Dengarkan Artikel
Oleh Ilhamdi Sulaiman
Burung-burung mati pagi itu. Tiga ekor sekaligus. Tergeletak di trotoar yang baru saja disapu Pak Maman, tepat di bawah papan iklan bertuliskan: “Kota Bersih, Warga Bahagia.”
Ia berhenti. Menatap tubuh kecil itu, bulunya kusut, paruhnya terbuka seperti hendak berteriak, dan mata beningnya telah membeku. Di selokan yang mengalir lambat, gelembung-gelembung naik ke permukaan. Airnya bukan lagi hitam, tapi keperakan, seperti minyak yang diteteskan ke darah. Bau logam menguap, menusuk sampai ke otak.
“Sudah mulai lagi,” gumam Pak Maman, sambil menyapu bangkai burung ke pinggir jalan.
Ia tahu tanda-tanda itu. Sudah dua kali dalam lima tahun ini. Mula-mula burung mati, lalu anjing-anjing jalanan mulai hilang, lalu anak-anak batuk-batuk, dan akhirnya banjir limbah datang — menenggelamkan separuh permukiman pinggir kota yang disebut “zona abu-abu” dalam peta pemerintah. Zona yang tak masuk berita.
Pak Maman bekerja di jalan yang sama selama dua puluh tahun. Ia hafal setiap retak trotoar dan setiap bangku beton yang karatan. Tapi kota ini makin asing. Udara makin berat. Langit makin putih, bukan biru. Dan sekarang burung mati lagi.
Di sela menyapu, ia menemukan sesuatu. Sebuah kantong plastik bening berisi botol infus kosong, selang, dan kain kasa berdarah. Limbah medis. Ia menatapnya lama. Lalu memasukkannya ke dalam karung di gerobaknya.
“Pagi, Pak,” sapa suara muda dari belakang.
Seorang pemuda berseragam dinas hijau-kuning menghampiri. Badannya kurus, matanya menyala.
“Magang?” tanya Pak Maman.
“Dani. Dari kampus. Jurusan lingkungan,” jawabnya cepat.
Mereka menyapu bersama hari itu. Dani banyak bertanya, tapi bukan soal sampah biasa. Ia lebih tertarik pada limbah-limbah aneh yang kadang muncul: potongan plastik keras, cairan busa berwarna, tabung-tabung kecil berlabel kimia. Pak Maman tak banyak menjawab. Tapi ketika istirahat, ia menunjukkan kantong limbah medis yang ia simpan.
“Ini dari RS mana?” tanya Dani.
Pak Maman mengangkat bahu.
“RS tak mungkin buang sembarangan, kan?”
“Yang resmi, tidak. Tapi ada banyak kontraktor. Sub-sub dari sub lagi. Mungkin yang ini disalurkan ke pengepul ilegal.”
Dani mulai rajin datang. Ia memotret kantong-kantong sampah, memeriksa selokan, dan sesekali mengajak Pak Maman ke titik-titik pembuangan yang tersembunyi. Mereka menemukan saluran air yang mengalir dari balik pagar kawat tinggi di belakang gudang kosong. Bau kimia menyengat. Terkadang gelembung dari selokan berbentuk aneh, seperti wajah manusia yang meleleh.
📚 Artikel Terkait
“Saya mau lapor,” kata Dani suatu sore. “Saya punya bukti. Saya upload ke media sosial.”
Pak Maman diam.
“Hati-hati,” katanya pelan. “Kota ini bersih di luar, tapi busuk di bawahnya.”
Kota tetap berjalan seperti biasa. Mall-mall tetap penuh, drone pembersih melayang di udara, dan mural warna-warni digambar ulang di dinding-dinding kumuh. Wali kota baru meresmikan “Kota Hijau Mandiri” dengan pidato panjang tentang ekowisata dan taman vertikal.
