https://www.majalahanakcerdas.com/?m=1 https://www.majalahanakcerdas.com/?m=1 https://www.majalahanakcerdas.com/?m=1
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini
Sunday, July 13, 2025
No Result
View All Result
POTRET Online
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini
POTRET Online
No Result
View All Result
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini
Pariwara
Beranda Cerpen

Pelukis Yang Hilang

Redaksi Oleh Redaksi
7 years ago
in Cerpen, Pelukis, Sastra
Reading Time: 5 mins read
A A
0
5
Bagikan
51
Melihat
Karya : M. Mufti Syahreza 
Angin sepoi-sepoi mengikuti gerak tanganku yang menari-menari di atas selembar kertas buram. Jari jemariku seolah tak jemu-jemu melukis apapun yang ada di sekitarku. Sebuah pensil selalu menempel di tangan kanan. Entah berapa lukisan yang telah aku lukis, aku tak dapat menghitungnya lagi. 
Sejak kecil aku telah melukis. Sejak aku masih bersekolah di TK dulu. Aku sangat senang dengan seorang guru yang mengajarkanku menggambar segala hal, sehingga melukis kemudian menjadi hobiku. 
Aku anak desa. Kampungku terletak di lereng bukit. Kata orang-orang di negeriku, aku โ€œABGโ€ alias Aneuk Bineh Gle (Anak Lereng Bukit). Ah, aku tak peduli perkataan orang-orang tentang ku, toh aku juga seorang manusia muda. Aku juga bisa menghasilkan karya. 
Sekarang umurku 15 tahun. Aku anak bungsu dari 7 bersaudara. Abu (ayah)ku sudah tua dan saudara-saudaraku sudah pergi ke kota serta sudah berkeluarga semuanya. Tinggal diriku sendiri di kampung mengurus orang tuaku satu-satunya dan juga kerbau-kerbau milik keluarga. Aku mencintai semuanya, termasuk umi (ibu)ku yang telah pergi 15 tahun lalu, ketika aku baru pertama kalinya menampakkan muka dan suara di dunia ini. Aku yakin, Umi telah bahagia di alam sana. 
Seperti biasanya, sambil mengembalakan kerbau-kerbau, aku melukis pemandangan kampungku. Aku amat bahagia, karena kampungku masih indah dan nyaman. Tidak seperti kampung Udin, temanku, yang sudah gersang dipenuhi dengan pabrik-pabrik, ruko, perusahaan, dan juga rumah-rumah penduduk. Kasihan dia. 
Setelah matahari mulai meredupkan cahayanya, aku menyimpan semua peralatan lukisku di sebuah jambo (gubuk). Aku menuntun kerbau-kerbauku ke kandang. Begitulah rutinitasku setiap hari. 
Aku senang melukis, tetapi aku tidak pernah mempublikasikan satupun karyaku. Aku hanya mengoleksinya untuk sendiri. Aku tidak begitu percaya diri untuk mempublikasikan lukisanku atau sekedar mengikuti perlombaan melukis, karena aku merasa lukisanku belum bagus. Walaupun begitu, aku bercita-cita bisa menjadi seorang pelukis terkenal seperti pelukis-pelukis Eropa atau Amerika yang bisa mendapatkan banyak uang dari hasil melukisnya. Aku selalu membayangkan bisa mengajak abuku ke tanah suci dengan hasil kerja kerasku dalam melukis. 
Meskipun aku tinggal di daerah yang amat pelosok, tapi tak sulit bagiku untuk mendapatkan berbagai informasi. Karena Udin, temanku yang tinggal di kota, selalu mengirimkan sepucuk surat untukku tentang keadaan dan perkembangan di kota setiap bulannya. Melalui surat itu, aku tahu bahwa di Banda Aceh akan diadakan pameran lukis dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional yang akan dihadiri oleh ahli-ahli lukis yang terkenal dan hebat. Aku sangat antusias mendengar kabar itu. Aku berencana ke Banda Aceh untuk menyaksikan pameran tersebut dan menemui ahli lukis yang terkenal dan hebat-hebat tersebut. Aku ingin menanyakan pada mereka, apakah karya-karyaku layak untuk dipublikasikan atau apakah aku berbakat dalam bidang melukis. 
Niatku ke Banda Aceh tak terbendung lagi. Dengan modal menjual seekor kambing akhirnya aku bisa berangkat ke ibu kota Provinsi Aceh yang terkenal dengan sebutan Serambi Mekah itu. Aku menyisihkan sedikit uang itu untuk kuberikan pada Anief agar dia menjaga kerbau-kerbau dan abuku selama tiga hari. Aku berpamitan pada abuku walaupun beliau sangat berat melepaskanku untuk pergi ke Banda Aceh sendirian. 
Aku sampai di Banda Aceh setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, selama 12 jam. Aku menginap di rumah temanku. Besoknya aku langsung ke tempat berlangsungnya pameran lukis itu dengan tidak lupa membawa sebuah hasil lukisanku untuk kutanyakan pada ahli-ahli itu, apakah aku berbakat di bidang seni lukis atau tidak. Aku sangat kagum melihat lukisan-lukisan yang dipajang di gedung megah itu, karena memang dilukis oleh ahli-ahli lukis terkenal di Indonesia. Aku berharap, kelak aku bisa memajang hasil karyaku di sebuah gedung yang besar dan disaksikan oleh banyak pengunjung seperti ini. Kapankah aku bisa mewujudkannya? Entahlah.. 
Hari ini adalah hari terakhir pameran tersebut. Aku berencana setelah pameran ini, akan mulai terjun ke dunia lukis secara konsisten. Karena itu, sebelumnya aku ingin sekali menanyakan dan memperlihatkan hasil karyaku pada ahli-ahli lukis itu. Aku ingin mendengar komentar mereka. Kebetulan mereka belum kembali ke kotanya masing-masing. Sebelum kesempatan itu berakhir aku langsung menjumpai salah seorang dari ahli-ahli itu. 
โ€œAssalamualaikum, Pak?โ€ sapaku dengan ramah. 
โ€œWaalaikumsalam. Ada keperluan apa, Dik?โ€ tanyanya. 
โ€œPerkenalkan Pak, nama saya Abdul. Saya sangat senang melihat lukisan Anda. Saya bercita-cita kelak bisa menjadi seorang pelukis terkenal seperti bapak, namun sebelumnya, saya ingin menanyakan kepada bapak, apakah saya berbakat atau tidak.โ€ 
โ€œDimana lukisanmu, saya ingin melihatnya,โ€ jawabnya lekas. 
โ€œIni, Pak,โ€ aku langsung menyodorkan lukisanku padanya. 
Belum 5 menit dia melihat gambarku, kepalanya langsung menggeleng-geleng pertanda lukisanku kurang menarik. 
โ€œSepertinya kamu kurang berbakat di bidang lukis.โ€ katanya memvonis. 
Aku langsung menangis mendengar perkataan itu. Hari itu juga aku pulang kembali ke kampungku tanpa berpamitan kepada Udin, sahabatku semenjak kecil. Setibaku di kampung, aku langsung menuju jambo (gubuk). Aku merusak semua lukisanku yang telah aku lukis dengan susah payah selama ini. Aku membakar semuanya. Begitu sakit aku hari itu. 
20 Tahun Kemudian 
Sekarang aku telah berkeluarga. Aku bekerja sebagai petani dan juga masih memelihara beberapa ekor kerbau milik Abuku. aku telah memiliki dua orang putra yang amat kubanggakan. Beberapa hari yang lalu, aku mendapat kabar dari Udin, sang ahli lukis yang 20 tahun yang lalu pernah menggelar pameran datang kembali ke Banda Aceh untuk acara yang sama. 
Walaupun sekarang aku tidak melukis lagi, aku masih senang dengan dunia itu. Aku masih ingat ucapan sang ahli lukis 20 tahun yang lalu yang membuat aku berhenti terjun ke dunia lukis melukis. Aku berniat ke sana untuk melihat sekaligus menanyakan pada sang ahli, mengapa dulu dia mengatakan aku tidak berbakat. 
Akhirnya, aku berangkat ke sana ditemani 2 putraku yang masih kecil. Istriku tidak bisa ikut karena harus merawat abuku yang sudah sangat tua. Aku kembali menginap di rumah Udin yang selalu setia memberikan tempat jika aku berkunjung ke Banda Aceh. 
Ketika pameran itu telah dibuka, aku langsung berkeliling melihat-lihat semua lukisan yang terpajang anggun dan berjejer rapi. Dalam benakku, masih teringat cita-citaku 20 tahun yang lalu. Sebuah keinginan yang sangat kudambakan, menjadi seorang pelukis. 
Saat sedang berkeliling arena pameran, aku bertemu dengan sang ahli yang dulu pernah mengatakan bahwa aku tidak berbakat. โ€œWah, ini kesempatan yang sangat tepat untuk menanyakan perihal 20 tahun yang lalu itu,โ€ gumamku. 
Langsung saja kusapa dia seperti dulu. โ€œAssalamualaikumโ€. 
Dia menjawab salamku dengan fasih. 
โ€œSaya Abdul yang dulu bercita-cita ingin jadi seorang pelukis yang hebat, apakah bapak masih ingat?โ€ tanyaku. 
โ€œOh, jadi kamu anak itu, bagaimana lukisanmu sekarang, apakah sudah berkembang?โ€ tanyanya. 
โ€œJadi bapak sudah lupa. Dulu bapak mengatakan bahwa aku tidak berbakat di dunia seni lukis, sayapun kemudian mengambil keputusan untuk tidak melukis lagi.โ€ Ujarku panjang lebar. 
โ€œMaafkan saya, Nak. Saya dulu sangat lelah karena telah 3 hari bekerja sekeras mungkin agar pamerannya berlangsung sukses, sehingga ketika kamu memperlihatkan lukisanmu saya tidak benar-benar memperhatikannya. Saya membandingkan lukisan anak berumur 15 tahun dengan lukisan saya,โ€ jawabannya membuat hatiku meledak.
Share2SendShareScanShare
Redaksi

