Dengarkan Artikel
:
Antara Ketakutan Tak Masuk Akal dan Kebijakan Tak Bermoral
Oleh: Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh
Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh
Aceh tampaknya sedang mengalami epidemi aneh: ketakutan akut terhadap pohon. Fenomena ini, yang dalam istilah psikologi disebut dendrophobia, telah menjangkiti tidak hanya individu tak dikenal yang menebang pohon Jeju viral di Pantai Ulee Lheue, tetapi juga sebagian pengambil kebijakan dan pemegang dana publik. Pohon yang mestinya dilindungi sebagai simbol kehidupan dan warisan ekologis justru dianggap musuh dan dihabisi tanpa ampun.
Pohon Jeju —bak sakura tropis— hanyalah korban terbaru dalam daftar panjang penebangan absurd. Pohon ini sempat membuat Banda Aceh sedikit berbahagia di tengah suhu politik dan ekonomi yang tak ramah. Warga berkumpul, berfoto, dan sesaat merasa bahwa kotanya pantas dicintai. Namun pohon itu malah ditebang. Alasannya? Tak jelas. Ada yang bilang pelakunya mengidap gangguan psikologis. Kalau benar, apakah kita akan menyalahkan fobia sebagai dalih untuk menghancurkan ruang publik?
Sebelumnya, Masjid Agung Meulaboh memutuskan menebang sepuluh pohon cemara pantai karena “terlalu mirip pohon Natal.” Logika ini—antara paranoia dan tafsir puritanisme—menyeret ke absurditas yang lebih dalam. Padahal pohon tak pernah meminta ditafsirkan sebagai doktrin. Ia hanya berdiri diam, memberi oksigen, meneduhkan bumi, dan tak tahu-menahu soal Natal atau Syariat.
Masjid Raya Baiturrahman yang menjadi simbol keislaman Aceh juga tak luput dari durjana penebangan. Pohon Kohler, saksi sejarah tewasnya jenderal kolonial Belanda, ditebang begitu saja oleh kontraktor proyek. Sejarah pun ikut ditumbangkan, persis seperti ingatan kolektif yang tak dianggap penting selama anggaran proyek jalan terus mengalir.
📚 Artikel Terkait
Di pedalaman, hutan Leuser menyaksikan tragedi lebih sistemik. Bukan hanya satu-dua pohon, tetapi ratusan hektare tutupan hijau lenyap setiap tahun karena pembalakan liar, banyak di antaranya menggunakan dana proyek “penghijauan.” Ironi yang begitu vulgar: menanam lewat program Tahiroe, menebang lewat anggaran tahunan.
Ini bukan hanya soal fobia terhadap pohon—ini adalah fobia terhadap kehidupan itu sendiri. Antropolog Laura Rival (2021:3) menyebut pohon sebagai makhluk sosial yang memiliki kedudukan dalam peradaban.
Mereka bukan benda mati, tapi bagian dari struktur spiritual dan sosial masyarakat. Gabriele Schwab (2021:248) mengingatkan bahwa ketakutan terhadap pohon sering kali lahir dari trauma atau sikap kontrol terhadap yang tak bisa dijinakkan. Maka, dendrophobia di Aceh bisa saja bukan penyakit, melainkan gejala dari elitisme birokratis yang membenci apa pun yang tak bisa diukur dengan angka APBD.
Setelah tsunami, Aceh seharusnya belajar bahwa alam punya kuasa yang tak bisa ditaklukkan. Tapi justru kita menumpulkan ingatan itu dengan menebang, membakar, dan menutup mata. Saya, (Al Chaidar, 2023:12) telah mencatat dalam refleksi antropologis bahwa pembangunan pasca-tsunami cenderung abai terhadap ruang ekologis dan simbolik. Kita menghias kota dengan plang dan beton, tapi membiarkan pohon-pohon yang menjadi pelindung sosial tumbang begitu saja.
Pohon Jeju telah ditebang. Kohler sudah tumbang. Cemara sudah lenyap. Meranti di Leuser tinggal cerita. Pertanyaannya: pohon mana lagi yang akan dibunuh esok pagi?
Referensi
Chaidar, A. (2023). The Tragedy of the Commons in Aceh: An Anthropological Reflection on the Post Tsunami Development of Ace. Icospolhum 2023.
Rival, L. (Ed.). (2021). The Social Life of Trees: Anthropological Perspectives on Tree Symbolism. Routledge.
Schwab, G. (2021). Trees, Fungi, and Humans. CR: The New Centennial Review, 21(3), 245–268.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini


















