Oleh Tabrani Yunis
Setelah lebih kurang 3 tahun mengajar di SMP Swasta Teuku Cut Ali Banda Aceh, (kını sudah tutup)yakni di tahun 1985 hingga tahun 1986, ada semangat besar pada diri penulis untuk melakukan upaya pengembangan diri (self-development). Keinginan belajar, agar nasib berubah menjadi lebih baik lagi. Sebab, untuk memperbaiki nasib, darı kehidupan yang dibelenggu kemiskinan sejak kecil, harus ada semangat untuk berubah, dengan membangun kehidupan yang lebih baik. Tentu caranya adalah harus melalui banyak proses. Proses yang dipercayai bisa mengangkat derajat kehidupan adalah dengan terus meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan perilaku maju dan berkembang. Untuk bisa meraih atau mewujudkan perubahan haruslah ditempuh dengan aktivitas belajar tanpa henti. Benar, bukan?
Ya, tentu saja benar. Barangkali para pembaca pernah membaca atau mendengar, bahkan menyampaikan pesan kepada orang-orang bahwa ketika kita ikut pelatihan, atau ikut pelajaran di sekolah, atau pendidikan, ada tiga hal yang ingin diubah oleh seorang guru yang mengajarkan atau melakukan transfer ilmu kepada kita. Ketiga hal atau ranah tersebut adalah ranah kognitif atau pengetahuan, ranah psikomotorik, berupa ketrampilan dan ke tiga adalah ranah afektif, yakni berkaitan dengan sikap, karakter, moral atau perilaku kita. Pendek kata, sebuah pembelajaran itu dilakukan dengan maksud, membuat atau membantu orang yang tidak tahu, menjadi tahu, membuat orang atau Anak yang tidak bisa, menjadi bisa, dan ke tiga adalah mengubah perilaku peserta didik darı malas, tidak mau, menjadi mau. Nah itu, adalah teori lama. Tentu sudah berbeda dengan sekarang.
Untuk bisa meningkatkan ilmu atau pengetahuan, ketrampilan dan perubahan perilaku, jalurnya adalah lewat proses pendidikan, baik formal, maupun informal atau nonformal. Untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, maka harus rajin membaca, dalam artian luas. Sebagai peserta didik atau manusia pembelajar, kita harus rajin meningkatkan pengetahuan lewat kegiatan membaca berbagai macam sumber bacaan, mengamati segala fenomena yang ada di sekitar kita, mendengar penjelasan berbagai informasi atau pengetahuan dari berbagai media audio visual, atau dengan menonton berbagai sajian pembelajaran di banyak media saat ini. Yang kedua, berkaitan dengan ketrampilan, seperti halnya ketrampilan menulis, merupakan ketrampilan yang bersifat reproduktif, harus selalu dilakukan dengan cara do it, do it and do it again. Artinya kunci pembelajaran itu, agar bisa terampil adalah dengan cara yang dikatakan orang Inggris dengan sebutan, the key of learning is practice, practice, practice. The more you practice, the easiest will you do. Betul, bukan? Begitu pula halnya dengan ranah afektif. Ranah ini akan menjadi matang, ketika seseorang terus berupaya merubah perilaku malas, menjadi tidak malas. Mengubah perilaku yang suka berkata, tidak mau, hijrah dan berubah menjadi mau dan terus mau belajar. Jadi orang yang mau belajar dengan sungguh-sungguh biasanya akan mampu mengubah nasib. Sebab kita tidak bisa berdoa kepada Allah untuk mengubah nasib kita, karena Allah sudah mengingatkan kita bahwa, Allah tidak akan mengubah nasib seseorang atau sustu kaum, maupun bangsa, bila orang, kaum atau bangsa itu sendiri yang mengubahnya.
Penulis sendiri ikut menjalankan semua prinsip tersebut, karena penulis dalam konteks nasib, dilahirkan dari keluarga paling miskin. Maka, ketika mengecap pendidikan dasar, keinginan hati untuk keluar darı belenggu kemiskinan sudah tumbuh dan berkecambah. Oleh sebab itu, sejak dari SD, kesadaran untuk belajar sudah tumbuh, tanpa harus diperintah oleh orangtua. Ya, bagaimana orangtua mau perintahkan untuk belajar, Kondisi orangtua saja, sang ayah adalah buruh kasar dan tidak sekolah atau bits huruf. Namun, kekuatan sang ibu yang mungkin hanya mengecap sekolah tingkat dasar, menjadi teladan bagi penulis salam hal membaca.
