• Terbaru
Sepatu Kiri di Kali Condet

Sepatu Kiri di Kali Condet

June 26, 2025

Otsus Aceh di Persimpangan Jalan

November 16, 2025

Pendapat Prof Jimly Soal Ijazah Jokowi

November 16, 2025

Korupsi di Sektor Kesehatan: Dari Nasionalisme STOVIA hingga Penjara KPK

November 16, 2025

Malam Layar Puisi Anak Muda 2025

November 16, 2025

Prasasti Kebon Kopi

November 15, 2025

Bullying, Feodalisme, dan Ekstremisme

November 16, 2025

Dari Sumber Daya ke Sumber Daya Damai

November 15, 2025

Catatan Ringkas Sejarawan dan Fiksiwan Dari NDC Manado

November 15, 2025

Ketika Tsunami Aceh

November 14, 2025

‎Lukisan Sepasang Bangau, Cerita Pendek dan Puisi Dua Larik di Warung Kopi

November 14, 2025

Menangguh Politik Hukum Ijazah Palsu

November 14, 2025

Nyanyian Terakhir Cenderawasih

November 14, 2025
Sunday, November 16, 2025
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat
  • Login
  • Register
POTRET Online
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat
No Result
View All Result
POTRET Online
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat
No Result
View All Result
Plugin Install : Cart Icon need WooCommerce plugin to be installed.
POTRET Online
No Result
View All Result

Sepatu Kiri di Kali Condet

Ilhamdi SulaimanOleh Ilhamdi Sulaiman
June 26, 2025
0
Reading Time: 4 mins read
Sepatu Kiri di Kali Condet
🔊

Dengarkan Artikel


Oleh Ilhamdi Sulaiman


Burung-burung mati pagi itu. Tiga ekor sekaligus. Tergeletak di trotoar yang baru saja disapu Pak Maman, tepat di bawah papan iklan bertuliskan: “Kota Bersih, Warga Bahagia.”


Ia berhenti. Menatap tubuh kecil itu, bulunya kusut, paruhnya terbuka seperti hendak berteriak, dan mata beningnya telah membeku. Di selokan yang mengalir lambat, gelembung-gelembung naik ke permukaan. Airnya bukan lagi hitam, tapi keperakan, seperti minyak yang diteteskan ke darah. Bau logam menguap, menusuk sampai ke otak.


“Sudah mulai lagi,” gumam Pak Maman, sambil menyapu bangkai burung ke pinggir jalan.
Ia tahu tanda-tanda itu. Sudah dua kali dalam lima tahun ini. Mula-mula burung mati, lalu anjing-anjing jalanan mulai hilang, lalu anak-anak batuk-batuk, dan akhirnya banjir limbah datang — menenggelamkan separuh permukiman pinggir kota yang disebut “zona abu-abu” dalam peta pemerintah. Zona yang tak masuk berita.


Pak Maman bekerja di jalan yang sama selama dua puluh tahun. Ia hafal setiap retak trotoar dan setiap bangku beton yang karatan. Tapi kota ini makin asing. Udara makin berat. Langit makin putih, bukan biru. Dan sekarang burung mati lagi.


Di sela menyapu, ia menemukan sesuatu. Sebuah kantong plastik bening berisi botol infus kosong, selang, dan kain kasa berdarah. Limbah medis. Ia menatapnya lama. Lalu memasukkannya ke dalam karung di gerobaknya.


“Pagi, Pak,” sapa suara muda dari belakang.
Seorang pemuda berseragam dinas hijau-kuning menghampiri. Badannya kurus, matanya menyala.
“Magang?” tanya Pak Maman.
“Dani. Dari kampus. Jurusan lingkungan,” jawabnya cepat.


Mereka menyapu bersama hari itu. Dani banyak bertanya, tapi bukan soal sampah biasa. Ia lebih tertarik pada limbah-limbah aneh yang kadang muncul: potongan plastik keras, cairan busa berwarna, tabung-tabung kecil berlabel kimia. Pak Maman tak banyak menjawab. Tapi ketika istirahat, ia menunjukkan kantong limbah medis yang ia simpan.


“Ini dari RS mana?” tanya Dani.
Pak Maman mengangkat bahu.
“RS tak mungkin buang sembarangan, kan?”
“Yang resmi, tidak. Tapi ada banyak kontraktor. Sub-sub dari sub lagi. Mungkin yang ini disalurkan ke pengepul ilegal.”


Dani mulai rajin datang. Ia memotret kantong-kantong sampah, memeriksa selokan, dan sesekali mengajak Pak Maman ke titik-titik pembuangan yang tersembunyi. Mereka menemukan saluran air yang mengalir dari balik pagar kawat tinggi di belakang gudang kosong. Bau kimia menyengat. Terkadang gelembung dari selokan berbentuk aneh, seperti wajah manusia yang meleleh.

📚 Artikel Terkait

Pandangan dan Ulasan Mendalam “Senja dan Gerimis-Arutala”

Sebelum Filsafat and the Importance of Thinking

Uang

21 Tahun Majalah POTRET, Impian itu Masih Belum Usai


“Saya mau lapor,” kata Dani suatu sore. “Saya punya bukti. Saya upload ke media sosial.”
Pak Maman diam.
“Hati-hati,” katanya pelan. “Kota ini bersih di luar, tapi busuk di bawahnya.”

Kota tetap berjalan seperti biasa. Mall-mall tetap penuh, drone pembersih melayang di udara, dan mural warna-warni digambar ulang di dinding-dinding kumuh. Wali kota baru meresmikan “Kota Hijau Mandiri” dengan pidato panjang tentang ekowisata dan taman vertikal.


Tapi di rumah Bu Lastri, tetangga Pak Maman, anaknya tak bisa berhenti batuk. Dokter bilang alergi udara. Tapi udara macam apa yang membuat lendirnya hitam dan matanya merah seperti terbakar?


“Waktu kecil aku main petak umpet di taman kota,” cerita Pak Maman kepada dirinya sendiri, saat menyapu dini hari. “Sekarang taman jadi parkiran. Semua tumbuh dari beton. Bahkan pohon, Dua hari kemudian, Dani hilang.


Ia tak datang menyapu. Tak bisa dihubungi. Teman-teman kampusnya mencari, tapi polisi bilang tak ada laporan. Pak Maman gelisah. Besoknya, saat menyusuri kanal lama di pinggir kali Condet, ia melihat sesuatu mengambang: sepatu kiri milik Dani. Warna dan bekas lukanya khas.
Ia membawa sepatu itu pulang, menyimpannya di bawah ranjang.
karnya dikurung.”


Ia mulai menyimpan barang-barang yang ia temukan: label laboratorium, pecahan tabung gas kecil, serpihan logam. Ia simpan dalam kardus di belakang lemari. Bukan untuk dijadikan bukti, tapi seperti ritual. Ia tak tahu untuk apa, hanya merasa tak boleh membiarkan semua itu hilang begitu saja.


Malam-malam ia bermimpi. Kota ini tenggelam dalam lautan sampah, bukan air. Gedung-gedung raksasa tumbang pelan-pelan ditelan plastik dan logam cair. Dan dari dalam tanah, suara Dani terdengar samar, “Kita tak bisa bersih di atas busuk.”

Suatu pagi, ia menyapu trotoar di depan balai kota. Gedung tinggi berlapis kaca itu memantulkan langit putih yang tak lagi punya awan. Di depan gerbang berdiri patung tangan memegang bunga, simbol penghargaan Adipura tahun lalu.


Pak Maman berdiri lama. Di dalam sakunya ada kantong bukti: foto-foto, label, catatan Dani, dan sepatu kiri itu. Ia hendak masuk. Tapi satpam hanya menatapnya dingin.
“Urusan?” tanya satpam.
“Saya mau bertemu siapa saja. Saya bawa ini,” Pak Maman menunjukkan plastik berisi foto dan dokumen.
Satpam tak menjawab. Ia bicara lewat HT, lalu menyuruh Pak Maman duduk menunggu.

Lima belas menit. Tiga puluh menit. Satu jam.
Akhirnya, seorang staf keluar.
“Pak, kalau ada laporan, silakan lewat aplikasi resmi. Atau email ke dinas lingkungan.”
Pak Maman tak mengerti. Ia menyerahkan plastik itu. Tapi staf hanya menatapnya sejenak, lalu menggeleng.
“Maaf, ini bukan ranah kami. Kami akan teruskan ke bagian terkait.”
Hari itu, Pak Maman pulang dengan tangan kosong. Tapi hatinya terasa penuh. Penuh bau got, bangkai burung, dan suara Dani yang tak selesai bicara.

Ia terus menyapu. Jalanan makin bersih. Kota makin terang. Tapi Pak Maman merasa, ia tak lagi menyapu kotoran. Ia sedang menyapu sisa-sisa kebenaran yang dikubur diam-diam.
Burung-burung tak pernah kembali. Air makin lambat mengalir. Dan suatu malam, saat hujan turun, ia melihat gelembung-gelembung keluar dari tanah — seperti kota ini sedang bernapas terakhir kali sebelum mengubur dirinya sendiri.


Ia menatap langit.
Tak ada bintang. Tak ada bulan.
Hanya pantulan lampu LED bertuliskan: “SELAMAT DATANG DI KOTA HIJAU MANDIRI.”
Dan ia menyapu terus.
Bukan untuk membersihkan. Tapi agar ada yang tersisa saat semua ini runtuh.

1 Mei 2025.

🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini

Pria Yang Merindukan Prostatnya
Pria Yang Merindukan Prostatnya
28 Feb 2025 • 184x dibaca (7 hari)
Oposisi Itu Terhormat
Oposisi Itu Terhormat
3 Mar 2025 • 171x dibaca (7 hari)
Keriuhan Media Sosial atas Kasus Keracunan Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
Keriuhan Media Sosial atas Kasus Keracunan Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
2 Oct 2025 • 152x dibaca (7 hari)
Hancurnya Sebuah Kemewahan
Hancurnya Sebuah Kemewahan
28 Feb 2025 • 138x dibaca (7 hari)
Hari Ampunan
Hari Ampunan
1 Mar 2025 • 124x dibaca (7 hari)
📝
Tanggung Jawab Konten
Seluruh isi dan opini dalam artikel ini merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi bertugas menyunting tulisan tanpa mengubah subtansi dan maksud yang ingin disampaikan.
Ilhamdi Sulaiman

Ilhamdi Sulaiman

Ilhamdi Sulaiman (Boyke Sulaiman) I Lahir 68 tahun lalu di Medan pada tanggal 12 September 1957. Menamatkan pendidikan sarjana Sastra dan Bahasa Indonesia di Universitas Bung Hatta Padang pada tahun 1986. Berkesenian sejak tahun 1976 bersama Bumi Teater Padang pimpinan Wisran Hadi. Pada tahun 1981 mendirikan Grup Teater PROKLAMATOR di Universitas Bung Hatta. Lalu pada tahun 1986, hijrah ke kota Bengkulu dan mendirikan Teater Alam Bengkulu sampai tahun 1999 dengan beberapa naskah diantaranya naskah Umang Umang karya Arifin C. Noer, Ibu Suri karya Wisran Hadi dan tahun 2000 hijrah ke Jakarta mementaskan Naskah Cerpen AA Navis Robohnya Surau Kami Bersama Teater Jenjang Jakarta serta grup grup teater yang ada di Jakarta dan Malaysia sebagai aktor freelance. Selama perjalanan berteater telah memainkan 67 naskah drama karya penulis dalam dan luar negeri, monolog, dan deklamator. Serta mengikuti event lomba baca puisi sampai saat ini dan kegiatan sastra lainnya hingga saat ini.

Artikel

Menulis Dengan Jujur

Oleh Tabrani YunisSeptember 9, 2025
#Gerakan Menulis

Tak Sempat Menulis

Oleh Tabrani YunisJuly 12, 2025
#Sumatera Utara

Sengketa Terpelihara

Oleh Tabrani YunisJune 5, 2025
Puisi

Eleği Negeriku  Yang Gelap Gulita

Oleh Tabrani YunisJune 3, 2025
Puisi

Kegalauan Bapak

Oleh Tabrani YunisMay 29, 2025

Populer

  • Gemerlap Aceh, Menelusuri Emperom dan Menyibak Goheng

    Gemerlap Aceh, Menelusuri Emperom dan Menyibak Goheng

    162 shares
    Share 65 Tweet 41
  • Inilah Situs Menulis Artikel dibayar

    153 shares
    Share 61 Tweet 38
  • Peran Coaching Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan

    145 shares
    Share 58 Tweet 36
  • Korupsi Sebagai Jalur Karier di Konoha?

    57 shares
    Share 23 Tweet 14
  • Lomba Menulis Agustus 2025

    51 shares
    Share 20 Tweet 13

HABA MANGAT

Haba Mangat

Tema Lomba Menulis November 2025

Oleh Redaksi
November 10, 2025
Haba Mangat

Tema Lomba Menulis Bulan Oktober 2025

Oleh Redaksi
October 7, 2025
Haba Mangat

Pemenang Lomba Menulis – Edisi Agustus 2025

Oleh Redaksi
September 10, 2025
Postingan Selanjutnya

Bahasa dan Politik - Machiavelli vs Aristoteles

  • Kirim Tulisan
  • Program 1000 Sepeda dan Kursi roda
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Tentang Kami
  • Kirim Tulisan
  • Program 1000 Sepeda dan Kursi roda
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Tentang Kami

INFO REDAKSI

Tema Lomba Menulis November 2025

November 10, 2025

Tema Lomba Menulis Bulan Oktober 2025

October 7, 2025

Pemenang Lomba Menulis – Edisi Agustus 2025

September 10, 2025

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Facebook
Sign Up with Google
OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat

© 2025 Potret Online - Semua Hak Cipta Dilindungi

-
00:00
00:00

Queue

Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00