Oleh : Linda Mustika Hartiwi
Berdomisili di Banyuwangi, Jawa Timur
Pada suatu siang, saya dibonceng motor oleh rekan kerja saya, dalam perjalanan bersama sepulang dari sebuah bank untuk melakukan transaksi keuangan kantor kami bekerja. Banyak kendaraan bermotor yang lalu lalang di jalan. Saat motor yang kami tunggangi melaju setelah sesaat berhenti di lampu merah, dari arah kiri dan kanan kami melaju pula motor dan mobil yang mendahului kami dengan meninggalkan suara yang bising yang memekakkan telinga. Sudah merasakan teriknya sinar matahari, mendengar suara bising dari keramaian lalu lintas di jalan, serasa pening.
Rekan saya tiba-tiba berkata kepada saya, โMbak, kalau benar akan terjadi kenaikan BBM, berarti jatah uang bahan bakar untuk transport kita yang sudah dianggarkan selama ini harus nambah. Padahal pos uang untuk kebutuhan yang lain sudah pas, tidak ada yang bersisa. Harus pandai-pandai menyiasati uang yang kita terima untuk kebutuhan yang harus kita penuhi. Nasib sebagai karyawan ya mbak.โ
Rekan saya tersebut menggantung perkataannya karena jalan di depan kami sebentar lagi berbelok yang menuntut konsentrasi, di tengah padatnya lalu lintas.
โIya mas,lalu?โ Jawab saya sambil tak lepas juga memandang keruwetan yang terjadi di jalan.
โItulah mbak, kalau kita tak ingin rugi, ya kerja ikut orang saja, seperti yang kita jalani sekarang ini. Kita tak perlu bersusah payah memikirkan uang kita. Hanya kita harus pandai-pandai mengatur uang yang kita terima. Tapi kalau kita ingin maju, ya kita harus berani untuk menanggung risiko rugi.โ Rekan saya mengakhiri perkataannya karena akhirnya kami sudah sampai di kantor.
Ketika saya turun dari boncengan motor, sesaat saya termenung memikirkan kata-kata rekan saya. Rekan kerja saya ini adalah sosok yang low profile, tidak pernah saya sangka di balik kekalemannya itu bisa mengucapkan kata-kata yang bisa digunakan sebagai cambuk dalam hidup. Ada kata-kata yang membuat saya menjadi terbangun dari alam pikiran saya sendiri.
Bukan masalah BBM, yang kalau dinaikkan pemerintah walaupun banyak yang tidak setuju, kalau memang harus naik, ya naik. Tapi kata-kata setelah itu, bahwa kalau kita tak ingin rugi, ikut orang saja dengan anggapan tidak perlu repot memikirkan risiko yang timbul bila terjadi sesuatu yang bergejolak. Kalau kita ingin maju, berarti harus berani menanggung risiko rugi.
Sampai saya kembali di kursi kerja, saya jadi tertarik untuk menerjemahkan lebih jauh perkataan rekan saya tadi. Sambil mengerjakan laporan, dalam hati saya mengiyakan kata-kata rekan saya. Kadang ketika sebagian dari kita sudah terlena dengan pekerjaan yang menurut kita sudah kita jalani dengan enjoy, kita malas untuk mencoba sesuatu yang baru yang mungkin justru itulah yang menjadikan kita lebih baik. Situasi kerja yang sudah nyaman dan menerima kompensasi gaji yang menurut kita sudah pas (walaupun mungkin seringkali mengalami kekurangan) diberikan untuk pos-pos pengeluaran kebutuhan, membuat kita tidak ribet berpikir mengolah masalah keuangan dalam hidup kita. Tapi imbas dari sikap kita tersebut menjadikan kita tidak mendapatkan peningkatan dalam hidup.
Hidup tetap berarti karena kita tetap eksis menjalaninya, tapi coba dikaji lebih jauh, terasa monoton, tidak terjadi perubahan dalam hidup yang lebih menantang. Atau memang kita sosok yang tidak suka akan tantangan dalam hidup?
Terkadang belum juga kita akan melangkah menuju perubahan, dalam pikiran kita dipenuhi rasa takut akan terjadi kesulitan di berbagai aspek kehidupan, bila kita benar-benar mengalami perubahan itu. Ketakutan dan kekhawatiran yang membayangi pikiran kita begitu kuat melekat yang sebenarnya semua itu belum tentu akan terjadi. Kecemasan yang kita alami sebenarnya akan mendatangkan kerugian moril. Ketika kita benar-benar melangkah untuk mencoba hal yang baru, tapi kecemasan tetap menghantui kita, kerugian moril yang tercipta nantinya berlanjut akan menimbulkan kerugian materiil. Semua itu akan membuat susah kita sendiri.
Menilik kalimat berikutnya yang dilontarkan rekan saya, bahwa kalau kita ingin maju, kita harus berani untuk rugi. Saya menelaahnya bahwa sebenarnya dengan berani menanggung rugi yang timbul, pikiran kita akan lebih terbuka untuk mendapatkan solusi yang baik yang membuat kita tidak akan menderita rugi lagi. Terus menerus pikiran kita dipacu untuk membuat hidup kita lebih maju, lebih baik dan lebih berkualitas. Apalagi kalau hidup kita menjadi berarti untuk kehidupan orang lain di sekeliling kita, tambahan predikat untuk hidup kita, sukses.
Bukankah ada kata-kata motivasi yang dilontarkan oleh motivator yang menyatakan bahwa kita dikatakan sukses adalah ketika kita membuat orang lain lebih berarti? Berani untuk rugi ternyata tidak hanya membuat kita lebih aktif dan protektif dengan hidup, tapi juga berguna untuk kepetingan orang lain di sekitar kita, yang secara tidak langsung membuat kita merasakan hidup lebih indah.
Hidup adalah pilihan. Semua yang akan kita pilih untuk kita lakukan dalam hidup adalah pilihan kita sendiri. Bukan orang lain yang menentukan untuk kebaikan hidup kita. Mau pasif, mau aktif atau ingin mendapatkan perubahan dalam hidup, semua terserah pada diri kita sendiri. Adalah hak kita untuk mengatur hidup kita masing-masing. Sekali lagi, hidup adalah pilihan. []