Oleh Didin Tulus
Jam 14.22, aku berdiri di depan gerbang Rumah Sakit Kasih Bunda. Panas menyengat. Kulit terasa seperti dilumuri minyak mendidih. Di tas punggungku, ada Surat Kandang Karesian selembar kertas yang kutitipkan untuk seseorang yang entah masih peduli atau sudah jadi arwah dalam ingatan. Rencana sederhana: menyerahkan surat, pulang sebelum hujan. Tapi Cimahi bukan tempat yang ramah pada rencana.
Di pinggir menunggu, jarum jam bergerak lamban. 14.51. Keringat mengalir deras, tapi udara terasa beku. Aku memandangi wajah-wajah yang lalu-lalang: ada yang menangis, ada yang tertawa palsu, ada yang kosong seperti kaca retak. Seperti potret kehidupan yang dipaksa berhenti di sini. 15.07. Surat itu akhirnya berpindah tangan. Aku pergi, membawa perut kosong dan kepala penuh kabut.
Di gerbang perlintasan kereta, langit tiba-tiba poek. Angkeub1. Awan hitam menggulung seperti kain kafan. Angin berbisik sesuatu—bahasa yang tak kupahami, tapi menggigilkan tulang. Enggal2 . Aku memacu motor, seolah dikejar hantu. Di tengah kemacetan, aku membeli pisang molen di kios tua. Pisang itu hangat, tapi rasanya seperti abu.
15.49. Hujan turun. Bukan rintik, tapi deras, laksana langit mencoba membersihkan dosa-dosa kota. Aku mampir ke warung Bu Émbun di belokan Tangkil. Kuah sopnya masih sama: gurih. Persiapan untuk buka.
***
Jam 16.30. Aku harus mengantar anak perempuanku ke Jalan Cibabat. *Buka bersama*, katanya. Tapi Cimahi sedang tak ramah pada kebersamaan. Jalan macet, banjir menggenang di kiri-kanan. Kendaraan merayap seperti ulat yang terluka. Aku berpapasan dengan wajah-wajah lelah yang saling menyalahkan: “Ini salah siapa?” “Kapan ini berakhir?” Tak ada jawab. Hanya klakson dan sumpah serapah yang larut dalam hujan.
Di Jalan Cigugur Tengah, solokan meluap. Airnya menghantam aspal, mengubah jalan jadi sungai liar. Motor-motor terjebak, pengendaranya mengutuk nasib. Aku bertahan di atas jok, basah kuyup, sambil memandangi langit yang masih menangis. Adzan Maghrib berkumandang, tapi tak ada azimah untuk orang-orang yang terdampar di sini. Aku berbuka dengan seteguk air dan sepotong molen yang sudah lembap.
Di tengah deru hujan, aku teringat Surat Kandang Karesian3 yang kutinggalkan tadi. Sebuah naskah tua berisi nasihat bijak, tentang hidup harmoni dengan alam. Ironis. Di Cimahi, manusia dan alam seperti dua kekasih yang saling mencakar. Hutan diganti beton, sungai dipaksa jadi got. Kini, air itu balas dendam—menenggelamkan jalan, memutus rencana, meluluhlantahkan kesombongan kita.
Aku pulang lewat jalan tikus, melewati gang-gang sempit yang masih setia pada keheningan. Hujan mulai reda, tapi langit tetap kelam. Surat Kandang Karesian mungkin sudah sampai, atau mungkin tenggelam dalam banjir kertas-kertas tak terbaca di rumah sakit. Aku tak tahu. Yang pasti, malam ini, Cimahi masih menyisakan getir: kota yang terus berdarah di antara hujan dan asap knalpot, antara harapan dan kegetiran yang tak pernah usai.
Di teras rumah, aku menatap langit. Ada bau tanah basah. Aroma yang seharusnya menenangkan, tapi hari ini terasa seperti epitaf untuk sebuah kota yang perlahan tenggelam dalam kenangannya sendiri.
Catatan redaksi
- “Angkeub” adalah istilah dalam bahasa Aceh yang berarti gendongan atau alat untuk menggendong, biasanya digunakan untuk membawa bayi atau anak kecil. Alat ini sering dibuat dari kain yang kuat dan fleksibel, serta digunakan dengan cara mengikatkannya di tubuh penggendong, baik di depan maupun di belakang.
Penggunaan angkeub dalam budaya Aceh mencerminkan nilai kekeluargaan yang tinggi dan cara hidup yang praktis serta efisien. ↩︎ - “Enggal” dalam bahasa Indonesia umumnya berarti segera, cepat, atau tidak lama lagi. Dalam berbagai konteks, kata ini sering digunakan untuk mengungkapkan suatu tindakan atau kejadian yang akan dilakukan tanpa penundaan. Misalnya, “Kami akan enggal menyelesaikan proyek ini” berarti proyek akan segera diselesaikan. ↩︎
- “Surat Kandang Karesian” adalah salah satu naskah kuno yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dan termasuk bagian dari tradisi sastra Jawa klasik. Secara garis besar, naskah ini membahas nilai-nilai moral, etika, dan ajaran hidup, yang relevan bagi kehidupan bermasyarakat di masa itu. ↩︎