Dengarkan Artikel
Oleh M. Taufiq
Ketua Daerah IGI Aceh Barat Daya
Memutuskan Pilihan untuk menjadi petani padi di negara yang pengelolaan negaranya tidak terlalu baik adalah salah satu kenekatan dalam hidup. Memberi tekanan pada petani padi dirasa menjadi sangat penting untuk saat ini, sebab beberapa orang dengan menanam sawit sering sekali mengklaim diri mereka adalah petani dengan penuh kebanggaan.
Kata “petani’ saat ini sudah cenderung dikooptasi dan kemudian dimanipulasi dengan baik oleh kaum pemodal (pemodal yang dimaksud tentu saja merujuk alam tafsir pra kemerdekaan ketika Belanda menguasai perkebunan-perkebunan Hindia Belanda).
Jadi sudah sedikit, seharusnya kata “petani” mesti dikembalikan pada fitrahnya sebagimana pertama sekali kata tersebut muncul, yaitu manusia yang mengusahakan bahan pangan untuk diri sendiri dan orang lain.
Kembali kepada judul tulisan ini, kenekatan yang dimaksud tertanam sebagai karakter petani di negara kita adalah kenekatan dalam melawan alam (hama dan penyakit tanaman, cuaca dan kesuburan).
Terkait hama dan penyakit tanaman para petani kita belum punya resep yang aman bagi tanaman dan diri mereka sendiri dalam mengelola hal ini, berharap kepada penyuluhpun akhir-akhir ini kegiatan mereka terkesan pasif, lambat bergerak yang pada ujung-ujungnya para petani menjadi sasaran tembak dalam meraup keuntungan oleh perusahaan-perusahaan pestisida kimia global.
📚 Artikel Terkait
Sedangkan membaca arah cuaca dan musim masih menggunakan metode rukyat; (meminjam istilah ramadhan) cuaca ditentukan saat matahari terbit, belum ada satuan lembaga yang mengeluarkan informasi prediksi cuaca setempat yang akurat dan terhubung dengan petani.
Jika saja seorang petani tersedia data cuaca yang akurat dan mudah diakses tentu mereka bisa merencanakan pekerjaannya dengan tepat dan akurat pula.
Demikian juga halnya terkait pengelolaan kesuburan tanah, satu-satunya yang patut kita hargai dari pemerintahan yang sedang berjalan adalah kemampuan dalam menyediakan dan kemudahan akses pupuk kimia, namun demikian d isisi lain, penggunaan pupuk kimia dalam jangka waktu panjang terus saja menjadi perdebatan di kalangan ahli.
Sedangkan kenekatan kedua adalah saat panen tiba, hasil kerja mengusahakan tanaman selama lebih kurang 100 hari, seharusnya menjadi “obat penenang” setelah berpeluh ria, namun para petani dihadapkan pada harga padi yang berada di bawah biaya budidaya tanaman padi dari awal.
Harga padi yang layak tidak ditentukan oleh petani sendiri, tetapi oleh pihak yang memanfaatkan waktu sejenak (agen) untuk terlibat di dalam sistem pertanian. dititik ini kedaulatan petani terhadap hasil pertanian yang diusahakan tidak pernah ada. Pemerintah memang mentapkan harga intervensi lewat Peusahaan Umum Badan Usaha Logistik, tetapi dengan keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah sendiri tentunya hal tersebut terlaksana dengan tertatih-tatih di lapangan dan ujung-ujungnya petani mendapatkan rugi saat panen, kondisi ini membuat petani kita terjebak menjadi petani subsisten (untuk konsumsi sendiri) yang berarti masih sangat jauh untuk disebut sebagai pemain agribisnis.
Terlepas dari dua kenekatan di atas, kenekatan yang paling mendasar sebenarnya adalah saat para tetua negeri kita memutuskan nasi sebagai makanan pokok, padahal alam kita sebelumnya telah menyediakan sumber energi yang bukan nasi untuk dikonsumsi, dari cerita tetua juga kita mengetahui sumber pangan non padi yang sebenarnya lebih unggul, tahan goncangan situasi dan minim pengelolaan yang rumit seperti sagu, ubi janeng/gadung, ubi talas dan beberapa yang lain. Salah satu dugaan yang paling mungkin kenekatan tetua kita memilih sumber pangan nasi adalah karena pengaruh peradaban India yang pernah menguasai pelosok dunia.
Lalu bagaimana kita menyikapi tiga kenekatan tersebut untuk saat ini? Kenekatan yang pertama dan kedua tentunya sangat dipengaruhi sejauhmana pemerintah mau (political will) menempatkan petani dalam siklus ekonomi nasional, namun sejauh ini penempatan uang 200 T di bank negara oleh menteri keuangan belum ada satu kalimatpun menyebut porsi untuk petani padi. Demikian juga kenekatan yang terakhir bisa kita pastikan tidak terlepas dari sentuhan para pengelola Negara kita misalnya dengan tidak membabat hutan sagu untuk dikonversi menjadi pemukiman atau tambang, eksistensi sumber pangan non nasi tentu juga dipengaruhi oleh kesadaran masyarakat untuk bangga mengkonsumsi sumber pangan lokal yang dikelola dengan biaya murah dan menyehatkan. Wallahualam
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini

















