Oleh Tabrani Yunis
Di negeri kita Indonesia ini, banyak sekali kondisi kehidupan masyarakat kita yang terasa masih sangat miris. Berbagai cerita pilu masih menyelimuti bangsa ini. Padahal, dilihat dari perjalanan usia negeri ini , bangsa Indonesia sudah menikmati kemerdekaan mendekati angka 100 tahun atau satu abad. Ya, sudah 72 tahun. Ibarat umur manusia, sudah lansia, namun banyak sekali cerita kehidupan bangsa yang tidak sejahtera. Misalnya saja masalah kemiskinan yang masih tinggi, membelenggu bangsa ini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kenaikan jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2017, dibanding September 2016. Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2017 sebanyak 27,77 juta orang. Sementara, per September 2016 sejumlah 27,67 juta orang. Menurut Kepala BPS Suhariyanto, jumlah peningkatan penduduk miskin itu sebanyak 0,01 juta orang. Hal ini disampaikan Suhariyanto saat membahas mengenai profil kemiskinan di Indonesia, di BPS Gedung 3 lantai 1, Jakarta Pusat, Senin (17/7/2017).
Sekitar 28.55 juta jiwa atau sekitar 11.47 persen dari penduduk Indonesia . bukan hanya terkait angka tersebut, menurut suryamin, kepala BPS, mengatakan bahwa kemiskinan itu malah semakin parah, karena indeks kedalaman kemiskinan naik dari 1,75% (Maret 2013) menjadi 1,89%. Kemudian indeks keparahan kemiskinan naik dari 0,43% (Maret) menjadi 0,48%. Tingkat kemiskinan yang ada di Indonesia semakin parah, karena berada menjauhi garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin semakin melebar (detik finance 2/1/2014).
Selain masih tingginya angka kemiskinan tersebut, persoalan lain dari bangsa ini adalah masih tingginya angka buta aksara di dalam masyarakat kita. Ternyata, di era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi ini, Indonesia masih diramaikan dengan jumlah masyarakat yang buta aksara. Menurut data yang ada, penyandang buta aksara di Indonesia mencapai 4,26 persen dari jumlah penduduk Indonesia saat ini. Angka dalam persen ini pun masih pada angka prosentase buta aksara, bukan buta literasi. Apabila kita katergorikan ke dalam angka buta literasi, pasti jumlahnya akan sangat menbengka, karena literasi bukan sekedar aksara, mengeja, membaca dan menulis abjad dan angka, tetapi lebih luas pada tataran pemahaman hingga pada kemampuan menggunakan teks secara fungsional dan kemampuan melakukan analisis terhadap persoalan social, politik dan lainnya.
Tingginya angka kemiskinan dan masih besarnya jumlah masyarakat Indonesia yang buta huruf atau buta aksara saat ini, ikut mempengaruhi kondisi kehidupan bangsa dari dulu hingga kini. Karena ketika angka kemiskinan dan angka buta aksara masih tinggi, maka salah satu dampaknya adalah rendahnya minat baca masyarakat. minat baca masyarakat kita bisa berada pada posisi tingkat terendahatau titik nadir. Rendahnya minat baca tersebut bukan saja terjadi di kalangan masyarakat miskin dan buta aksara, karena tidak mampu membeli dan tidak mampu membaca, tetapi juga terjadi di kelompok kalangan menengah ke atas, yang tidak terbiasa dan tidak berbudaya menbaca. Jadi, logikanya, bagaimana masyarakat miskin dan buta aksara akan memiliki minat baca yang tinggi, apabila kemampuan membaca dan daya beli bacaan tidak ada?
Terkait rendahnya minat baca masyarakat kita,UNESCO pada 2012, mencatat bahwa indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. angka ini memberikan makna bahwa dalam setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat menbaca. Menyedihkan bukan? UNDP dalam human reportnya merilis pula bahwa angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen. Ini menunjukkan perbedaan yang menyolok antara Indonesia dengan Negara tetengga kita Malaysia. Malaysia sudah mencapai 86,4 persen. Fakta lain, dipaparkan oleh Bank dunia nomor 16396-IND, dan studi (International association for the evaluation of education achievement) di Asia timur, tingkat terendah menbaca dipengang oleh Negara Indonesia dengan skor 51,7.
Jadi, Indonesia tetap berada pada posisi bawah, bahkan di bawah Filipina yang memiliki skor (skor 52,6). Semakin bawah bila dibandingkan dengan beberapa Negara tetangga seperti Thailand (skor 65,1), Singapura (skor 74,0), dan Hongkong ( skor 75,5). Bukan itu saja, kemampuan orang Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, hanya 30 persen. Kita sekali lagi kalah dibandingkan Malaysia yang sudah mencapai 86,4 persen, apalagi bila dibandingkan dengan Negara-negara maju seperti Jepang, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat yang umumnya sudah mencapai 99,0 persen. Kita bisa jauh tertinggal bukan?
Kelihatannya memang demikian. Wajar saja, kalau pasar buku di Indonesia juga ikut lesu. Lalu, indikasi lain dari rendahnya minat baca orang kita Indonesia, dapat kita lihat pula pada tingkat produktifitas terbitan buku. Nah, ditinjau dari jumlah terbitan judul buku pertahunnya dengan ratio perbandingan jumlah penduduk, masih sangat rendah. PBB menyebutkan rasionya baru 35 judul buku bagi satu juta penduduk. Sedangkan untuk surat kabar, satu surat kabar, masih dibaca oleh sekitar 25 orang. Sementara angka yang ideal yang ditoleransikan PBB adalah 10 orang untuk satu koran. fakta lain yang dapat kita jadikan sebagai tolak ukur adalah dari jumlah masyarakat yang mengunjungi perpustakaan untuk menbaca. Apalagi perpustakaan sekolah yang tidak punya daya tarik karena tidak tersedianya bacaan-bacaan yang menarik bagi pengunjungnya. Pasti pustaka itu tak ubahnya seperti rumah hantu saja.
Selain kondisi-kondisi di atas, ada kencendrungan dan kebiasaan atau tabiat orang kita Indonesia yang sulit diubah. Masyarakat Indonesia lebih cenderung memilih budaya lisan (oral) dibandingkan dengan budaya baca. banyak cerita rakyat yang ada ditengah masyarakat, hanya diturunkan dengan cara tutur atau lisan. Sehingga cerita itu akan berubah- ubah tergantung pada kemampuan orang yang menceritakannya. Padahal, cerita itu akan lestari, apabila selalu dicatat dan ditulis dengan rapi, tanpa kehilangan banyak hal. Selain itu, banyak pula peristiwa dan pengalaman penting yang terjadi di sekitar kita, hilang begitu saja, karena peristiwa dan pengalaman penting itu tidak tertulis.
Masih banyak fakta buruk lainnya yang terjadi terhadap bangsa ini, ketuka kemiskinan intelektual dan finansial masih membelenggu sejumlah masyarakat di negeri ini yang tidak diungkapkan dalam tulisan ini. Namun, harus disadari bahwa semua itu bermuara pada buruknya kualitas sumber daya manusia Indonesia. Oleh sebab itu, tidaklah salah kita mengatakan bahwa buah dari kondisi buruk di atas, membuktikan buruknya kualitas sumber daya manusia Indonesia. Setuju atau tidak setuju dengan indicator yang dibuat oleh PBB tentang indeks pembangunan manusia (IPM) atau human development index yang menempatkan Indonesia pada urutan ke 121 dari 187 negara yang diperingkat oleh program pembangunan PBB atau united nations developmend program (UNDP). Sekali lagi, ini sesungguhnya memalukan sekali.
Kondisi ini semakin buruk karena pengaruh dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang memanjakan masyarakat dengan budaya serba instan. Kehadiran berbagai macam gadgets, yang seharusnya meningkatkan kemampuan literasi masyarakat kita, karena dengan adanya gadgets tersebut, kita bisa mengakses sebanyak mungkin informasi dan pengetahuan, namun pada kenyataannya semakin membuat masyarakat manja dengan gadgets, hanya menggunakannya untuk hal-hal yang menyenangkan hati (entertainment). Di samping itu, arus globalisasi yang semakin deras, mendorong daya saing semakin tinggi, masyarakat kita hanya akan menjadi korban dari produk-produk globalisasi tersebut.
Kiranya kondisi buruk di atas, tidak seharusnya kita pertahankan atau tidak layak untuk dibiarkan. Karena fakta-fakta di atas harus kita pahami dan analisis secara lebih mendalam. Indonesia harus bangkit dari semua ketinggalan, memperbaiki segala kondisi buruk yang menyelimuti bangsa ini. Tentunya harus meningkatkan kualitas SDM yang kini masih rendah. Perang terhadap kemiskinan dan kebodohan adalah hal yang harus dengan segera dan serius dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia. Karena sesungguhnya musuh terbesar dari bangsa Indonesia saat ini adalah kemiskinan dan kebodohan. Oleh bebab itu, semua pihak yang ada di negeri ini punya kewajiban untuk memerangi kemiskinan dan kebodohan tersebut.
Tentu banyak cara untuk memerangi kemiskinan dan kebodohan itu. Namun, jalan utama dari semua itu adalah lewat upaya pendidikan. Pendidikan yang merata dan berkualitas harus dilaksanakan, bukan hanya menjadi komoditas politik semata. Pendidikan pun jangan hanya difahami dalam bentuk formal saja, yang melihat pendidikan hanyalah institusi pendidikan formal seperti sekolah-sekolah, akademi dan perguruan tinggi. Karena sesungguhnya agar bangas ini bangkit dari keterpurukan, aktivitas pendidikan informal yang tumbuh dan berkembang secara informal di masyarakat, sebagai bentuk pendidikan alternative, harus mendapat perhatian lebih besar dari pemerintah.
Dengan memperhatikan pendidikan informal tersebut, sesungguhnya bangsa ini juga akan dengan serius melaksanakan prinsip lifelong learning yang dirancangkan oleh Islam dan telah menjadi agenda masyarakat global. Lewat pengembangan program pendidikan alternatif dan pelaksanaan prinsip lifelong learning tersebut, kita bangsa Indonesia bisa akan semakin banyak yang mau ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara aktif. Karena lewat kegiatan pendidikan arternatif, akan banyak pihak yang mau membantu melaksanakannya. Selama ini sangat banyak pihak dari lembaga non pemerintah, seperti LSM atau NGO yang telah melakukan kegiatan membangun literasi, lewat pelayanan pendidikan alternative tersebut. Pihak-pihak LSM/NGO terpanggil untuk membantu rakyat Indonesia. Mereka telah membuat dan memberikan pelayanan pendidikan, baik dalam hal keaksaraan, entrepreneurship dan lain-lain, termasuk membangun taman bacaan dan media belajar bagi masyarakat. Adanya majalah POTRET, majalah Anak cerdas merupakan bentuk partisipasi nyata untuk tujuan itu. Sayangnya upaya yang telah dilakukan mereka tidak mendapat perhatian dan dukungan dari pemerintah. Yang ada malah mereka dimusuhi dan dianggap oposan.
Kini, pemerintah sebagai pemegang tanggung jawab pembangunan budaya bangsa, harus terus membangun budaya literasi di tengah masyarakat. Pemerintah harus secepatnya membangun dan menyediakan sumber belajar yang memadai, serta mendorong semua fasilitas yang sudah ada, terutama perpustakaan sekolah agar difungsikan secara maksimal. Memfungsikan semua taman bacaan, pusat kegiatan belajar masyarakat, serta perpustakaan desa adalah salah satu cara untuk membangun budaya literasi ini. Masih banyak cara lain, seperti kata orang bijak, “there are many ways to heaven. Jadi, jangan pernah berhenti membangun Indonesia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Bangkitlah Indonesia, kejar ketinggalan. Selayaknya kita malu terus menjadi orang miskin dan bodoh.