• Terbaru

STEM dan Warisan Soekyarno

October 9, 2025

Memaknai Hari Pahlawan: Moral dalam Kebebasan Digital yang Harus Dikawal

November 18, 2025

Kafka dan Trio RRT Di Depan Hukum

November 17, 2025

🚩🚩SELAMAT PAGI MERAH PUTIH

November 17, 2025

Penjor vs Kabel PLN

November 17, 2025

Kebugaran dan Kebersamaan di Bawah Langit Paya Kareung

November 17, 2025

Otsus Aceh di Persimpangan Jalan

November 16, 2025

Pendapat Prof Jimly Soal Ijazah Jokowi

November 16, 2025

Korupsi di Sektor Kesehatan: Dari Nasionalisme STOVIA hingga Penjara KPK

November 16, 2025

Malam Layar Puisi Anak Muda 2025

November 16, 2025

Prasasti Kebon Kopi

November 15, 2025

Bullying, Feodalisme, dan Ekstremisme

November 16, 2025

Dari Sumber Daya ke Sumber Daya Damai

November 15, 2025
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat
Tuesday, November 18, 2025
POTRET Online
  • Login
  • Register
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat
No Result
View All Result
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat
No Result
View All Result
POTRET Online
No Result
View All Result
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat

STEM dan Warisan Soekyarno

RedaksiOleh Redaksi
October 9, 2025
0
Reading Time: 5 mins read
🔊

Dengarkan Artikel

Oleh Novita Sari Yahya

Dari Nilai A ke Jurusan Biologi

Ilmu pengetahuan yang belum saya coba untuk dalami serius adalah matematika dan fisika. Ironisnya, waktu SD di Malaysia saya bisa dapat grade A di semua pelajaran. Waktu SMP, nilai Ebtanas matematika saya 9 lebih. Tapi ketika masuk SMA, barulah saya sadar: ternyata otak saya tidak seindah rapor. Matematika mulai menampakkan taringnya, fisika jadi monster yang lebih menakutkan dari guru killer, sementara biologi dan bahasa seperti pacar yang manis—selalu bikin nyaman. Tidak heran akhirnya saya masuk jurusan biologi, bukan fisika. Pilihan aman.

STEM dan Warisan Soekyarno

Sekarang istilah kerennya adalah STEM—Science, Technology, Engineering, and Mathematics. Katanya itu fondasi dunia modern. Dulu, pada zaman Soekarno, ribuan mahasiswa Indonesia dikirim ke Rusia, Tiongkok, Eropa Timur, bahkan Korea Utara. Tujuannya jelas: pulang, lalu bangun Indonesia.

Soekarno adalah figur revolusioner yang penuh semangat. Dengan pidatonya, ia bisa membuat rakyat bergetar, bahkan lantang menyerukan “Ganyang Malaysia!” yang sampai sekarang masih jadi kutipan legendaris. Namun, di balik semangat membakar itu, ada paradoks: beberapa kawan seperjuangan justru dimasukkan ke penjara karena beda haluan. 

Tokoh seperti Mohammad Natsir, Sutan Sjahrir, hingga Buya Hamka merasakan hal tersebut. Kritik Bung Hatta tentang “persatean” Nasakom pun tenggelam di tengah retorika Bung Karno yang selalu dramatis dan memikat.

Mahasiswa Indonesia di Blok Timur

Namun, kalau tragedi 1965 tidak terjadi, mungkin jalan sejarah lain. Ribuan mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri bisa pulang dan membangun negeri. Bayangkan jika mereka membawa ilmu dari Rusia, Eropa Timur, atau Tiongkok—ilmu yang bahkan tak ada di Cambridge atau Oxford.

Korea Utara misalnya, walau miskin, unggul dalam nuklir dan teknologi kesehatan. Mahasiswa Indonesia di era itu ada yang belajar teknik perkeretaapian Soviet, rekayasa nuklir, hingga kedokteran tropis berbasis sistem komunal Tiongkok. Ilmu yang kala itu mustahil ditemukan di universitas Barat karena dianggap “tidak sesuai selera kapitalisme.” Tapi, semua itu berakhir tragis: mereka dibantai, dipenjara, atau tak bisa pulang. Sejarah Indonesia kehilangan generasi emas ilmu pengetahuan.

