Oleh Nadila Izzah*
Sinar matahari menyelinap menerangi setengah wajah Rita. Dalam keadaan basah, Rita bangun dan segera membereskan para boneka yang memenuhi tempat tidur. Beberapa hari ini, Rita memutuskan untuk tidak datang ke pohon Jamblang dan wilayah peri lain, hanya sekadar memohon akan kedatangan peri angin. Dia sendiri sudah lelah menunggu Tillyn, meskipun ada hal yang ingin dia tanyakan kepada pria itu.
“Kau dengar? Itu Tillyn!” Serunya seraya berlari menuruni tangga sambil menghidupi lampu-lampu lorong lantai dasar, satu persatu. Suara ketukan pintu semakin mempercepat langkah Rita untuk segera menyambut tamu. Pintu kayu itu berderak, dan agak sedikit keset di kakinya , sehingga meninggalkan bercak hitam yang melengkung di permukaan lantai.
Berdiri di hadapannya, seorang pemuda.
Tangannya menggulung lengan dengan santainya, “Rumah yang tepat! Apa kau tadi sempat kesasar di perjalanan?”
Tillyn hanya menanggapi pertanyaan Rita dengan gelengan kepala. Dia hanya diam dan mengikuti arahan kaki Rita ke sebuah ruangan yang cukup luas. Hanya ada kursi tamu, guci kaca dan beberapa lukisan yang menggantung di sudut ruangan. Lukisan bercat hitam yang hanya digoresi kuas putih. Garis yang terkadang melengkung, lurus, membentuk huruf dan angka yang terlihat samar.
“Sudah lama sekali kau tidak datang. Bahkan kita sudah tak lagi menari seperti dulu.” Rita mengerutkan alis penuh kesedihan, dia menuruni wajah lalu menutupi ekspresi tersebut.
Di sisi lain, Tillyn merasakan hal yang sama. Kesedihan, rasa bersalah, dan perasaan lain. Dia menepis rasa itu lalu mengelus kepala Rita dan tersenyum, “Mari berdansa, Rita”
Mereka mengenggam tangan satu sama lain dan mengeratkan tubuh bersamaan sebelum berputar-putar mengikuti gumaman nyanyian Tillyn. Gumaman itu mengingatkan Rita akan melodi musik pernikahan mereka. Hidupnya telah disempurnakan bersama Tillyn, dan mungkin hari ini adalah hari kawin mereka dan menunggu lama bayi-bayi peri angin akan terlahir. Rita siap hal kehilangan wujud manusianya demi melahirkan penerus peri angin.
“Apa kau tahu, setiap bayi peri yang lahir hanya akan ada 7 peri yang bertahan. Salah satunya akan menjadi si penerus” bisik Tillyn pelan. Rita mengangguk dan menjawabnya dengan gumaman saja. “Itu kenyataan yang paling kutakuti.”
“Aku katakan beberapa kalipun tak masalah, kalau aku akan selalu bersamamu jadi tak perlu merasa takut.”
Tillyn terdiam sebentar. “Dan hari ini adalah hari pertunjukan.”
“Ya! Dan aku akan menjadi penari di sana! Kau lihatlah aku akan melahirkan anak-anak peri!” seru Rita dengan girang. Dia sadar telah memotong ucapan Tillyn, tetapi pikirannya mengatakan Tillyn juga pasti senang.
“Rita, kenapa kau mau menikahi alam?” tanya Tillyn setelah beberapa saat keheningan.
Raut wajah Tillyn yang tak berubah, mempertanyakan pikiran Rita. Rita menghalau isi kepala itu dan dia menggeleng. “Alam membuatku merasa hidup! Aku tidak mau seperti papa yang sibuk sendiri! Lihatlah dia sekarang, otaknya dipenuhi koin duniawi yang kotor, lalu menyisakan kubangan belatung!”
“Tetapi alam juga akan mati lama kelamaan dan tidak akan ada lagi yang membuatmu hidup, Rita”
“Tentu ada!”
Rita menarik kerah pakaian Tillyn dan mengeratkan lengannya di antara bahunya yang dingin. Tubuhnya merasa geli dan gelisah, Rita mematung di pelukan Tillyn yang masih terus memandanginya tanpa mengerutkan wajah. Dia menempelkan kepala tepat di bawah dada Tillyn.
“Kau telah menukar usia untuk menemani rasa takutku. Aku tentu sangat berterima kasih.”
