Oleh Anto Narasoma
Wajah tua Pak Momo terlihat kuyu dan pucat. Ia tampak lelah. Karena usianya yang sudah memasuki tahapan kepala tujuh (70 tahun), membuat wajahnya yang kusam tak bercahaya itu dipenuhi keriput dan kumis memutih. Apalagi dalam beberapa hari terakhir ia terserang diare, membuat bobot tubuhnya merosot tajam.
Yang membuat Pak Momo lebih menderita, di usianya yang demikian sepuh itu, ia hidup sendirian di sebuah kamar bedeng seng berukuran 2,5x3 meter.
Suasananya panas dan sumpek. Ia hidup bersebelahan dengan Bu Siti, yang sehari-harinya bekerja sebagai pemulung. Kebetulan pula, di samping pondokan mereka terdapat trailer sampah yang menebarkan aroma tak sedap. Tadinya, kawasan itu merupakan lahan kosong milik pengusaha keturunan yang bergerak di bidang otomotif. Tapi sang pengusaha tak keberatan jika ada warga miskin yang tak punya tempat tinggal membangun bedeng pondokan di tanah itu. Nanti, jika lahan itu diperlukan pemiliknya, mereka harus mengosongkan kawasan itu tanpa ganti rugi.
Dalam suasana tak sehat seperti itulah Pak Momo menekuri sisa hidupnya di ruangan sempit. Ia dikenal masyarakat di sekitarnya sebagai seniman musik miskin dan tidak beruntung. Nasib buruknya itu memaksa ia harus hidup serba kekurangan dan jarang memperoleh asupan gizi dan vitamin yang baik.
Padahal, di masa mudanya dulu, ia mendapat julukan, Momo Kelana sang pemain ‘’biola maut’’. Gesekan biolanya, selain halus mendayu, perpindahan dari nada ke nada di jarinya, begitu cepat dan memikat siapa pun.
Terutama ketika dia melantunkan musik klasik, Mozart, wuih, hebatnya bukan main.
Makanya, para seniman musik muda yang ada di daerahnya tidak menyangka jika di pengujung usianya Pak Momo hidup dalam kemiskinan yang demikian mendera.
Bahkan, sudah tiga hari ini ia mencret-mencret. Kemarin, secara tak sadar, ketika Pak Momo pulang mandi dari sumur di ujung lorong, di sepanjang perjalanan ke rumahnya, ia mencecerkan kotoran dari bawah sarungnya.
‘’Tua bangka tak tahu diri,’’ begitu caci-maki warga setempat sembari menutup lubang hidung mereka.
‘’Barangkali dia itu sudah nyusu (bahasa Palembang: pikun),’’ sentak warga lainnya.
Mendengar itu Bu Siti menyela mereka. ‘’Sshh, kita tidak boleh menyaci-maki seperti itu kawan-kawan. Diakan sudah tua, dan tidak punya sanak keluarga lagi. Sedangkan dalam kondisi begitu tidak ada orang yang mengurusnya. Maklum saja ya, Pak Momo sedang menderita diare. Jadi saya minta tolong, janganlah mencaci-maki dia. Kasihanilah orang tua yang malang itu, ya’’.
****
Suatu siang di kamarnya yang sumpek, Pak Momo berbaring di atas sehelai kertas koran edisi minggu pertama bulan lalu. Atap dan dinding seng tempat ia bermukim makin memperparah diarenya. Wajahnya pucat bukan main. Sedangkan tubuhnya lemas tak berdaya. Bu Siti sudah menyarankan agar Pak Momo segera ke puskesmas.
‘’Tapi maaf Pak Momo, saya tak dapat mengantar ke sana, karena mau kerja (memulung) ke tempat pembuangan akhir (TPS). Soalnya hari ini banyak sampah baru yang dibuang ke sana. Siapa tahu banyak barang bekas yang dapat saya jual untuk menafkahi anak-anakku,’’ tukas Bu Siti pagi tadi.
Pak Momo hanya tersenyum rawan sembari mengangguk pelan. Bahkan responsnya hanya ia layangkan lewat kejapan lemah mata tuanya yang sayu. Itu terlihat dari balik kacamatanya yang tebal.