Dengarkan Artikel
Oleh: Frida Pigny
https://superschool.ing
Di banyak ruang keluarga Indonesia, terkhususnya di Aceh, obrolan tentang masa depan anak-anak sering kali seperti daur ulang mimpi lama orang tua. Dokter, insinyur, arsitek, PNS. Pilihan yang dianggap aman, mapan, dan terhormat. Bukan berarti cita-cita itu salah, namun terlalu sering pilihan-pilihan tersebut bukan datang dari anak, melainkan dari tekanan sosial atau ekspektasi keluarga.
Hasilnya? Kita panen generasi yang kehilangan arah dan gairah. Data dari survei Indonesia Career Center Network (ICCN) menunjukkan bahwa 87% mahasiswa di Indonesia merasa salah jurusan.
Menurut laporan The Career Exploration Group, serta hasil survei dari Federal Reserve Bank of New York, hanya sekitar 27% lulusan perguruan tinggi yang bekerja di bidang yang benar-benar sesuai dengan jurusan studi mereka.
Ini berarti lebih dari 70% lainnya harus beradaptasi dengan pekerjaan di luar spesialisasi akademis mereka. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah sebuah fakta yang menantang paradigma pendidikan konvensional.
Kita hidup dalam budaya yang memuja kepastian. “Kuliah dulu, kerja yang pasti, lalu menikah”. Seolah hidup hanya terdiri dari tiga fase wajib itu. Padahal dunia sudah berubah secara dramatis. Profesi yang dulu dianggap tidak jelas kini justru menjadi ladang rezeki yang nyata. Content creator, UI/UX designer, digital marketer, freelancer internasional, dan banyak lagi, adalah pekerjaan sah, kreatif, dan menghasilkan.
Negara-negara seperti Jerman, Australia, hingga Skandinavia sudah sejak lama memiliki budaya sabatikal untuk pemuda usia 18–20 tahun setelah lulus SMA. Disebut ‘gap year’, masa ini diberikan sebagai jeda untuk menemukan jati diri, mengenal potensi diri lewat pengalaman nyata, melakukan perjalanan, kerja sukarela, atau magang. Tujuannya satu: memastikan bahwa saat memilih jalur kuliah, anak muda tidak hanya ikut-ikutan teman atau sekadar demi gengsi, tapi karena mereka sudah memahami ‘what they want to master in life’ atau apa yang ingin mereka kuasai dalam hidup.
Data dari Gap Year Association (AS) menyebutkan bahwa 90% mahasiswa yang mengambil ‘gap year’ melanjutkan pendidikan tinggi dengan motivasi yang lebih kuat dan tingkat keberhasilan akademik yang lebih baik dibanding rekan sebayanya. Bahkan banyak universitas di Inggris, seperti University of Cambridge atau LSE, menganjurkan calon mahasiswa untuk mengambil ‘gap year’ terlebih dahulu untuk memperluas pengalaman pribadi sebelum kembali ke jalur akademik.
Bandingkan dengan realitas di Indonesia: terburu-buru mendaftar universitas, bahkan sering tanpa tahu jurusan itu akan membawa ke mana. Inilah yang melahirkan istilah “salah jurusan”, bukan karena anak-anak kita tidak pintar, tapi karena mereka tidak diberi waktu untuk berpikir, mengenal diri, dan menentukan arah.
Sayangnya, di sini budaya backpackeran untuk refleksi diri ini sering dianggap “buang waktu dan uang”. Padahal, sebaliknya: itu merupakan investasi diri dan waktu paling berharga untuk membentuk karakter, mengenal realita di luar gelembung sosial sendiri, dan belajar bertanggung jawab atas pengambilan keputusan.
Namun perubahan ini belum sepenuhnya diterima oleh banyak orang tua. Terutama di masyarakat yang punya ikatan kultural dan sosial yang kuat. Ketika anak-anak menyuarakan keinginan untuk menjadi seniman, pegiat komunitas, atau enterpreneur sosial, mereka sering dihadapkan pada kalimat-kalimat seperti, “Mau makan dari mana?” atau “Sayang nilai bagus kalau gak jadi dokter!”
Komentar-komentar itu sering bukan karena orang tua tidak sayang anak, melainkan karena mereka belum punya referensi lain. Generasi orang tua kita besar dalam sistem yang menjadikan ijazah sebagai simbol keberhasilan dan pekerjaan kantoran atau berseragam sebagai satu-satunya definisi ‘kerja sungguhan’.