1965: Ilmu yang Hilang dan Generasi yang Terkorbankan

Tragedi politik 1965 bukan hanya soal perebutan kuasa, tapi juga pemangkasan brutal terhadap potensi akademik bangsa. Ribuan intelektual yang dianggap “kiri” lenyap begitu saja. Banyak mahasiswa Indonesia di luar negeri menjadi eksil, tak bisa kembali karena khawatir ditangkap. 

Mereka hidup di pengasingan, dari Praha, Moskow, hingga Beijing. Pertanyaannya: seandainya mereka pulang dan berkarya, apakah Indonesia hari ini bisa menyalip Tiongkok? Pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban.

Orde Baru dan Lahirnya Ilmu “Komisiologi”

Masuk era Orde Baru, Soeharto membangun sistem pembangunan dengan arahan Amerika Serikat dan sekutunya: IMF, Bank Dunia, dan lembaga donor lainnya. Mahasiswa Indonesia mulai dikirim belajar ke AS, Inggris, Australia, dan Belanda. Apa hasilnya? Banyak yang pulang membawa ilmu, tapi pemerintah tidak punya ruang menampungnya. Jurusan macam astrofisika, bioteknologi, atau teknik nuklir? Tidak ada kementerian yang peduli.

📚 Artikel Terkait

Khasiat Tempe Mentah

Ragam Tas Motif Aceh

Manusia-Manusia Menunduk

Ayo Ikut Rasulullah Jadi Seorang Entrepreneur

Akhirnya lulusan-lulusan cemerlang itu justru terserap di perusahaan asing atau sekadar jadi konsultan proyek. Sementara yang meroket di dalam negeri adalah ilmu “komisiologi”—seni mendapatkan komisi dari setiap proyek SDA. Inilah masa ketika jargon paling populer bukan STEM, melainkan “asal bapak senang” dan “bapak/ibu komisi.”

Sarjana Luar Negeri: Dari Beasiswa ke Buzzer

Apa yang dilakukan para sarjana jebolan kampus top dunia? Banyak yang akhirnya bekerja di perusahaan dengan saham mayoritas asing, atau sibuk rebutan jabatan komisaris BUMN. Bukan karena prestasi, tapi karena koneksi.

Lebih parah lagi, banyak dari mereka berubah jadi gelandangan politik. Kerjaannya ribut di media sosial, bikin meme, jadi buzzer. Kalau bos yang didukung menang pilpres, langsung naik pangkat jadi staf ahli atau komisaris. 

Ironisnya, mereka lebih sering memproduksi hoaks dan gosip ala emak-emak komplek daripada jurnal riset. Inilah tragedi pendidikan tinggi Indonesia: dari beasiswa rakyat, hasilnya malah jadi konten kreator politik.

Matematika dan Fisika: Dari Saya ke Generasi Berikutnya

Jadi mari kita kembali ngopi pagi, membicarakan kelemahan saya di bidang matematika dan fisika. Untungnya, ada harapan: putra saya yang paling tua justru cemerlang di bidang fisika dan matematika. Ia berhasil lulus teknik sipil, meski dari perguruan tinggi swasta. Hasil tes IQ-nya juga menunjukkan kemampuan kuat di bidang STEM. Ketika saya dorong melanjutkan kuliah S2, jawabannya sederhana: “uang lebih penting daripada ijazah.”

Itulah salah satu penyebab generasi muda Indonesia tidak berlomba-lomba di bidang pengetahuan. Mereka lebih suka mencari jalan pintas pragmatis. Meski begitu, saya tetap optimis: suatu saat akan kembali era di masa awal kemerdekaan, ketika manusia Indonesia lebih haus ilmu daripada haus jabatan.

Harapan Baru dari Generasi Z

Beberapa waktu lalu, ada berita menggembirakan: Generasi Z mulai bangkit dengan literasi, membeli buku, dan berkumpul dalam komunitas membaca. Sebuah tanda bahwa gairah ilmu pengetahuan belum padam sepenuhnya.

Harapan saya lainnya: suatu hari lahir yayasan filantropi desa yang fokus pada riset dan pengembangan teknologi sederhana. Dari desa bisa lahir pemikir besar, ahli matematika, bahkan fisikawan yang menciptakan mesin cerdas lebih pintar dari Grok atau ChatGPT. Desa yang modern tapi tetap tradisional, dengan masyarakat yang gemar membaca, menulis, dan berdiskusi.

Itulah imajinasi saya tentang Indonesia: negara yang bukan hanya pandai bikin meme politik, tapi juga menghasilkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat.

Referensi

1. Benedict Anderson, A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia (Cornell University, 1971).

2. John Roosa, Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia (University of Wisconsin Press, 2006).

3. Hilmar Farid, “Indonesia’s Original Sin: Mass Killings and Capitalist Expansion, 1965–66,” Inter-Asia Cultural Studies, 2005.

4. Tempo Magazine, “Mereka yang Tak Bisa Pulang: Kisah Eksil 1965” (Edisi Khusus, 2015).

5. Kompas, “Generasi Z dan Tren Membaca: Toko Buku Kembali Ramai” (2024).

6. David Bourchier, Illiberal Democracy in Indonesia: The Ideology of the Family State (Routledge, 2014).

Novita sari yahya.

Penulis dan peneliti.

Hobi : mengamati tingkah laku manusia Indonesia sambil scroll media sosial.

🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini

Pria Yang Merindukan Prostatnya
Pria Yang Merindukan Prostatnya
28 Feb 2025 • 114x dibaca (7 hari)
Oposisi Itu Terhormat
Oposisi Itu Terhormat
3 Mar 2025 • 102x dibaca (7 hari)
Keriuhan Media Sosial atas Kasus Keracunan Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
Keriuhan Media Sosial atas Kasus Keracunan Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
2 Oct 2025 • 86x dibaca (7 hari)
Hancurnya Sebuah Kemewahan
Hancurnya Sebuah Kemewahan
28 Feb 2025 • 86x dibaca (7 hari)
Hari Ampunan
Hari Ampunan
1 Mar 2025 • 75x dibaca (7 hari)
📝
Tanggung Jawab Konten
Seluruh isi dan opini dalam artikel ini merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi bertugas menyunting tulisan tanpa mengubah subtansi dan maksud yang ingin disampaikan.
Redaksi

Redaksi

Majalah Perempuan Aceh

Artikel

Menulis Dengan Jujur

Oleh Tabrani YunisSeptember 9, 2025
#Gerakan Menulis

Tak Sempat Menulis

Oleh Tabrani YunisJuly 12, 2025
#Sumatera Utara

Sengketa Terpelihara

Oleh Tabrani YunisJune 5, 2025
Puisi

Eleği Negeriku  Yang Gelap Gulita

Oleh Tabrani YunisJune 3, 2025
Puisi

Kegalauan Bapak

Oleh Tabrani YunisMay 29, 2025

Populer

  • Gemerlap Aceh, Menelusuri Emperom dan Menyibak Goheng

    Gemerlap Aceh, Menelusuri Emperom dan Menyibak Goheng

    162 shares
    Share 65 Tweet 41
  • Inilah Situs Menulis Artikel dibayar

    153 shares
    Share 61 Tweet 38
  • Peran Coaching Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan

    145 shares
    Share 58 Tweet 36
  • Korupsi Sebagai Jalur Karier di Konoha?

    57 shares
    Share 23 Tweet 14
  • Lomba Menulis Agustus 2025

    51 shares
    Share 20 Tweet 13

HABA MANGAT

Haba Mangat

Tema Lomba Menulis November 2025

Oleh Redaksi
November 10, 2025
Haba Mangat

Tema Lomba Menulis Bulan Oktober 2025

Oleh Redaksi
October 7, 2025
Haba Mangat

Pemenang Lomba Menulis – Edisi Agustus 2025

Oleh Redaksi
September 10, 2025
Postingan Selanjutnya

HABA Si PATok

  • Kirim Tulisan
  • Program 1000 Sepeda dan Kursi roda
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Tentang Kami
  • Kirim Tulisan
  • Program 1000 Sepeda dan Kursi roda
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Tentang Kami

INFO REDAKSI

Tema Lomba Menulis November 2025

November 10, 2025

Tema Lomba Menulis Bulan Oktober 2025

October 7, 2025

Pemenang Lomba Menulis – Edisi Agustus 2025

September 10, 2025

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Facebook
Sign Up with Google
OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat

© 2025 Potret Online - Semua Hak Cipta Dilindungi

-
00:00
00:00

Queue

Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00
Go to mobile version