Dengarkan Artikel
Ada pertanyaan menarik ketika ngopi malam itu. Malam di mana para muda-mudi memadu kasih dan janji setia. Malam banyak yang pingsan di atas motor atau mobil goyang meski tak jalan. Malam minggu atau sabtu malam.
Selepas mereka mengantar para kekasih, ajakan ngopi pun datang. Cerita ini agak berulang sebenarnya sih, dahulu saat kuliah, di depan rumah kos kami ada kos putri. Selepas diantar para cowoknya, mereka berkunjung ke rumah kos kami. Ya sekedar curhat atau mencoba lirik salah satu dari kami.
Singkat cerita, ada di antara mereka berujung nikah. Meski jadi lelaki cadangan awalnya, namun kedekatan kos membantu teman saya itu membalikan keadaan. Dari shift malam dan pagi, jadi pria utama dalam kisah itu. Saya, kebetulan jarang di rumah kos itu karena sibuk ke Neusu dan Darussalam. Kisah rumah kos ini dan lika-liku cintanya akan saya ceritakan di lain waktu.
Kembali soal ajakan ngopi tadi. Sampai di lokasi ngopi, kami diskusi soal pendidikan dan sedikit soal politik. 2 topik ini nyambung, keduanya bicara kebijakan dan relevan dibicarakan sampai kapanpun.
Nah ada beberapa hal menarik yang kami diskusikan. Kemudian ada satu pertanyaan, apa sih yang dilakukan para bos saat studi banding. Sebenarnya ini sudah sering ditanyakan dan dijawab banyak pakar. Namun malam itu saya hanya menjawab dengan contoh lain, “dosen kita malah 2 tahun atau minimal 1 tahun di luar negeri namun perhatikan bagaimana kampus dan bagaimana mereka mengajar”. Begitu jawab saya singkat.
Tentu saja wajar bila kepala daerah studi banding tidak menghasilkan apapun. Studi banding paling lama 2 bulan, sementara para dosen paling singkat 1 tahun namun tidak ada perubahan signifikan di dunia pendidikan kampus. Masih tradisi dosen itu maha benar, yang artinya mahasiswa harus kalah di hadapan maha benar.
Ketika mahasiswa berakhir di dunia pendidikan sebagai guru, hal yang sama terjadi lagi. Seperti tulisan-tulisan saya sebelumnya, guru didikte oleh kepala sekolah, dinas, kurikulum, administrasi, dan bahkan wali siswa. Sementara hak mereka jauh panggang dari api. Secara normal, guru sampai pensiun mustahil punya kediaman pribadi. Kecuali ambil kredit dari bank, lalu kerja sampingan atau dapat rumah warisan.
Di saat bersanaan, tuntutan membangun peradaban di pundak para guru. Ini bukan era Socrates di mana harga kopi dapat dibayar dengan satu kalimat bijaksana. Alat tukar saat ini uang. Dana BOS bahkan dianggap tak sesuai dengan kebutuhan sekolah. Masih banyak SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) yang tak mampu membeli alat baru bahkan untuk praktik siswa. Belum lagi pungli dari oknum yang punya kuasa atau punya relasi dengan penguasa. Ini rahasia umum.
Banyak guru yang tak berani bersuara atas nasib mereka. Kita pahami betapa kejamnya birokrasi kita. Meski UUD 45 membolehkan setiap warga negara berpendapat di muka umum namun hal itu sepertinya masih haram di birokrasi kita. Akibatnya nasib guru tak pernah berubah.
📚 Artikel Terkait
Akhir-akhir ini malah lebih sial, tuntutan membina karakter siswa lebih baik namun setelah dilaksanakan malah berakhir pidana. Tidak dilaksanakan dianggap tidak becus membina siswa sehingga lahir kelompok siswa bergaya preman.
Setiap kali merenung nasib para guru di Indonesia, kita pasti akan temukan persoalan yang sama. Semua aturan yang dibuat pada dasarnya bagus namun buruk dalam implementasi. Buruk dalam konsistensi. Kita sering kali menjadi bangsa munafik, di atas kertas A di sekolah dan perkantoran B.
Tampaknya moral menteri sampai ke dinas pendidikan yang harus pertama kali dibentuk. Mental pencitraan sukses harus lenyap dari dunia pendidikan. Mental yang mengharuskan guru mengubah nilai. Sementara para bos senang lihat statistik kelulusan dan namanya harum meski masa depan bangsa di ambang hancur. Sampai kapan?
Bicara kapan berarti bicara waktu. Bicara sesuatu yang tidak pasti. Apalagi ini terkait kesadaran. Barangkali kita butuh hidayah namun penyebab hidayah itu harus datang dari manusia. Sebuah usaha terencana, terukur, tanpa kenal putus asa. Saya hanya mampu menulis dan menulis, dengan pembaca tak lebih dari 100 orang. Bukan berarti harus berhenti bersuara.
Proses panjang ini pastilah berujung. Bahkan Nabi Muhammad butuh waktu lama untuk menyadarkan masyarakat di sekitarnya. Kita yang bukan siapa-siapa tenru butuh waktu lebih lama lagi. Persoalan moral memang persoalan kontemporer. Dalam Islam, perbaikan ini menjadi misi utama. Semua ibadah pada dasarnya untuk memperbaiki moral.
Salat misalnya, berguna mencegah perbuatan keji dan munkar. Mengharuskan guru memberikan nilai tidak sesuai kenyataan adalah munkar. Berkata bahwa pendidikan kita sukses, siswa lulus 100 persen namun tidak sesuai fakta dan akan membuat siswa selamanya dalam kebodohan, adalah keji.
Bila pelaku adalah mereka yang beriman, salat selalu, saya jadi ingat sebuah ungkapan; ” pelacur sukses lebih baik dari orang suci yang tersesat”. “Kebenaran itu seperti seks bagi kami”, lanjut seorang pelacur. Maksudnya, kebenaran diperjualbelikan. Yang punya uang akan membeli kebenaran itu. Demikian ungkapan-ungkapan nyeleneh dari novel; ‘ perempuan di titik nol’.
Saya belum sampai pada titik kesimpulan bahwa dunia pendidikan jual beli nilai. Belum, karena yang terjadi lebih buruk lagi, ‘pemerkosaan’ nilai bagi siswa. Demi apa? pencitraan. Inilah pencitraan di dunia pendidikan yang diambil dari dunia politik. Machiavellian di dunia pendidikan memang kian terasa. Guru yang menyuarakan kebenaran dan berpikir kritis seperti bang Tabrani Yunis, biasanya akan disingkirkan.
Bahkan kampus sudah menerapkan Machiavellian. Rektor dikritik lapor polisi, mahasiswa kritis dibungkam dengan sanksi. Sambil ngopi saat merenung semua hal itu, saya tersenyum, di ujung sana Hegel juga tersenyum sambil berkata; “jangan menyerah karena teman-teman yang sekarang jadi guru juga berjuang mensintesiskan tesis-antitesis”.
Machiavelli memang sukses menanamkan doktrinnya di dunia pendidikan kita. Semua halal demi pencitraan, semua boleh selama bos senang, peduli amat siswa hanya kelinci percobaan kurikulum. Meski ijazah mereka asli tetap saja itu hasil palsu. “Dan jadilah Indonesia negara palsu, mau?”.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini


