Tapi hari ini, definisi kesuksesan tidak lagi satu arah. Dunia kerja telah berubah. Anak-anak perlu dibekali dengan kejelasan arah dan daya tahan menghadapi perubahan. Di sinilah pendidikan harus memulai revolusinya, dari mengejar nilai rapor ke membangun nilai diri.
Sering kali kita menyalahkan anak yang ‘tidak tahu mau jadi apa’, padahal kita tak pernah memberi mereka waktu dan ruang untuk mereka mengeksplorasi minat bakatnya. Kita terlalu cepat meminta anak memilih jurusan di usia 17 tahun, ketika mereka bahkan belum benar-benar mengenal dirinya sendiri. Kita mendesak mereka ikut les ini-itu, mengejar ranking, lulus cepat, padahal mereka belum sempat menemukan minat sejatinya.
Mungkin masalah sebenarnya bukan “salah jurusan”, tetapi “salah pendekatan”. Kita sibuk mengejar sekolah terbaik, tapi lupa menyiapkan anak untuk menjadi pelajar terbaik dalam hidupnya sendiri. Kita bangga dengan gelar dan ranking, tapi tidak terlalu peduli apakah anak kita bahagia atau tidak menjalani prosesnya.
Pendidikan seharusnya membebaskan, bukan membelenggu. Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang membantu anak-anak memahami dirinya, dunia, dan tujuan hidupnya. Belajar seharusnya menjadi pengalaman hidup, bukan sekadar hafalan demi nilai. Anak membaca karena ingin tahu, bukan karena ujian. Anak menulis karena ingin mengekspresikan pikirannya, bukan karena tugas.
Sayangnya, potensi itu sering tidak terasah karena sistem yang terlalu kaku. Anak-anak yang seharusnya menjadi pemimpin masa depan, justru merasa kehilangan arah sejak SMA.
Menjadi penting bagi anak-anak Aceh untuk mulai membuka jendela dunia lewat penguasaan bahasa asing. Bahasa Inggris tentu menjadi yang utama karena merupakan bahasa internasional utama dalam sains, teknologi, dan ekonomi global.
Namun, jika anak kurang berminat pada bahasa Inggris, orang tua bisa mengenalkan bahasa asing lain seperti Mandarin, Jepang, Korea, Rusia, Spanyol, Perancis, atau bahasa Arab, yang juga merupakan bagian dari enam bahasa resmi PBB (UN Official Languages).
Menurut laporan British Council, penguasaan bahasa asing dapat meningkatkan peluang kerja internasional hingga lebih dari 30%, terutama di sektor-sektor strategis seperti diplomasi, ekspor-impor, teknologi, dan pendidikan global.
Anak-anak Aceh yang hanya mengandalkan Bahasa Indonesia akan kesulitan bersaing di era digital yang melintas tanpa batas geografis ini. Jika kesiapan bertemu peluang, dan salah satu peluang itu adalah kemampuan bahasa, maka itulah awal dari kesuksesan.
Berhenti bertanya pada anak, “mau jadi apa kalau besar nanti?” Itu pertanyaan yang terlalu sempit dan sudah tidak relevan. Tanyalah, “Masalah apa di dunia ini yang kamu ingin bantu selesaikan?” atau “Apa yang membuatmu penasaran dan ingin kamu pelajari lebih dalam?” Dengan begitu, anak akan menemukan semangat belajarnya sendiri, dan tidak mudah tersesat ketika dewasa.
Kita sebagai orang tua, pendidik, dan masyarakat, punya tanggung jawab besar untuk tidak lagi memaksakan mimpi-mimpi lama yang belum tentu cocok dengan zaman anak-anak kita sekarang. Dunia hari ini membutuhkan anak-anak yang bisa berpikir kritis, fleksibel, berani berbeda, dan tahu arah hidupnya. Bukan anak-anak yang hanya jadi robot penghafal kurikulum.
Fenomena salah jurusan harus kita lihat bukan sebagai kesalahan anak, tapi sebagai sinyal bahwa sistem dan pola pikir kita perlu diperbarui. Ini saatnya kita bantu anak-anak kembali ke dirinya sendiri, bukan ke bayangan masa lalu orang tua. Karena pendidikan sejati bukan tentang menyiapkan anak untuk ujian, tapi menyiapkan mereka untuk berkehidupan. (*)
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini






