuk menahan aliran darah yang masih bercucuran keluar dari tangan Enzy.
“Zy…” panggil wanita itu dengan suara pelan.
Rani terus memanggil Enzy, tapi gadis itu seolah-olah tidak mendengarnya. Matanya terus menatap vas bunga yang baru saja pecah.
Rani bergegas ke dapur dan mengambil beberapa helai kain serta pembalut luka. Ia panik, benar-benar panik.
Setelah segala keperluan sudah berada dalam genggamannya, Rani kembali menemui Enzy di ruang tamu. Dan, tanpa disangka-sangka, ia terkejut melihat sikap sang adik.
“Hahahahahahaha…” Enzy malah tertawa terbahak-bahak. Ia tak berhenti tertawa bahkan sambil menangis. Kejadian ini membuat Rani malah semakin ketakutan. Jantungnya berdebar hebat, bahkan kakinya juga gemetaran.
“Zy…” panggil Rani dengan suara pelan.
Gadis itu pun menoleh ke arah kakak kandungnya ini dengan tatapan bengis, seperti hendak menerkam mangsa – sangat menyeramkan. Dan, dalam beberapa detik ia pun mendekati Rani hingga terjadilah sesuatu.
“Aaaaaaakkkkkkhhh!” Rani berteriak histeris setelah Enzy seketika menusuk perutnya dengan pecahan vas bunga yang pecah tadi. Entah kapan gadis itu memegang beling tersebut – yang jelas, Rani tak kuasa menahan rasa sakit dari tusukan itu.
Begitu Enzy mencabut beling kecil itu dari perut kakaknya, di waktu bersamaan darah membasahi hampir seluruh pakaian gadis itu.
“En…zy…” erang Rani dengan terbata-bata. “Kk ke… kena…pa…?” Ia mulai tak sanggup berdiri tegak. Kedua tangannya pun terus memegangi perut yang merembesi darah nan cukup deras.
Rasa sakit dari tikaman itu seakan menyerang seluruh tubuh Rani. Ia tak kuasa menahannya hingga memaksa wanita ini berlutut. Saking sakitnya, air matanya mulai menitik begitu saja.
Tak lama kemudian Enzy menggorok leher kakaknya dengan pecahan beling tadi hingga tiga kali. Serangan itu membuat Rani kian sekarat. Ia tak bisa berkata apa-apa lagi walaupun mulutnya terlihat ingin menjerit meminta tolong.
Luka di leher Rani lumayan dalam, membuatnya benar-benar tak berdaya. Kini, ia tergeletak lemah bersamaan dengan tubuhnya yang bergoncang memompa darah keluar tanpa henti, bahkan dari mulut.
Enzy kembali meratapi diri sambil melihat vas bunga yang pecah itu. Dan ia kembali tertawa lepas tak terkontrol. Tangannya sengaja ia hantam ke sisa-sisa beling tersebut – aksi itu terus ia lakukan dengan tertawa.
Selang dua menit setelahnya, Enzy menoleh pada sang kakak yang sudah tergeletak sekarat di lantai. Bagaikan sadar dari mimpi buruk nan panjang, seketika itu juga tawanya berubah menjadi tangisan yang hebat. Ia menjerit tak karuan seakan-akan baru menyadari bahwa kakaknya itu telah di ambang kematian dikarenakan ulahnya.
Tangannya yang berdarah tadi ia gunakan untuk menulis… seperti sebuah pesan. Ia menulisnya di lantai tepat di sebelah Rani tergeletak.
“Kak Rani, maafin Enzy, ya. Enzy gak sadar udah buat kakak terluka cukup parah. Maafin Enzy yang aneh ini. Maaf… maaf… maaf…” ujar Enzy sambil menangis terisak.
Setelah itu, Enzy mencabik-cabik tubuhnya sendiri dengan beling vas bunga. Berulang kali ia lakukan hingga dirinya pun terbaring berlumuran darah tepat di sebelah sang kakak. Gadis itu kini berada di ambang kematian.