Jadi wajar saja, kalau semangat belajar dan keinginan untuk keluar dari belenggu kemiskinan itu harus tumbuh dan berkembang dalam diri. Akhirnya setamat dari SMP di Manggeng, penulis hijrah ke kota Banda Aceh. Ingin belajar, menjadi tenaga penyuluhan, namun nasib berkata lain. Penulis harus belajar menjadi guru, karena sudah lulus duluan di SPG Negeri Banda Aceh. Sekolah ini memberikan akses yang besar bagi penulis untuk belajar dan belajar,termasuk belajar bahasa Inggris secara otodidak, karena sekolah ini memiliki banyak koleksi buku bahasa Inggris saat itu.
Usai sekolah di SPG Negeri Banda Aceh, harusnya bisa melamar menjadi guru SD, namun semangat untuk maju, dengan biaya sendiri mencoba belajar ke Perguruan Tinggi, Universitas Syiah Kuala. Tidak berani ikut tes di jalur S1, karena takut gagal di tengah jalan. Namun, kala itu ada program cepat untuk menjadi guru, yakni Program Diploma dua tahun. Penulis pun ikut tes dan Alhamdulilah diterlma di DII Bahasa Inggris, dari 1982 hingga 1984.
Anehnya lagi, di tahun 1984, belum keluar pengumumuman lulus atau tidak, penulis terdorong untuk melanjutkan lagi pendidikan ke level lebih tinggi. Lalu, ikut test masuk perguruan tinggi lagi di Universitas Syiah Kuala, Sekarang USK. Penulis memilih FKIP jurusan Bahasa Inggris dan lulus. Lalu, apa yang membahagiakan dan membuka jalan adalah karena setamat dari Diploma dua tahun, saat itu, semua lulusan Diploma diangkat menjadi guru. Penulis sendiri, disingkat sebagai guru di SMP Swasta Teuku Cut Ali Banda Aceh. Pengangkatan ini pun memuluskan jalan bagi penulis untuk belajar di FKIP. Alhamdulilah kuliah di FKIP pun selesai.
Lalu, kapan belajar menggali ilmu di Karang Asem? Mah, itu ceritanya begini. Mungkin agak panjang ya, tapi tidak perlu dirisaukan. Kala itu, di tahun 1986 saat memulai aktıvitas mengajar bahasa Inggris di Oxford English Course, kursus bahasa Inggris yang merupakan kursus bahasa Inggris Mr. Pubalen, orang India sudah lama di Aceh, juga pemilik Raja English Course di Peunayong, Banda Aceh dan di Intensive English Course, menjadi momentum bertemu banyak orang darı luar sekolah. Sehingga, dengan pertemuan- pertemuan setiap hari itu, penulis bertemu dengan Mirdas İsmail, SH dan kawan-kawan yang seharian menjalani Pekerjaan sebagai Pengacara Hukum. Lalu, sejak Juno 1989, penulis sudah aktif menulis di media, khususnya harian Serambi Indonesia yang belum lama terbit di Aceh saat itu. Aktivitas menulis di media tersebut menjadikan Penulis menjadi Pribadi yang suka mengamati segala fenomena yang ada di sekeliling dan menjadi suka membaca.
Penulis semakin termotivasi menulis dan suka mengkritisi hal yang kurang baik dengan tilisan. Muncul pula keinginan untuk meningkatkan daya kritis. Maka, bagai gayung bersambut.
Mirdas İsmail mengajak penulis bergabung, mendirikan sebuah lembaga yang diberi nama, Lembaga Pengkajian dan Pengembangan sumber daya manusia ( LP2SM), sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sebuah tawaran yang sangat menarik dan peluang baik untuk meningkatkan kepedulian, membangun sikap kritis dan berfikir kritis serta kreatif dan innovatif hingga menjadi produktif dalam bersikap dan bertindak.
Pilihan yang tepat dan benar, karena ketika bergabung di LP2SM sebagai salah satu pendiri, kegiatan-kegiatan diskusi yang dilakukan, terus menumbuhkan rasa Peduli terhadap kehidupan masyarakat miskin dan marginal. Bukan hanya itu, ada hal yang sangat positif saat itu, kantor LP2SM berada di satu pavilion 15 di hotel Aceh. Posisinya menghadap ke Genta Plaza, yang tidak jauh dari Masjid Raya Baiturrahman, Bands Aceh itu. Selain itu pula, dengan ber-LSM, Penulis bisa belajar banyak mengenai filosofi her-LSM dari teman-teman yang sudah lebih dahulu melibatkan diri dalam aktivisme ber-LSM dan mempertajam idealisme, sehingga benar-benar bisa bekerja dengan kaum miskin dan marginal. Di LSM itu pula penulis belajar membangun jaringan dengan lembaga-lembaga swadaya di luar Aceh. Juga dengan pihak Kedutaan asing di Jakarta, serta lembaga-lembaga asing di luar negeri dengan modal bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris.
