Dengarkan Artikel
Oleh: Novita Sari Yahya
Fenomena Ani-Ani dan Paradoks Tubuh Ideal
Menarik membaca berita soal ani-ani olahraga yang viral di TikTok, lengkap dengan penjelasan seorang ahli kecantikan yang menjabarkan ciri-ciri fisiknya. Katanya, ani-ani mudah dikenali dari penampilan: kulit terawat, wajah bersih, dan ciri tubuh ideal. Namun, jika kita cermati, bukankah itu juga deskripsi umum untuk para “Miss” dan “Queen” yang ikut ajang pemilihan nasional maupun internasional?
Ironinya, yang dipakai sebagai standar moral justru tubuh. Padahal tubuh hanyalah wadah, bukan tolok ukur watak. Ketika media sosial dan komentar netizen mulai menentukan “siapa suci dan siapa ani-ani” berdasarkan kontur pipi dan ukuran pinggang, maka bangsa ini sedang masuk ke tahap kapitalisme estetik , di mana moral diukur lewat filter kamera.
Fenomena ini memperlihatkan betapa dangkalnya cara publik menilai perempuan. Di satu sisi, perempuan dituntut tampil cantik dan ideal tapi di sisi lain, ketika memenuhi tuntutan itu, ia dituduh menjual diri. Sebuah jebakan moral yang diciptakan oleh masyarakat yang gemar berteriak etika, tapi tak pernah menatap dirinya di cermin.
Kapitalisme Tubuh dan Moral yang Dapat Disewa
Mari jujur sejenak: ani-ani bukan monopoli satu profesi atau keberadaan di dunia olahraga seperti tuduhan di media sosial yang beredar luas. Tapi lintas bidang, lintas jabatan, dan lintas status sosial. Di negara yang mendewakan uang, ani-ani adalah spesies paling adaptif karena bisa berkembang biak di mana saja: di kantor, di dunia hiburan, di ruang olahraga, bahkan di balik layar politik.
Kalau mau adil, jangan hanya menghakimi perempuan. Karena di sisi lain, banyak pria muda juga menjadi sugar baby bagi oknum tante-tante pengusaha, istri pejabat, bahkan pejabat perempuan. Kapitalisme rupanya adil secara ironi karena tidak memandang gender, yang penting ada saldo dan uang rekening.
Gagasan Rumah Pengasuhan ke Ketahanan Keluarga
Program Rumah Pengasuhan Anak dan Pendidikan Keluarga yang di gagas bertujuan membentuk ketahanan keluarga dan individu masyarakat Indonesia agar tidak mudah terseret arus semu seperti ini. Kita perlu membentengi generasi muda dari dua ekstrem. Ide sekuler kebablasan yang menganggap segala sesuatu boleh selama viral, dan ide ekstrem yang menolak perubahan dengan membabi buta.
Keduanya sama-sama tidak berakar pada kearifan lokal. Indonesia sejak lama punya falsafah “malu jika tidak tahu diri”, bukan malu karena tidak cantik atau tidak kaya, melainkan malu karena kehilangan akal sehat.
Miras, Pejabat, dan Etika Publik yang Dilecehkan
Di saat masyarakat sibuk memperdebatkan moral ani-ani, kita disuguhi video viral lain: pejabat negara berpesta miras bersama istri pengusaha, dengan harga minuman mencapai puluhan juta rupiah per botol. Katanya, itu bagian dari diplomasi santai. Tapi yang santai justru rasa malu bangsa ini.
Etika pejabat publik bukan urusan privat. Jabatan publik adalah mandat moral, bukan tiket bebas etika. Perilaku pejabat yang mengonsumsi alkohol secara terbuka jelas melanggar norma sosial mayoritas masyarakat Indonesia dan menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Ketika pejabat berdalih “hak asasi untuk bersenang-senang”, ia lupa bahwa hak publik untuk menilai justru lahir dari uang rakyat yang menggaji mereka. Maka, yang mabuk bukan hanya pejabatnya tapi juga nalar publik yang terlalu lama disuguhi tontonan tanpa konsekuensi.
📚 Artikel Terkait
Pageant dan Perempuan di Panggung Halu
Hal yang sama terjadi di dunia pageant, ajang yang seharusnya menjadi ruang perayaan perempuan justru sering berubah menjadi parade eksposur tubuh. Memang tidak semua, tapi sebagian besar panggungnya menampilkan pakaian bikini dua potong dan pesta glamor yang seolah menjadi standar empowerment.
Pertanyaannya: apakah perempuan harus memamerkan tubuh untuk membuktikan dirinya berdaya? Jika demikian, maka pemberdayaan hanya berpindah tangan dari patriarki ke kapitalisme.
Banyak ajang beauty pageant kini dikritik karena gagal membedakan antara empowerment dan eksploitasi. Padahal, perempuan Indonesia punya banyak representasi kuat tanpa perlu bikini. Dari petani di lereng Gunung Merapi yang mengelola lahan dengan tangguh, hingga dosen dan peneliti perempuan yang menulis tanpa suara tapi berdampak nyata.
Perempuan Indonesia itu progresif, tapi juga waras. Ia tidak butuh validasi eksternal untuk disebut “queen”. Dalam dunia yang kian halu ini, menjaga kepantasan bukan tanda kolot, justru bentuk perlawanan elegan terhadap sistem yang menjadikan tubuh perempuan sebagai papan reklame.
Miss Klarifikasi dan Bangsa yang Ketagihan Branding Halu-halu.
Kini muncul kasta baru di media sosial: Miss Klarifikasi dan Mr. Maaf-ya-Netizen. Setiap kali tersandung isu moral, klarifikasi datang lebih cepat dari rasa bersalah. Kita hidup di masa , di mana permintaan maaf dijadikan konten, dan integritas digantikan oleh kemampuan mengelola opini publik.
Bangsa ini seperti tengah mabuk klarifikasi sehingga semuanya ingin dimaklumi, bahkan yang tak pantas untuk dimaklumi. Dari pejabat pesta miras, selebritas yang jual ilusi, hingga netizen yang haus drama moral orang lain.
Padahal, bangsa yang sehat bukan bangsa yang paling sering klarifikasi. Karena perilaku publik dan pribadi sudah sejalan dengan nilai dasar yaitu malu, sopan, dan tahu diri.
Menjadi Perempuan Indonesia: Progresif tapi menjaga batasan
Kepantasan dan kepatutan bukanlah beban, tapi batas. Batas yang menjaga agar kemerdekaan tidak berubah menjadi kebablasan. Perempuan Indonesia bisa maju tanpa kehilangan jati diri; bisa modern tanpa melupakan akar budaya; bisa tampil percaya diri tanpa harus menjadi Miss Understanding.
Perempuan Indonesia sejati adalah yang menjaga keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab. Ia sadar bahwa menjadi modern bukan berarti menanggalkan moralitas, dan menjadi religius bukan berarti menolak perubahan. Ia berjalan di tengah, dengan kepala tegak, langkah mantap, dan hati waras.
Penutup: Dari Ani-Ani ke Integritas
Fenomena ani-ani hanyalah cermin kecil dari penyakit besar bernama kapitalisme moral. Ia menjual tubuh, nama, dan bahkan harga diri, dengan kemasan berkilau. Tapi seperti semua kemasan, isinya tak selalu seindah bungkusnya.
Kita tidak butuh lebih banyak Miss Klarifikasi atau Mr. Viral Demi Cuan. Kita butuh Miss Integritas, yang tak perlu menjelaskan siapa dirinya karena tindakannya sudah cukup berbicara.
Indonesia tidak kekurangan kecantikan. Yang langka hari ini adalah kewarasan.
Referensi
Katadata. (2023). Tren Konsumsi Alkohol di Indonesia dan Dampaknya terhadap Generasi Muda.
Kompas.com. (2024). Etika Publik dan Tanggung Jawab Moral Pejabat Negara di Era Media Sosial.
Tempo.co. (2024). Pageant dan Representasi Perempuan Indonesia: Antara Empowerment dan Eksploitasi.
Novita sari yahya.
Peneliti, penulis dan national director Indonesia 2023-2024.
Perempuan Indonesia tidak butuh validasi karena sudah menjadi miss undestanding dan miss klarifikasi.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini

















