• Terbaru

Neo-Sentralisme dan Krisis Kedaulatan Daerah

October 9, 2025

Memaknai Hari Pahlawan: Moral dalam Kebebasan Digital yang Harus Dikawal

November 18, 2025

Kafka dan Trio RRT Di Depan Hukum

November 17, 2025

🚩🚩SELAMAT PAGI MERAH PUTIH

November 17, 2025

Penjor vs Kabel PLN

November 17, 2025

Kebugaran dan Kebersamaan di Bawah Langit Paya Kareung

November 17, 2025

Otsus Aceh di Persimpangan Jalan

November 16, 2025

Pendapat Prof Jimly Soal Ijazah Jokowi

November 16, 2025

Korupsi di Sektor Kesehatan: Dari Nasionalisme STOVIA hingga Penjara KPK

November 16, 2025

Malam Layar Puisi Anak Muda 2025

November 16, 2025

Prasasti Kebon Kopi

November 15, 2025

Bullying, Feodalisme, dan Ekstremisme

November 16, 2025

Dari Sumber Daya ke Sumber Daya Damai

November 15, 2025
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat
Tuesday, November 18, 2025
POTRET Online
  • Login
  • Register
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat
No Result
View All Result
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat
No Result
View All Result
POTRET Online
No Result
View All Result
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat

Neo-Sentralisme dan Krisis Kedaulatan Daerah

Don ZakiyamaniOleh Don Zakiyamani
October 9, 2025
0
Reading Time: 4 mins read
🔊

Dengarkan Artikel

Oleh Don Zakiyamani

Gejala yang tampak dalam masa pemerintahan Prabowo Subianto—baik dari arah kebijakan fiskal, tata kelola birokrasi, maupun pendekatan terhadap pembangunan nasional—menunjukkan pola baru dari sentralisasi kekuasaan yang dibungkus dalam jargon modernisasi dan efisiensi negara. Fenomena ini bisa disebut neo-sentralisme: bukan kembalinya otoritarianisme lama, melainkan pembentukan ulang kekuasaan pusat dalam bentuk yang lebih canggih, terkoordinasi, dan “rasional”.

Dalam bentuk klasiknya, sentralisme lahir dari keyakinan bahwa negara harus memiliki kendali penuh atas seluruh wilayah demi stabilitas dan efisiensi. Namun, seperti diingatkan oleh Alexis de Tocqueville dalam Democracy in America, bahaya terbesar demokrasi adalah ketika negara perlahan-lahan “menyusup ke seluruh detail kehidupan rakyatnya” atas nama ketertiban dan kesejahteraan. Inilah yang terjadi di Indonesia pasca dua dekade desentralisasi—pusat kembali memegang kendali, bukan melalui paksaan, melainkan lewat perangkat kebijakan, indikator pembangunan, dan mekanisme insentif fiskal.

Teori-teori kekuasaan modern seperti yang dikemukakan Michel Foucault dalam Discipline and Punish menjelaskan bagaimana kekuasaan hari ini tidak lagi menindas secara terang-terangan. Ia bekerja melalui sistem, melalui apa yang tampak seperti kebijakan netral. Misalnya, sistem perencanaan pembangunan nasional yang “terintegrasi” melalui platform digital, atau instrumen dana transfer pusat yang mengatur prioritas daerah. Semua tampak rasional, tapi di baliknya ada logika pengawasan dan homogenisasi kebijakan yang meniadakan konteks lokal.

Contoh paling jelas dapat dilihat pada pemotongan dana transfer daerah untuk Aceh. Provinsi yang memiliki status otonomi khusus ini secara hukum berhak atas mekanisme fiskal yang lebih mandiri. Namun, kebijakan pusat yang menunda atau mengurangi transfer dana otsus dan DAU (Dana Alokasi Umum) atas nama penyesuaian fiskal justru menunjukkan gejala dominasi fiskal yang halus. Daerah dipaksa menyesuaikan prioritasnya dengan perintah pusat karena aliran dana menjadi alat kontrol. Dalam bahasa politik ekonomi, ini adalah bentuk fiscal dependency trap—di mana pusat menggunakan instrumen keuangan untuk menegaskan kekuasaan struktural atas daerah.

Giovanni Sartori menyebut sistem politik yang terlalu tersentralisasi sebagai over-integrated polity—sebuah kondisi di mana pusat memiliki kontrol normatif atas seluruh wilayah, hingga membunuh spontanitas sosial dan kreativitas politik daerah. Dalam konteks Indonesia hari ini, otonomi daerah secara formal masih hidup, tetapi otonomi substantif—yakni kemampuan daerah menetapkan arah kebijakan berdasarkan kebutuhan dan karakter lokal—semakin menyusut.