Pendek cerita, keterlibatan di LP2SM, membuat Penulis mampu membangun jaringan dan Mitra kerja dengan berbagai pihak yang memiliki concern terhadap hal yang sama. Dengan membangun jaringan tersebut, Penulis saat itu, di tahun 1992 mengikuti kegiatan magang di Yayasan Indonesia Sejahtera (YIS), kini berubah menjadi Yayasan Indonesia Sembada yang berada di Jalan Tanjung no. 96, Karang Asem, Solo. Untuk Magang ini, semua biaya ditanggung sendiri. Tidak ada beasiswa atau sejenisnya.
Karena keinginan untuk belajar mengenai dunia LSM lebih dalam, penulis mengumpulkan dana sendiri dan akhirnya melakukan perjalanan dengan biaya sendiri, termasuk biaya pesawat dari Banda Aceh- Jakarta, kereta api dari Jakarta ke Solo Balapan dan begitu juga saat selesai kegiatan magang. Semua harus di tanggung sendiri. Sekali lagi, karena ingin belajar lebih banyak tentang LSM dan kegiatannya.
Perjalanan ikut magang di YIS saat itu, menjadi perjalanan ke dua ke pulau Jawa. Bedanya, perjalanan pertama, hanya sampai ke Ibu kota negara, Jakarta dengan misi belajar dan mengutip pembelajaran di perjalanan. Sementara perjalanan ke dua lebih jauh hingga ke Jawa Tengah, menuju kota Solo berseri, sehingga terasa bertambah kaya pengetahuan secara geografis. Alhamdulilah perjalanan bertambah jauh, bertambah pengalaman.
Berada selama sebulan di YIS Solo, ada banyak pembelajaran yang penulis petik atau dapat. Yang namanya magang atau internship di sebuah LSM, bukan hanya belajar tentang urusan administrasi di kantor, tetapi juga banyak melakukan kunjungan lapangan bertemu masyarakat dampingan yang berada di beberapa wilayah kerja YIS Solo, sehingga banyak pengetahuan baru serta pengalaman -pengalaman yang sangat berharga, menjadi pembelajaran, ketika kembali ke Aceh.
Ketika tiba di YIS Solo saat itu, penulis tidak tinggal di Wisma YIS yang berlokasi satu kawasan dengan kantor YIS tersebut. Penulis menyewa sebuah kamar di rumah penduduk yang letaknya sekitar 200 meter darı kompleks YIS. Penulis bisa berjalan kaki ke YIS setiap pagi dan saat pulang di sore hari. Karang Asem itu adalah sebuah kelurahan di Kecamatan Laweyan, Surakarta. Setiap pagi dan sore, penulis mencari sarapan di warung-warung kecil dengan menü yang sederhana dan çıta rasa makanan Jawa. Tentu saja sedikit berbeda rasa dengan lidah penulis yang terbiasa dengan cita rasa asam sunti yang menjadi bumbu popular di Aceh. Penulis memang harus belajar menikmati rasa makanan yang berbeda. Misalnya nasi goreng di Aceh, dengan warna dan adonan begitu pekat, terasa berbeda dengan nasi goreng di Jawa yang agak berminyak dan lainnya.
Makanan dan minuman untuk konsumsi di kota ini, sebenarnya banyak menyimpan cerita kala itu. Akan banyak hal yang diceritakan. Misalnya, cerita makan nasi kucing. Nasi kucing merupakan nasi yang dijual oleh para pedagang kaki lima dalam porsi dan menu yang sangat kecil dan harga yang sangat kecil pula.Menurut Wikipedia, nasi kucing itu berada dari Yogyakarta, Semarang dan Surakarta alias Solo. Porsi nasi sedikit dan ditambah dengan sambal, ikan bandeng/teri dan tempe yang dibungkus dengan daun pisang. Bagi yang biasa makan nasi dalam porsi besar, mungkin harus membeli lebih dari satu bungkus, tapi kalau yang terbatas ya bisa hanya satu bungkus sebagai pengganjal perut dari rasa lapar.
Nah, ini adalah sepenggal cerita penulis menggali ilmu dan pengalaman bee-LSM di YIS Solo, yang berlokasi di Jalan Tanjung 96, Baweyan, Solo pada tahun 1992. Masih banyak catatan kecil tentang perjalanan ini yang akan penulis lanjutkan di bagian tiga. Masa magang masih belum selesai, masih banyak cerita dan pengalaman menarik. Jadi, tunggu saja sambungannya. Selamat menikmati perjalanan ini. Sampai jumpa di cerita lanjutannya.