Dengan kekuatan seadanya, Enzy masih mencoba melakukan sesuatu. Sedangkan darah terus merembes dari perut serta dadanya. Ia lalu menutup mata sambil bergumam dalam hati, “terima kasih untuk semuanya, kak Rani.”
Bersamaan dengan itu pula, Enzy menggorok lehernya sendiri tanpa ampun. Percikan darah semakin membanjiri lantai di ruang tamu. Hingga di kekuatan terakhirnya, beling yang ia gunakan untuk melukai dirinya itu terlepas begitu saja dari genggaman.
Tubuh Enzy seolah tak mampu lagi untuk bertahan. Mulutnya pun tak henti-henti memuntahkan darah segar. Kini, sang gadis berada di antara hidup dan mati
***
Bertahun-tahun setelahnya, Rimus, seorang polisi yang baru mengetahui kabar tentang tragedi antara Enzy dan Rani, mulai mempelajari sesuatu. Dia yang penasaran mencoba mengusut kasus tersebut… kasus yang telah lama lenyap dan tertutup lembarannya.
Di sebuah rumah kumuh yang sudah lama tidak dihuni, Rimus memasuki sebuah kamar. Ada sebuah bingkai foto yang besar terpampang di dindingnya, tepat di atas sebuah ranjang. Dalam bingkai foto itu, terlihat seorang gadis anggun yang berpose dengan senyumannya yang cukup manis. Dialah Enzy.
Tak ingin berlama-lama menatap foto Enzy, Rimus lantas menuju ke sebuah rak buku. Dia lantas membukanya dan di waktu itu matanya langsung tertuju pada sebuah buku catatan. Polisi ini pun mengambilnya dan mulai membaca halam per halamannya.
Dari dalam buku itulah Rimus menemukan sebuah tulisan:
“Aku Enzy, wanita yang telah lama remuk kehidupannya. Aku, gadis yang telah dilecehkan oleh orang yang tak bertanggung jawab. Saat aku ingin hidup bebas sesuai arah hatiku, dia malah menghancurkannya. Saat aku butuh perlindungan, ada saja segelintir orang yang malah semakin menjatuhkanku. Yang aku ingin adalah keadilan, tapi tak ada satu pun yang mau mendengar. Apa kehidupanku memang pantas berakhir seperti ini?”
Tulisan tersebut ada di halaman depan buku. Dan, itu membuat Rimus akhirnya menyadari bahwa Enzy sebenarnya sudah menderita luka batin yang cukup parah. Ia seakan-akan yakin, ada rasa trauma yang kemudian mengubah kepribadian gadis itu, bahkan sampai melukai Rani, sang kakak, dengan sadis.
“Enzy…” ucap Rimus yang kini menatap bingkai foto sang gadis, “ternyata kau wanita baik yang dikhianati kesuciannya.”
Rimus menyimpan buku milik Enzy ke dalam sebuah tas mungil yang terlilit di pinggangnya.
“Enzy, maafkan mereka yang sudah menyakitimu. Kini, aku akan berusaha agar kematianmu menjadi yang terakhir kalinya. Tak ada yang boleh mati lagi sepertimu. Dan, aku berjanji – laki-laki bernama Ben itu – aku pasti akan memburunya.” ucap Rimus yang masih menatap bingkai foto Enzy.
Ben yang dikatakan oleh Rimus tadi adalah pria yang telah merenggut kesucian Enzy saat gadis itu masih berjibaku di dunia perkuliahan. Sang polisi yakin bahwa batin Enzy terluka parah karena Ben. Tapi, ia juga percaya bahwa barangkali ada kaitan lain yang membuat gadis tersebut dipresi berat. Oleh karenanya, dengan memburu Ben, Rimus yakin bisa mengungkap kasus Enzy lebih jauh lagi, bahkan sampai ke akar-akarnya.
“Enzy, aku berjanji padamu.” kata Rimus. Ia lantas bergegas keluar dari rumah kusam itu.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini






