Oleh Nisa Ulmuddrika
“Aku tak dapat menggambarkan betapa indah kenangan itu. Saat-saat di mana kami saling mengadu nasib. Tentang dia dan keluarganya dan aku dengan segala kekuranganku. Dia sangat setia. Bahkan tidak pernah sekalipun aku merasa tersakiti olehnya”.
Aku Rafa, seorang pria kampung yang sedang berusaha memperoleh secuil bahagia. Hari ini aku berencana untuk mengabari ibu bahwa tabunganku sudah lumayan banyak dan insya Allah sudah bisa membicarakan tentang pernikahan padanya. Aku juga sangat bahagia, beberapa hari yang lalu aku sudah bisa menduduki ruko yang kusewa untuk membangun usahaku sendiri.
Pagi hari, seperti biasa aku berangkat ke toko bersama seorang sahabat baikku, Randi.
Randi terus menghidupkan motornya dan akupun diboncenginya.
Aku lalu pergi, namun tidak menikmati perjalanan kami hari ini sebagaimana biasanya.
***
Aku, si pria malang yang hadir dalam kehidupan putri raja. Sekian bulan aku mengenalnya, lalu kami memutuskan untuk berkenalan lebih dekat. Gadis lugu dan manis itu telah memberi sejuta kebahagiaan dalam hidupku. Dia sangat luar biasa bagiku karena mau menerimaku apa adanya.
Aku senang karena diterima di keluarganya dan ibuku juga tidak pernah memiliki siasat lain pada gadis belia itu. Dia gadis tomboy, namun paham agama. Dia terlihat cerdas di kalangan gengnya yang dari MTsN itu bersamanya. Walaupun sering menjadi gadis pembalap, namun sangat anggun ketika momen perjumpaan kami tiba.
Aku tak dapat menggambarkan kenangan indah bersamanya. Saat-saat di mana kami saling mengadu nasib. Tentang dia dan keluarganya dan aku dengan segala kekuranganku. Dia sangat setia. Bahkan tidak pernah sekalipun aku merasa tersakiti olehnya. Bayangkan sudah hampir 9 tahun kami dalam satu hubungan “pacaran”. Walaupun ada sedikit masalah, akan tetapi aku menganggapnya itu adalah sebuah hal yang lumrah terjadi, seperti apapun bentuk hubungannya.
Sore hari ini, aku bersama sahabatku, sedang memainkan harmonika di tepi pantai. Kebahagiaanku seakan tidak lengkap. Entah apa, kadang aku seperti orang yang kehilangan sesuatu dari diri ini. Namun tidak demikian dengan keadaan sahabatku. Dia kelihatan sangat lebih periang dari biasanya.
Pantai adalah salah satu tempat yang setia menampung tumpahan perasaanku. Nyaman saja aku di sini sampai kabut malam menyongsongpun aku tetap setia. Memang ada satu tempat di sana yang aku peruntukkan untukku dan dia (kekasihku). Biasanya sepulang sekolah dulu kami sering ke sini dan menyanyikan sebuah lagu untuknya.
Namun, aku merasa akhir-akhir ini aku terlalu sibuk dengan segala urusan ruko itu, sehingga sangat sedikit waktuku untuk menanyakan kabarnya.
Aku mencoba memainkan harmonika ini dengan sangat kencang dan gembira sambil bersandar di salah satu pohon Cemara. Tampaknya pantaipun bersahabat dengan ku. Ia sangat senang menggodaku dengan pesona angin yang begitu bergelora.
Hari ini aku sangat bimbang dan berusaha lari dari kebimbangan ini. Aku merasa seakan-akan ada pertanda buruk yang tidak bisa kugambarkan dari kesepian hatiku. Padahal baru saja aku menelponnya dan menanyakan kabarnya. Dia sangat senang hari ini, katanya dia sudah bisa melanjutkan penelitian karena dosen pembimbingnya telah menyetujui.
Aku menghabiskan setengah hari di pantai itu. Ini ku lakukan untuk membohongi hati dan prasangka buruk yang ku rasakan.
Tepat pukul 16.00 WIB, kira-kira sudah bisa bersiap-siap untuk pulang dan ke masjid. Tiba-tiba saja aku ingin mendapatkan keheningan dan kesejukannya pula karena akhir-akhir ini sepertinya aku sudah jarang shalat berjamaah bersama mereka.
“kalau dulunya rajin melaksanakan shalat berjamaah di masjid. Eh tiba-tiba sekarang menjarangkan diri. Bisa saja itu karena ada hal dunia yang sudah terlalu mengekang dirinya, sehingga harus berhenti mengejar akhirat dan memuaskan nafsu dunianya itu.”
Sejenak, kepalaku tidak seimbang dengan peutuah kakek di kampung dan bikin memberontak, teringat tubuh. Apakah aku seperti orang dalam peutuah itu, pikirku.
Ah, ya sudahlah, (aku insaf dan berjanji pada diriku sendiri agar dapat membagi waktu antara urusan dunia dan akhirat) pikirku.
Lalu ku bangkit, berusaha meraih kayu yang sejak tadi dimainkan randi dan dijadikan sebagai tongsis. Aku tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Begitulah anak kampung di desaku, apapun boleh dilakukan untuk menggantikan semua kebahagian yang belum ia dapat. Menjadikan alam sebagai perkakas, walaupun sederhana, namun terlihat sangat memesona.
Aku terus mengucapkan rasa syukur yang tak terhingganya, karena tidak terlalu berpengaruh dengan era sekarang yang sangat canggih dan serba ada. Terlepas dari itu aku pun telah dilatih untuk menikmati dan memanfaatkan apa-apa yang diberikan zaman untuk masa-masaku dengan bertawakal tentunya.
Tiba-tiba aku merasa pusing yang sangat hebat dan…Bluuuuuk, …..(penglihatanku kabur)
….dan Randi (menghampiri sambil berteriak, RAFAAAAAAAAAAAAAAA)
….. Aku masih setengah sadar dan berusaha tidak memberatkan badanku karena randi kewalahan membawaku ke warung kopi terdekat.
***
Aku terbangun, namun dengan ekspresi yang sempoyongan dan lelah sekali rasanya.
“Alhamdulillah kamu siuman Fa, ni minum dulu,” sambil memberikan secangkir air putih padaku.
Aku mencoba menenangkan mereka dengan memastikan keadaan bahwa aku baik-baik saja lalu meraih Randi dan akupun bercerita padanya tentang mimpiku saat ku tak sadar tadi.
“ndi, kamu mau gak sekali ini saja menafsirkan mimpiku. Kan biasanya aku gak pernah cerita sama kamu, karena katamu ‘aku bukan ahli penafsir mimpi’ jadi jangan ceritakan padaku.”
Eh sambil ngakak, Randi pun membalas permintaanku. “Kenapa kamu?”
Itu tandanya dia membolehkanku menceritakannya.
” Aku tadi lihat Minah memakai pakaian pengantin berwarna putih di sebuah gubuk. Dia seperti sedang menunggu sesuatu yang datang. Tapi aku tidak tau entah siapa yang ia tunggu itu. Dia kelihatan sangat cantik. Ketika itu aku memakai pakaian ke sawah karena kebetulan Pak Cek Leman minta buru pipit di sawah yang akhir-akhir ini semakin bertingkah saja.
Aku menghampirinya lalu kami berbincang lumayan lama. Namun aku seperti merasa ada keanehan padanya. Sepanjang perbincangan kami dia sibuk melirik-lirik ke arah jalan, melihat orang yang datang. Lalu aku bertanya padanya tentang apa yang sebenarnya ia tunggu. Aku sibuk bertanya terus padanya tentang kuliahnya dan kabar rindunya yang selalu ku nantikan, sehingga aku tidak ingat sedikitpun menanyakan tentang apa gerangan pakaian yang ia gunakan hari itu.
Aku bercerita panjang lebar, namun tidak mengetahui apa maksud semua ini. Cerita ini gantung. Sampai aku benar-benar lupa akan diriku. Tentang sejatinya akhlak ini yang ku jaga dan baiknya harapan yang ku cita-citakan. Aku bicara pada waktu agar tidak secepat ini melunturkan masa. Pun aku berleha-leha pada jarak. Supaya cintaku terus berlagak hingga Allah memintaku bersabar sejenak.
Hari semakin larut saja ditelan malam. Matahari tak sanggup mengelak tentang apa yang harusnya ku terima. Dua benda ini yang dalam naungan kesetiaannya seakan mencoba menenangkan pikiranku.
Ku raih telpon genggam bututku. Kucoba menenangkannya, lalu menanyakan kabar kekasihku pada orang-orang terdekatnya lagi. Kali ini aku fokuskan pertanyaanku pada kakak sepupunya yang dulu juga banyak memberikan kiat baik untukku, juga tentang tips kesabaran dalam menghadapi suka duka cinta yang sudah lama terpahat ini.
“ Assalamualaikum Kak, apakabar? Maaf kak mengganggu. Saya mau tanya. Minah di mana ya kak, soalnya dari tadi sore telfon saya gak diangkat. Apa dia baik-baik saja kak?”
30 menit kemudian…/ “Oh iya, Alhamdulillah Minah baik, maaf dengan siapa ya?” tanyanya balik.
Aku mulai sedikit sedih dan terbawa perasaan lagi. Kenapa sampai sekarang nomor handphone-ku belum juga disimpannya.
Tiba-tiba dia membalas lagi. “Oh ini Rafa. Maaf, kemaren hp saya rusak jadi semua kontaknya hilang. Ini baru diperbaiki lagi.”
Aku berharap, si Kakak bercerita banyak tentang Minah dan menjelaskaan kenapa sekarang dia sudah banyak perubahannya. Aku menganggap cinta dan kasih sayangnya sekarang hanya berpura-pura saja padaku..
Ah aku berburuk sangka lagi.***
Ya Allah. Terkadang aku percaya. Bahwa inilah namanya takdir. Kenapa aku harus menghinanya lalu enggan menerima.
Cinta, kau kemanakan hati yang ku berikan sekian lama. Mudahnya segumpal darah lain yang kau terima. Kau uji kesetiaanku yang tak ada bandingannya dengan setianya orang lain pada kekasihnya. Kau yang ku dambakan, dan kita percaya suatu saat nanti kita akan bersama dalam bahtera dengan ketulusan cinta yang kita miliki.
Malam ini, aku seperti diserang bakteri dengan panas yang memuncak. Kepalaku dan badanku sangat berat sekali seperti tertimpa penghianatan yang sungguh tak sanggup aku memikulnya. Besar sekali dan begitu tajam. Ternyata selama ini hanya sebuah kesia-siaaan yang kubangun. Aku memulainya dari bertani, menjadi tukang bangunan, hingga menjadi buruh di toko-toko orang demi melengkapi mahar untuk kekasihku.
Aku dulu lemah dengan penyakitku. Namun sekarang keadaanku lebih lemah akibat tusukan duri yang kau hempaskan bertubi-tubi.***
Keesokan harinya aku mendapat sms dari kakak sepupunya itu.
Katanya Minah mau ngomong dan mengklarifikasikan pembicaraanya semalam padaku.
***
“Dek, apa kamu sudah setuju dengan lamaran itu. Apakah kamu sepakat dengan orang tuamu dek. Sekarang masih ada kesempatan untuk memilih. Kan ini belum ada pinangan, namun masih perencanaan. Adek masih bisa bilang sama ayah kalau abang juga lagi mempersiapkan segala sesuatu untuk pernikahan kita nanti dek”
“Iya, tapi, sampai kapan Abang bisa datang ke rumah dan memastikan orang tua adek Bang? Sekarang Adek butuh kepastian bang. Adek dikasih kesempatan untuk kenali dia dulu. Selanjutnya baru bisa memeberikan keputusan sama mamak dan ayah.
Hufft, aku seakan-akan memohon secuil kebaikan hatimu. Apa yang harus kuperbuat sekarang selain mengadukan kelakuanmu pada mimpiku. Menutupi tingkahmu pada makhluk lain sudah bukan waktunya kerana wangi-wangian kita sudah lama menggoda. Mengeluh padanya tentang apa yang ku derita selama ini pun bukan suatu hal yang wajar. Kenyataannya aku belum sampai mati karena duri cintamu itu.
Selama ini aku tak peduli tentang bumerang. Tentang sayangmu dari dulu hingga sekarang. Yang ku tahu kamu hanya untukku hingga aku tidak melihat ada kumbang lain yang hinggap dan merayumu. Aku memilih bungkam dan tidak menyakiti diri sendiri dengan prasangka burukku itu.
Begitulah selanjutnya kisah ku dan kisahmu. Tidak ada kebencian sedikitpun hingga sekarang. Aku menyelimuti luka dengan mimpiku yang besar itu untukmu Cinta. Ku jadikan kegelisahan sebagai penguat dan sandungan kakiku ini sebagai arahan agarku selalu dalam bimbingan dengan tidak terulang beberapa kali. Tapi jika kedua kali, mungkin sudah takdir yang mempertemukanku dengan cerita cinta yang belum sempurna seperti cinta pertama yang kau semai dalam hatiku ini.
Pun sekarang kesepian membuatku seakan mati dalam kenikmatan. Segala mimpi dan kekuatan telah habis kuusahakan. Namun tak juga bisa mengembalikan semangat hidup ini. Hati yang ku jaga rupanya ilusi.
Begitukah kalau sudah tak BERJODOH?
Penulis adalah Nisa Ulmuddrika, lahir di Manggeng Aceh Barat Daya, 21 Januari 1996. Anggota FLP Banda Aceh dan tergabung dalam Forum Aceh Menulis (FAMe) Banda Aceh. Pernah kuliah di Jurusan Farmasi FMIPA Unsyiah Banda Aceh angkatan 2013.