Tapi di rumah Bu Lastri, tetangga Pak Maman, anaknya tak bisa berhenti batuk. Dokter bilang alergi udara. Tapi udara macam apa yang membuat lendirnya hitam dan matanya merah seperti terbakar?
“Waktu kecil aku main petak umpet di taman kota,” cerita Pak Maman kepada dirinya sendiri, saat menyapu dini hari. “Sekarang taman jadi parkiran. Semua tumbuh dari beton. Bahkan pohon, Dua hari kemudian, Dani hilang.
Ia tak datang menyapu. Tak bisa dihubungi. Teman-teman kampusnya mencari, tapi polisi bilang tak ada laporan. Pak Maman gelisah. Besoknya, saat menyusuri kanal lama di pinggir kali Condet, ia melihat sesuatu mengambang: sepatu kiri milik Dani. Warna dan bekas lukanya khas.
Ia membawa sepatu itu pulang, menyimpannya di bawah ranjang.
karnya dikurung.”
Ia mulai menyimpan barang-barang yang ia temukan: label laboratorium, pecahan tabung gas kecil, serpihan logam. Ia simpan dalam kardus di belakang lemari. Bukan untuk dijadikan bukti, tapi seperti ritual. Ia tak tahu untuk apa, hanya merasa tak boleh membiarkan semua itu hilang begitu saja.
Malam-malam ia bermimpi. Kota ini tenggelam dalam lautan sampah, bukan air. Gedung-gedung raksasa tumbang pelan-pelan ditelan plastik dan logam cair. Dan dari dalam tanah, suara Dani terdengar samar, “Kita tak bisa bersih di atas busuk.”
Suatu pagi, ia menyapu trotoar di depan balai kota. Gedung tinggi berlapis kaca itu memantulkan langit putih yang tak lagi punya awan. Di depan gerbang berdiri patung tangan memegang bunga, simbol penghargaan Adipura tahun lalu.
Pak Maman berdiri lama. Di dalam sakunya ada kantong bukti: foto-foto, label, catatan Dani, dan sepatu kiri itu. Ia hendak masuk. Tapi satpam hanya menatapnya dingin.
“Urusan?” tanya satpam.
“Saya mau bertemu siapa saja. Saya bawa ini,” Pak Maman menunjukkan plastik berisi foto dan dokumen.
Satpam tak menjawab. Ia bicara lewat HT, lalu menyuruh Pak Maman duduk menunggu.
Lima belas menit. Tiga puluh menit. Satu jam.
Akhirnya, seorang staf keluar.
“Pak, kalau ada laporan, silakan lewat aplikasi resmi. Atau email ke dinas lingkungan.”
Pak Maman tak mengerti. Ia menyerahkan plastik itu. Tapi staf hanya menatapnya sejenak, lalu menggeleng.
“Maaf, ini bukan ranah kami. Kami akan teruskan ke bagian terkait.”
Hari itu, Pak Maman pulang dengan tangan kosong. Tapi hatinya terasa penuh. Penuh bau got, bangkai burung, dan suara Dani yang tak selesai bicara.
Ia terus menyapu. Jalanan makin bersih. Kota makin terang. Tapi Pak Maman merasa, ia tak lagi menyapu kotoran. Ia sedang menyapu sisa-sisa kebenaran yang dikubur diam-diam.
Burung-burung tak pernah kembali. Air makin lambat mengalir. Dan suatu malam, saat hujan turun, ia melihat gelembung-gelembung keluar dari tanah — seperti kota ini sedang bernapas terakhir kali sebelum mengubur dirinya sendiri.
Ia menatap langit.
Tak ada bintang. Tak ada bulan.
Hanya pantulan lampu LED bertuliskan: “SELAMAT DATANG DI KOTA HIJAU MANDIRI.”
Dan ia menyapu terus.
Bukan untuk membersihkan. Tapi agar ada yang tersisa saat semua ini runtuh.
1 Mei 2025.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini



















