Dengarkan Artikel
Oleh Dayan Abdurrahman
Perang Dunia Pertama dan Kedua telah meninggalkan luka sejarah yang dalam bagi umat manusia. Jutaan jiwa melayang, peradaban runtuh, dan ketakutan akan kehancuran total menjadi trauma kolektif yang tak mudah disembuhkan.
Kini, di tengah ketegangan geopolitik yang makin memanas antara negara-negara besar, muncul kembali pertanyaan yang menggugah nurani: mungkinkah Perang Dunia Ketiga terjadi? Ini bukan sekadar pertanyaan akademis, melainkan sebuah kekhawatiran global yang mulai terasa riil di tengah konflik regional yang terus meluas dan perkembangan senjata pemusnah massal yang makin canggih.
Prediksi mengenai pecahnya Perang Dunia Ketiga tentu bukan sesuatu yang bisa dipastikan secara ilmiah. Namun, melihat situasi global saat ini—di mana persaingan antara kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok, ketegangan antara NATO dan Rusia, serta instabilitas Timur Tengah yang tak kunjung reda—kita tidak bisa mengabaikan kemungkinan tersebut. Apalagi, ditambah dengan polarisasi informasi, radikalisme berbasis ideologi maupun ekonomi, serta krisis lingkungan yang menciptakan ketegangan baru dalam perebutan sumber daya. Semua ini seperti potongan puzzle yang bisa membentuk gambaran tragis: dunia kembali terbakar.
Namun, perlu ditegaskan bahwa tidak seperti Perang Dunia sebelumnya, motif utama konflik global hari ini tidak lagi bersumber dari faktor agama. Perang Dunia Pertama dipicu oleh nasionalisme ekstrem, aliansi militer yang saling mencurigai, serta ambisi kolonialisme. Sementara Perang Dunia Kedua lebih dilatarbelakangi oleh ekspansi ideologi fasisme dan balas dendam Jerman pasca Perjanjian Versailles. Dalam kedua perang itu, agama tidak menjadi akar utama, meskipun kadang digunakan untuk membakar semangat atau memobilisasi massa. Begitu pula jika Perang Dunia Ketiga pecah, faktor utamanya kemungkinan besar adalah: dominasi ekonomi, kekuasaan teknologi, konflik energi, dan ketegangan geopolitik antarblok global.
Lalu, di mana posisi Indonesia jika kemungkinan buruk itu benar-benar terjadi? Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan populasi Muslim terbesar dan posisi geografis strategis di jalur perdagangan dunia, tidak akan mampu bersikap netral sepenuhnya. Meskipun kita menganut politik luar negeri bebas aktif, sejarah membuktikan bahwa ketika dunia terbagi dalam kutub-kutub ekstrem, negara-negara non-blok pun akan terkena dampaknya, baik secara ekonomi, politik, maupun sosial. Krisis global akan mengguncang harga pangan dan energi, nilai tukar rupiah bisa jatuh, dan rakyat biasa yang paling merasakan akibatnya. Belum lagi potensi masuknya pengungsi dari negara-negara yang terdampak perang atau tekanan diplomatik dari negara besar agar Indonesia berpihak.
📚 Artikel Terkait
Di sisi lain, ada harapan besar bahwa Indonesia bisa memainkan peran konstruktif: menjadi juru damai, bukan sekadar penonton. Kita pernah menjadi tuan rumah Konferensi Asia-Afrika 1955, di mana pemimpin-pemimpin dunia dari negara-negara bekas jajahan bertemu untuk menyuarakan kemerdekaan dan perdamaian. Warisan itu seharusnya tidak dibiarkan menjadi arsip sejarah semata, tetapi dihidupkan kembali dalam konteks kekinian. Indonesia, dengan tradisi gotong royong dan keberagaman yang harmonis, bisa menawarkan model penyelesaian konflik yang inklusif dan berkeadilan.
Namun, perdamaian tidak akan lahir dari diplomasi semata. Ia harus dimulai dari kesadaran moral setiap manusia, dari ruang kelas hingga ruang keluarga. Kita tidak bisa menyerahkan masa depan dunia hanya kepada elite politik atau institusi global. Setiap individu punya peran: menolak retorika kebencian, membangun empati lintas agama dan bangsa, serta mendidik generasi muda agar memahami sejarah dengan jernih dan kritis. Kita harus sadar bahwa narasi kebencian tidak tumbuh dari ruang hampa. Ia diberi makan oleh ketidakadilan, kemiskinan, dan ketimpangan yang terus dipelihara.
Sebagai rakyat biasa, kita mungkin tidak punya kendali atas senjata atau kebijakan luar negeri. Tapi kita punya suara, punya pena, dan punya pilihan untuk tidak ikut dalam arus propaganda yang memecah belah. Kita bisa memulai dari hal kecil: memperkuat pendidikan damai, memperluas ruang dialog antarumat beragama, serta mendorong media untuk lebih etis dalam menyampaikan isu-isu konflik. Peradaban damai bukanlah utopia jika semua bangsa bersedia memulainya dari diri sendiri.
Menutup opini ini, saya ingin menyampaikan bahwa sejarah bukan hanya untuk dihafal, tetapi untuk diambil pelajaran. Dunia sudah dua kali terbakar oleh ego kekuasaan dan ambisi global yang melupakan sisi manusiawi. Kita tidak membutuhkan satu alasan lagi untuk berperang—yang kita butuhkan justru keberanian untuk membangun perdamaian yang berkelanjutan. Perang bukan takdir, ia adalah hasil dari pilihan-pilihan salah yang diambil oleh manusia. Maka mari kita ubah arah sejarah. Jika hari ini kita hanya bisa menulis, maka menulislah demi kemanusiaan. Jika hari ini kita hanya bisa bicara, maka bersuaralah untuk perdamaian. Sebab kalau dunia ini kembali terbakar, mungkin bukan kita yang binasa, tetapi anak-anak kita—yang tidak pernah memilih untuk dilahirkan dalam dunia yang penuh kebencian dan ketakutan.
Dayan Abdurrahman
Penulis, Pemerhati Peradaban, Warga Dunia
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini














