Dengarkan Artikel
Oleh: Novita Sari Yahya .
Ketika Ledakan Mengema di Sekolah
Ketika membaca berita tentang pelaku peledakan bom di SMA 72 Jakarta yang disebut sebagai korban bullying, saya tidak terkejut. Sehari sebelumnya, saya berdiskusi dengan seorang pemimpin redaksi media nasional tentang potensi ekstremisme di Indonesia. Enam bulan lalu, saya menulis refleksi berjudul “Di Manakah Anak-Anak Kita Saat Kegaduhan Politik Terjadi?”—tulisan yang kini terasa seperti prolog dari peristiwa nyata.
Bullying bukan sekadar peristiwa antarindividu, melainkan bangunan sosial yang terbentuk dari kondisi psikologis bangsa. Ketika kekerasan menjadi cara berkomunikasi, penghinaan menjadi bentuk pengakuan diri, dan rasa takut dijadikan alat kendali, maka masyarakat telah kehilangan empati kolektifnya.
Fenomena perundungan bahkan menjalar ke ruang-ruang intelektual, seperti kasus bunuh diri dokter peserta program PPDS. Dunia kedokteran yang seharusnya menjadi tempat empati dan penyembuhan ternyata juga tak luput dari pola kekerasan terselubung.
Sejarah mencatat bahwa Indonesia berulang kali mengalami bentuk ekstrem dari perundungan kolektif yaitu amok massa. Dari 1965 hingga 1998, bangsa ini meledak dalam kekerasan sosial yang memakan korban. Dalam amok, yang lenyap bukan hanya nyawa, tetapi juga nalar dan rasa kemanusiaan.
Dari Feodalisme ke Ekstremisme
Bullying, feodalisme, dan ekstremisme tumbuh dari akar yang sama: kekuasaan tanpa empati.
Selama Orde Baru, masyarakat dibentuk dalam logika hierarkis. Kekuasaan dijalankan dengan menekan, bukan mendidik. Suara yang berbeda dianggap ancaman, dan kritik disamakan dengan pemberontakan. Dalam sistem seperti itu, hanya ada dua pilihan: tunduk atau melawan.
Ketika perlawanan tak mendapat ruang, ia mencari bentuk lain. Dalam bentuk ekstrime. Kasus SMA 72 bisa dibaca sebagai simbol perlawanan terhadap sistem yang menekan, bukan semata hasil doktrin ideologis. Ia muncul sebagai ekspresi dari kekecewaan yang lama tertahan; sebuah ledakan psikologis masyarakat yang kehilangan ruang dialog dan keadilan.
Politik Kekerasan dan Anak-Anak yang Meniru
Apakah kita menyadari bagaimana kondisi psikologis anak-anak ketika setiap hari mereka menyaksikan orang dewasa saling menghina di media sosial? Para politisi yang mengaku memperjuangkan rakyat justru menjadi pelaku bullying digital.
Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat: bahwa untuk menang, mereka harus menyerang, bukan memahami.
Ketika orang dewasa mempraktikkan kekerasan verbal dan simbolik di ruang publik, anak-anak mewarisi bahasa yang sama. Mereka tumbuh dengan persepsi bahwa penghinaan adalah bentuk kemenangan. Dalam suasana seperti itu, sekolah kehilangan fungsi pendidikan dan berubah menjadi arena tekanan sosial baru.
Mental Inlander dan Cermin Feodalisme
Rosihan Anwar dalam “Inlander Dinilai” menulis bahwa manusia Indonesia bukanlah sosialis egaliter, melainkan borjuis kecil yang hidup dari politik dan untuk politik. Mereka mudah marah, suka berdebat, dan berpisah atau bercerai karena hal sepele.
Dalam tulisannya “Tabiat yang Kita Warisi”, Rosihan Anwar menambahkan bahwa bangsa ini cenderung mudah puas pada kemajuan semu, dan kurang menghargai integritas moral.
Mochtar Lubis dalam “Manusia Indonesia” menggambarkan bangsa yang hipokrit, tidak suka kritik, dan gemar berpura-pura di hadapan kekuasaan.
Sementara Sutan Syahrir sejak 1948 telah memperingatkan bahaya fasisme dalam jiwa muda yang tidak terdidik secara demokratis.
Ketika sifat inlander bertemu hipokrisi dan fasisme, lahirlah budaya premanisme. Budaya yang mengagungkan otot di atas nalar, dan kekuasaan di atas kebenaran.
Bapakisme, Ibuisme, dan Hierarki Kekuasaan
Warisan feodalisme memperkuat struktur sosial yang dikenal sebagai bapakisme dan ibuisme. Sisstem paternalistik di mana kekuasaan dianggap milik kelompok elite. Loyalitas diukur dari kepatuhan, bukan kebenaran.
📚 Artikel Terkait
Kondisi ini menjalar dari politik kekuasaan elite ke keluarga dan sekolah. Anak yang bertanya dianggap kurang ajar; mahasiswa kritis dilabeli pembangkang. Hierarki seperti ini menumbuhkan ketimpangan psikologis yang menumpuk menjadi frustrasi sosial. Ketika tekanan itu tak tertampung, ia meledak menjadi kekerasan massal atau ekstremisme.
Lingkaran Kekerasan dan Ketidakadilan Sosial
Bullying adalah mekanisme pertahanan ego yang rapuh. Ketika seseorang dipermalukan, ia belajar menindas untuk bertahan. Di sinilah lingkaran kekerasan terbentuk.
Dalam budaya kompetisi tanpa empati melahirkan manusia yang haus kemenangan. Kritik dianggap ancaman, kekalahan dianggap aib.
Kekecewaan sosial yang dibiarkan akan menumpuk menjadi ledakan sosial, sebagaimana terjadi pada Mei 1998 dan berbagai aksi ekstrem yang muncul setelahnya.
Ekstremisme dan Absennya Wajah Negara
Ekstremisme muncul ketika wajah negara tidak hadir. Saat warga tidak merasakan keadilan dan pelayanan publik, mereka mencari pengakuan melalui kelompok tertutup baik ideologis maupun digital.
Rasa keterasingan sosial menjadi bahan bakar ekstremisme.
Solusi tidak cukup dengan penegakan hukum; dibutuhkan pendekatan psikososial dan sistem pendampingan masyarakat yang mampu membaca tanda-tanda stres sosial sejak dini.
Sistem Pendampingan dan Ketahanan Sosial
Dalam kajian Resilient and Responsive Health System yang pernah saya tulis, saya mengusulkan satu orang tenaga kesehatan mendampingi 1.000–2.000 warga di wilayahnya. Pendampingan ini bukan hanya untuk kesehatan fisik, tetapi juga untuk kondisi sosial dan psikologis masyarakat.
Masalah kesehatan berkelindan dengan ekonomi, politik, dan budaya. Ketika seseorang kehilangan pekerjaan atau martabat sosial, gangguan mental muncul. Dengan sistem pendampingan yang peka terhadap perubahan perilaku, potensi ekstremisme bisa dideteksi lebih dini.
Pendidikan Humanis: Memutus Rantai Kekerasan
Sebagaimana saya tulis dalam “Pendidikan Humanis: Mengikis Feodalisme dan Otoritarianisme”, pendidikan seharusnya memanusiakan manusia. Guru seharusnya menjadi mitra berpikir yang membangkitkan keberanian moral siswa.
Sekolah harus menjadi ruang aman untuk bertanya dan berbeda pendapat tanpa rasa takut. Hanya dengan pendidikan humanis, bangsa ini dapat memutus rantai kekerasan dan membangun kesadaran baru yang berakar pada empati.
Penutup: Menyembuhkan Luka Bangsa
Bullying, feodalisme, dan ekstremisme adalah tiga wajah dari luka psikologis bangsa yang belum sembuh. Luka itu lahir dari sejarah panjang ketimpangan dan represi sosial.Bangsa yang besar bukanlah yang tak pernah berkonflik, tetapi yang mampu mengubah konflik menjadi kesadaran.
Kita memerlukan budaya baru: budaya empati, kesetaraan, dan keberanian berpikir. Ketika setiap anak Indonesia merasa aman berbicara tanpa takut dirundung, di sanalah kemanusiaan kita menemukan wajahnya kembali.
Daftar Referensi
BBC Indonesia. (2024, 17 Agustus). Dokter PPDS Undip diduga bunuh diri karena perundungan dan beban kerja yang berat. BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/articles/c8erp421xj1o
DetikNews. (2025, 10 November). Polisi dalami kabar pelaku ledakan SMAN 72 Jakarta korban bullying. Detik.com. https://news.detik.com/berita/d-8200230/polisi-dalami-kabar-pelaku-ledakan-sman-72-jakarta-korban-bullying
Lubis, M. (1977). Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor.
Munira News. (2025, 11 Mei). Di manakah anak-anak kita saat kegaduhan politik merajalela? Munira News. https://muniranews.com/di-manakah-anak-anak-kita-saat-kegaduhan-politik-merajalela/
Poskota TV. (2025, 19 September). Novita Sari Yahya menggaungkan literasi self-love dan kebangsaan di panggung nasional dan internasional. Poskota TV. https://poskota.tv/2025/09/19/novita-sari-yahya-menggaungkan-literasi-self-love-dan-kebangsaan-di-panggung-nasional-dan-internasional/
Rosihan Anwar. (2005, 9 Maret). Tabiat yang kita warisi. Pikiran rakyat.
Rosihan Anwar. (2010, 4 Desember). Inlander dinilai. Kompas.
Siaran Depok. (2025, 16 September). Pendidikan humanis mengikis feodalisme dan otoritarianisme membangun karakter bangsa. SiaranDepok.com. https://www.siarandepok.com/baca/20250916/pendidikan-humanis-mengikis-feodalisme-dan-otoritarianisme-membangun-karakter-bangsa.html
Syahrir, S. (1948). Perjuangan Kita. Jakarta: Pustaka Rakyat.
Novita sari yahya
Penulis dan peneliti.

🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini


















