• Terbaru

Cita cita Anak Negeri Merdeka

April 24, 2025

Memaknai Hari Pahlawan: Moral dalam Kebebasan Digital yang Harus Dikawal

November 18, 2025

Kafka dan Trio RRT Di Depan Hukum

November 17, 2025

🚩🚩SELAMAT PAGI MERAH PUTIH

November 17, 2025

Penjor vs Kabel PLN

November 17, 2025

Kebugaran dan Kebersamaan di Bawah Langit Paya Kareung

November 17, 2025

Otsus Aceh di Persimpangan Jalan

November 16, 2025

Pendapat Prof Jimly Soal Ijazah Jokowi

November 16, 2025

Korupsi di Sektor Kesehatan: Dari Nasionalisme STOVIA hingga Penjara KPK

November 16, 2025

Malam Layar Puisi Anak Muda 2025

November 16, 2025

Prasasti Kebon Kopi

November 15, 2025

Bullying, Feodalisme, dan Ekstremisme

November 16, 2025

Dari Sumber Daya ke Sumber Daya Damai

November 15, 2025
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat
Tuesday, November 18, 2025
POTRET Online
  • Login
  • Register
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat
No Result
View All Result
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat
No Result
View All Result
POTRET Online
No Result
View All Result
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat

Cita cita Anak Negeri Merdeka

Ilhamdi SulaimanOleh Ilhamdi Sulaiman
April 24, 2025
0
Reading Time: 4 mins read
🔊

Dengarkan Artikel



Oleh Ilhamdi Sulaiman.

Sepulang mengajar dari PAUD Kuntum Berseri, istriku tak seperti biasanya. Wajahnya redup, matanya kosong, seolah sinar yang biasa menyala di sana telah padam.
Aku menatapnya dari ambang pintu, bertanya-tanya dalam hati: apa yang telah merampas semangatnya hari ini? Padahal, setiap pagi ia berangkat dengan senyum yang menular, dengan langkah ringan membawa harapan bagi anak-anak kecil yang ia ajari dengan sepenuh cinta


Tanpa banyak kata, ia masuk ke kamar, mengganti seragam kerjanya dengan daster rumahan yang sudah usang, namun selalu membuatnya tampak paling nyaman. Tak lama, ia muncul lagi, memanggilku pelan.
“Ayo makan siang,” ucapnya datar, nyaris tanpa nyawa.


Di meja makan, lauk-pauk tersaji seperti biasa telah ia siapkan pagi tadi. Tapi kali ini, ada yang berbeda, Ia hanya makan sedikit, tak pula lahap berselera seperti biasa.


Ada keinginanku untuk bertanya,namun aku tahan keinginan itu sampai istriku sendiri yang bercerita. Seperti biasanya setiap hari bercerita sepanjang perjalanannya pergi dan pulang siang hari.


Ada saja yang ia ceritakan ketika pulang. Anak muda yang bawa motor ugal ugalan, Pak polisi yang menilang motor yang salah arah atau ibu anak muridnya yang menunggu anaknya seperti mau kondangan layaknya dengan make up dan perhiasan berlebihan. Tapi siang ini tidak. Ia murung dan lelah tampaknya.Rasa penasaranku setelah makan akhirnya tak bisa aku tahan lagi.


Di meja makan, lauk-pauk tersaji seperti biasa—sudah ia siapkan sejak pagi. Tapi ada yang berbeda kali ini. Ia hanya makan sedikit, tanpa lahap, tanpa selera seperti biasanya.
Ada dorongan dalam diriku untuk bertanya, namun kutahan. Aku memilih menunggu sampai ia sendiri yang bercerita. Seperti kebiasaannya setiap hari, ia akan mengisahkan banyak hal sepanjang perjalanan pergi dan pulang mengajar.

📚 Artikel Terkait

PENYAIR DI RUANG TUNGGU ITU PUN BERPULANG

Kejar Gelar Luar Negeri: Jalan Menuju Masa Depan atau Sekadar Prestise?

Selamat Malam, Secangkir Kopi, Habis tak habis

Sekda Harapkan Dokter Kecil Jadi Kader Kesehatan dan Kebersihan di Sekolah


Selalu ada cerita darinya. Tentang anak muda yang ugal-ugalan di jalan, tentang Pak polisi yang menilang pengendara yang salah arah, atau tentang ibu-ibu yang menjemput anaknya dengan dandanan berlebihan, seperti hendak menghadiri pesta.
Namun siang ini, semuanya sunyi. Ia duduk diam, murung, dan tampak letih.
Rasa penasaranku semakin menyesak. Setelah makan, akhirnya aku tak bisa menahannya lagi.

Aku menatap wajahnya sejenak, memastikan bahwa pertanyaanku tak terdengar seperti tudingan. Dengan suara pelan, hampir menyatu dengan desir angin siang itu, aku berkata,
“Ada apa? Kenapa tak ada cerita tentang anak-anak di meja makan ini, seperti biasanya?

”
Ia tak segera menjawab. Hanya helaan napas panjang yang terdengar, seperti suara angin melewati celah pintu yang tak pernah tertutup sempurna.
“Anak-anak tadi menggambar cita-cita mereka,” ucapnya lirih, nyaris tanpa nyawa.
Aku mencoba menghidupkan suasana dengan senyum dan nada ringan.
“Pasti ada yang ingin jadi presiden, dokter, polisi… atau jangan-jangan tak satupun yang ingin jadi pengangguran seperti aku?”


Ia tak tertawa. Tak juga tersenyum. Hanya menggeleng pelan.
“Tidak, Mas… Cita-cita mereka jauh dari yang pernah kupikirkan.”
Aku mencondongkan tubuh, dikuasai rasa ingin tahu yang perlahan berubah menjadi kecemasan.
“Maksudmu?”


Ia menatap kosong ke dinding, lalu bercerita seperti membaca puisi yang kehilangan iramanya.
“Toni hanya menggambar sehelai dasi. Ketika kutanya, ia menjawab, ‘Ini dasi, Bu… kayak yang dipakai koruptor di televisi.’
Ardiansyah lain lagi. Ia menggambar kepala Singa—entah maknanya apa. Tapi katanya, ‘Aku ingin jadi pemimpin ormas, Bu… biar bisa jaga-jaga para pejabat yang kena masalah hukum.’
Dan Sri… Sri hanya menulis angka-angka yang tak berurutan. Saat kutanya, ia tersenyum santai dan berkata, ‘Aku ingin jadi Menteri Keuangan, Bu… biar bisa ambil uang pajak dari rakyat.’”


Kata-katanya menggantung di udara seperti kabut yang enggan hilang.
Aku menatapnya. Hening. Tak tahu harus menanggapi bagaimana.
Di usia yang seharusnya penuh harapan dan pelangi, anak-anak itu sudah belajar melihat dunia dari jendela yang retak.


Seketika aku teringat dasi lain—dasi yang kupakai saat hari pernikahan kami, dua puluh lima tahun lalu.
Masih tergantung rapi di rak baju, di lemari kayu yang kini mulai lapuk dimakan usia dan rayap kecil yang tak pernah diundang.


Kutarik dasi itu pelan. Kusentuh kainnya yang dingin, kusam, penuh debu kenangan.
Kukenang janji-janji yang dulu kuucap dengan suara gemetar dan mata penuh harap. Janji yang kini terasa seperti bisikan dari masa silam yang tak utuh lagi artinya.


Tiba-tiba, ada sesuatu dalam dadaku yang pecah.
Kugenggam dasi itu erat-erat. Kugenggam seperti menggenggam masa lalu yang tak bisa lagi kuselamatkan.
Lalu aku meremasnya…
Meremasnya sekuat tenaga, seolah bisa kuhancurkan semua yang membuat dunia ini begitu tak masuk akal bagi anak-anak.
Dan aku berteriak—teriakan panjang, lepas, seperti luka yang akhirnya menemukan suara.
“Apa yang kalian ajarkan pada anak-anak kami!?”
22 April 2025.

🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini

Pria Yang Merindukan Prostatnya
Pria Yang Merindukan Prostatnya
28 Feb 2025 • 114x dibaca (7 hari)
Oposisi Itu Terhormat
Oposisi Itu Terhormat
3 Mar 2025 • 103x dibaca (7 hari)
Keriuhan Media Sosial atas Kasus Keracunan Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
Keriuhan Media Sosial atas Kasus Keracunan Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
2 Oct 2025 • 87x dibaca (7 hari)
Hancurnya Sebuah Kemewahan
Hancurnya Sebuah Kemewahan
28 Feb 2025 • 86x dibaca (7 hari)
Hari Ampunan
Hari Ampunan
1 Mar 2025 • 76x dibaca (7 hari)
📝
Tanggung Jawab Konten
Seluruh isi dan opini dalam artikel ini merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi bertugas menyunting tulisan tanpa mengubah subtansi dan maksud yang ingin disampaikan.
Ilhamdi Sulaiman

Ilhamdi Sulaiman

Ilhamdi Sulaiman (Boyke Sulaiman) I Lahir 68 tahun lalu di Medan pada tanggal 12 September 1957. Menamatkan pendidikan sarjana Sastra dan Bahasa Indonesia di Universitas Bung Hatta Padang pada tahun 1986. Berkesenian sejak tahun 1976 bersama Bumi Teater Padang pimpinan Wisran Hadi. Pada tahun 1981 mendirikan Grup Teater PROKLAMATOR di Universitas Bung Hatta. Lalu pada tahun 1986, hijrah ke kota Bengkulu dan mendirikan Teater Alam Bengkulu sampai tahun 1999 dengan beberapa naskah diantaranya naskah Umang Umang karya Arifin C. Noer, Ibu Suri karya Wisran Hadi dan tahun 2000 hijrah ke Jakarta mementaskan Naskah Cerpen AA Navis Robohnya Surau Kami Bersama Teater Jenjang Jakarta serta grup grup teater yang ada di Jakarta dan Malaysia sebagai aktor freelance. Selama perjalanan berteater telah memainkan 67 naskah drama karya penulis dalam dan luar negeri, monolog, dan deklamator. Serta mengikuti event lomba baca puisi sampai saat ini dan kegiatan sastra lainnya hingga saat ini.

Artikel

Menulis Dengan Jujur

Oleh Tabrani YunisSeptember 9, 2025
#Gerakan Menulis

Tak Sempat Menulis

Oleh Tabrani YunisJuly 12, 2025
#Sumatera Utara

Sengketa Terpelihara

Oleh Tabrani YunisJune 5, 2025
Puisi

Eleği Negeriku  Yang Gelap Gulita

Oleh Tabrani YunisJune 3, 2025
Puisi

Kegalauan Bapak

Oleh Tabrani YunisMay 29, 2025

Populer

  • Gemerlap Aceh, Menelusuri Emperom dan Menyibak Goheng

    Gemerlap Aceh, Menelusuri Emperom dan Menyibak Goheng

    162 shares
    Share 65 Tweet 41
  • Inilah Situs Menulis Artikel dibayar

    153 shares
    Share 61 Tweet 38
  • Peran Coaching Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan

    145 shares
    Share 58 Tweet 36
  • Korupsi Sebagai Jalur Karier di Konoha?

    57 shares
    Share 23 Tweet 14
  • Lomba Menulis Agustus 2025

    51 shares
    Share 20 Tweet 13

HABA MANGAT

Haba Mangat

Tema Lomba Menulis November 2025

Oleh Redaksi
November 10, 2025
Haba Mangat

Tema Lomba Menulis Bulan Oktober 2025

Oleh Redaksi
October 7, 2025
Haba Mangat

Pemenang Lomba Menulis – Edisi Agustus 2025

Oleh Redaksi
September 10, 2025
Postingan Selanjutnya

Perempuan Harus Tetap Cerdas, Apapun Perannya.

  • Kirim Tulisan
  • Program 1000 Sepeda dan Kursi roda
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Tentang Kami
  • Kirim Tulisan
  • Program 1000 Sepeda dan Kursi roda
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Tentang Kami

INFO REDAKSI

Tema Lomba Menulis November 2025

November 10, 2025

Tema Lomba Menulis Bulan Oktober 2025

October 7, 2025

Pemenang Lomba Menulis – Edisi Agustus 2025

September 10, 2025

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Facebook
Sign Up with Google
OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat

© 2025 Potret Online - Semua Hak Cipta Dilindungi

-
00:00
00:00

Queue

Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00
Go to mobile version