Redaksi

Majalah Perempuan Aceh

Postingan Selanjutnya

GETLATELA

RAYAKAN HARI IBU, DPPPA ACEH DAN BALAI SYURA ACEH GELAR PERLOMBAAN โ€œD0 KU DA IDIโ€

SETELAH SARJANA, MAU KE MANA? TENTUKAN PILIHANMU SEKARANG JUGA!!

Sekda Harapkan Dokter Kecil Jadi Kader Kesehatan dan Kebersihan di Sekolah

Sensasi Kuliner Betawi Asli Di Banda Aceh

HABA MANGAT

Haba Mangat

Tema Lomba Menulis Edisi Mei

Oleh Redaksi
May 10, 2025
0
432

27 tahun yang lalu (1998) nilai tukar rupiah terhadap dolar, dari Rp 2,575.00 berangsur turun menjadi Rp 16.000 pada Maret...

Baca SelengkapnyaDetails
Majalah POTRET pun Penting dan Perlu Untuk Melihat Wajah Batin dan Spiritualitas Diri Kita

Tema Lomba Menulis Maret 2025

March 22, 2025
383

Responden Terpilih

March 14, 2025
138
Majalah POTRET pun Penting dan Perlu Untuk Melihat Wajah Batin dan Spiritualitas Diri Kita

Pemenang Lomba Menulis Februari 2025

March 2, 2025
395

Jajak Pendapat #KaburAjaDulu

February 22, 2025
244

SELAKSA

  • All
  • Tabrani Yunis
Diamuk Rindu

Tak Sempat Menulis

Oleh Tabrani Yunis
2025/07/12
0
105

Oleh Tabrani Yunis  Tak sempat menulis, atau belum ada waktu menulis. Itulah dua ungkapan yang sangat sering kita dengar, keluar...

BENGKEL OPINI RAKyat

Sengketaย Terpelihara

Oleh Tabrani Yunis
2025/06/05
0
142

Oleh Tabrani Yunisย  Pulau Panjang, Mangkir Ketek, Mangkir Gadang dan Lipan Tidak seperti Pulau Sipadan dan Ligitan Yang durebut Malaysia  karena...

EleฤŸi Negerikuย ย Yang Gelap Gulita

EleฤŸi Negerikuย ย Yang Gelap Gulita

Oleh Tabrani Yunis
2025/06/03
0
92

Oleh Tabrani Yunis Negeri mutu manikam berkabut gelap Yang terbentang di garis Khatulistiwa  Apakah ada matahari yang disadap  Hingga seluruh...

Kegalauan Bapak

Kegalauan Bapak

Oleh Tabrani Yunis
2025/05/29
0
122

Oleh Tabrani Yunis  Nak, Kemarilah duduk sejenak Kuharap kau dapat menyimak Setiap kata dan kalimat Bapak Walau usiamu masih anak-anak...

Populer

  • Pahitnya Kopi Tak Sepahit Nasib Guru

    13 shares
    Share 5 Tweet 3
  • Tak Sempat Menulis

    11 shares
    Share 4 Tweet 3
  • In Memorial Bapak Dr.Qismullah Yusuf, Sang Inspirator.ย 

    16 shares
    Share 6 Tweet 4
  • A Book in Hand Is Worth a Thousand on a Pen Drive

    10 shares
    Share 4 Tweet 3
  • Hidup Bukan Lomba, Tapi Perjalanan: Untukmu, yang Baru Lulus Tapi Belum Jadi Apa-Apa

    8 shares
    Share 3 Tweet 2
POTRET Online

Copyright@potret2025

Media Perempuan Aceh

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Program 1000 Sepeda dan Kursi roda
  • Kirim Tulisan
  • Saat Plastik Bertemu AI

Follow Us

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini

Copyright@potret2025

-
00:00
00:00

Queue

Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00