Keadaan yang hampir hening menyelimuti ruangan, hingga suara-suara keras dari luar membangunkan mereka. Rita mencoba pergi dari genggaman Tillyn. Tatapan peri angin itu sama sekali tidak membuat Rita merasa nyaman, sementara Tillyn melanjutkan tarian. Rita tak bisa menolak, meski suara-suara keras kendaraan semakin mendekat.
“Apa kau tahu alasan manusia menikah dengan kami?”
“Mungkin saja mereka menikahi peri karena tergiur dengan sumpah pertukaran” balas Rita agak menaikan nada berbicara. Matanya berkaca-kaca ketika Tillyn melihat ke arahnya. Warna kehijauan matanya seketika saja berubah menjadi putih, lalu seperti semula kembali.
Rita semakin merasakan keanehan pada tubuhnya, seperti melayang tersedot angin di hadapannya.
“Apa kau juga menikahiku karena adanya sebuah pertukaran?” tanya Tillyn. “Aku tak pernah mengatakan itu.”
“Lalu mengapa sangat yakin dengan alasan itu?”
“Buku! Aku membaca buku yang kau berikan! Itu tertulis!”
“Dan pertukaran juga akan berakhir setelah pasangan pengantin wanita mati, Rita. Itulah kelanjutan dari baris-baris buku yang buram.”
Di akhir kalimat itu, keduanya mematung di sana dengan suara-suara mesin yang hampir menulikan telinga mereka. Kata kematian yang terucap mengerucutkan kerutan wajah Rita, tetapi suara besar itu juga menarik perhatiaannya. Dia lekas berlari menaiki anak tangga dan lorong lorong menuju balkon. Berdiri di balik pohon bambu kuning, sebuah truk besar dan alat-alat besar lainya. Rita tercengang, dia segera berlari menemui Tillyn di ruang tamu.
Tillyn memutarkan tubuh, “Sudah kukatakan sebelumnya, alam akan mati. Tapi entah kenapa aku tak bisa melekatkanmu menjadi alam, Rita. Setidaknya menjadi manusia adalah suatu ‘keajaiban’ terbaik yang sudah kau peroleh.”
Rita mengeretakan giginya dan rambutnya berantakan di sertai wajah yang memerah dengan amarah yang mulai meluap, “Jangan samakan aku dengan mereka! Aku muak mereka terus membunuh kalian! Kau tidak lihat mereka menebang, dan membangun gedung-gedung hanya demi diri mereka sendiri!”
Di balik ruangan makan, suara kendaraan terhenti. Seseorang berteriak, lalu gerombolan pria bertopi kuning mengambil beberapa foto dan terdengar suara panik sambil sibuk menelepon seseorang. Rita dapat melihat dari kejauhan, kedua jasad tulang belulang itu digerogoti ratusan belatung gemuk. Namun, suatu kilauan sesaat menganggu kedipan matanya, gumpalan kekuningan melayang dan terbang menyatu dalam sayap Tillyn.
“Itu gumpalan terakhir,” ucap Tillyn dan dia berdeham, “Sebab keajaibanmu tidak bisa menetap pada tulang belulang.”
Rita mengerutkan wajah, “Apa maksudnya? Tulang belulang itu— Oh, apa ini selera humormu?” tanyanya diikuti dengan tawa.
“Aku akan mencoba menutup suaraku agar kau tak perlu menungguku lagi. Selamat tinggal.”
“Tunggu! Jangan pergi,” teriak Rita. “Jangan tinggalkan aku sendiri! Aku adalah pengantinmu!”
Hembusan angin yang meniupkan debu-debu perlahan membuka pengelihatan Rita yang sebenarnya. Dinding, kayu, besi, atap, batu, tanaman liar, perkakas rumah tangga dan segala ingatannya kembali tersadar dengan gumaman-gumaman itu. Suara samar yang terus menganggu dirinya selama ini, malah menaikan nada suaranya. Dan di balik orang yang berlalu lalang, tetesan darah menetes dari ujung daun telinga dan kerongkongannya menjadi asin. Suaranya tak bisa lagi terdengar, bahkan keributan di sekitar tidak dapat dia terima. Hanya gumaman itu saja yang berputar di telinganya. Berbisik, memanggil namanya berulang kali.
*Penulis adalah peserta kelas menulis Sigupai Mambaco, Blang Pidie, Aceh Barat Daya