Kelemahan mendasar dari neo-sentralisme adalah matinya agency di level lokal. Pemerintah daerah kehilangan keberanian untuk berbeda atau berinovasi karena setiap langkah harus sesuai dengan narasi besar “visi nasional”. Dalam kerangka teori Anthony Giddens, ini bisa disebut structuration trap: ketika struktur negara begitu kuat sehingga agen lokal hanya bisa bergerak di dalam rel yang sudah ditentukan oleh pusat. Daerah tidak lagi menjadi laboratorium kebijakan, melainkan menjadi kepanjangan tangan dari kebijakan pusat yang bersifat seragam.

📚 Artikel Terkait

Mengajak Mahasiswa Merangkai Kembali Mimpi Masa Depan

Pelaku Usaha di Banda Aceh Ikuti Bimtek Tata Cara Penginputan OSS-RBS

Kisah Yusuf a.s.

Cerita Tanpa Kisah

Dari sisi ekonomi-politik, neo-sentralisme juga menciptakan ketergantungan fiskal yang tinggi. Desentralisasi fiskal yang seharusnya memberikan ruang otonom bagi daerah untuk mengelola sumber daya justru berubah menjadi sistem transfer vertikal: pusat menentukan, daerah menunggu. Jean-Paul Fitoussi dan Joseph Stiglitz dalam kajian mereka tentang governance menegaskan bahwa sistem yang terlalu tersentralisasi menurunkan efisiensi jangka panjang karena mengabaikan informational advantage daerah—yakni pengetahuan lokal yang tidak dimiliki oleh pusat. Kasus Aceh memperlihatkan hal ini secara telanjang: daerah yang kaya sumber daya dan memiliki keunikan sosial justru kehilangan kemampuan untuk memutuskan arah fiskalnya sendiri karena struktur ketergantungan yang dipelihara pusat.

Lebih jauh, dari perspektif teori ruang publik Jürgen Habermas, demokrasi hanya bisa hidup jika ada deliberative sphere yang bebas dari dominasi kekuasaan administratif. Namun, neo-sentralisme hari ini justru mempersempit ruang itu. Diskusi publik di tingkat daerah—baik di DPRD, lembaga adat, maupun forum warga—tidak lagi menentukan arah kebijakan substantif, karena keputusan strategis sudah “diarahkan” dari pusat dengan alasan sinergi nasional. Demokrasi berubah dari proses diskursif menjadi proses teknokratis.

Bentuk kontrol modern ini juga memiliki wajah kultural. Negara kini membangun imaji “persatuan nasional” sebagai simbol moral yang tidak boleh digugat. Kritik terhadap kebijakan pusat sering ditafsirkan sebagai sikap anti-nasional. Padahal, sebagaimana diingatkan oleh Hannah Arendt, pluralitas adalah inti kehidupan politik. Ketika pluralitas digantikan oleh keseragaman arah, politik kehilangan maknanya dan berubah menjadi administrasi semata.

Akibat lanjut dari neo-sentralisme adalah menurunnya kepekaan terhadap perbedaan sosial, ekonomi, dan ekologis antarwilayah. Kebijakan pembangunan yang seragam sering kali gagal memahami karakter geografis dan kultural daerah. Dalam konteks Indonesia, hal ini tampak dari proyek-proyek nasional yang mengabaikan konteks lokal, seperti pemindahan ibu kota atau proyek strategis nasional yang dikelola tanpa partisipasi bermakna dari masyarakat setempat. Di sinilah muncul paradoks: atas nama pemerataan, negara justru memperkuat ketimpangan.

Maka, bahaya terbesar dari neo-sentralisme bukan hanya hilangnya otonomi administratif, melainkan hilangnya kesadaran kewilayahan—kemampuan suatu daerah untuk mengenali, menafsirkan, dan memperjuangkan kepentingannya sendiri dalam kerangka negara. Bila ini terus berlanjut, Indonesia berisiko menjadi negara yang secara formal demokratis, tetapi secara substansi mengalami repolitisasi kekuasaan ke pusat.

Dalam bahasa Chantal Mouffe, demokrasi yang sehat menuntut agonisme—yakni ketegangan produktif antara pusat dan daerah, antara kepentingan nasional dan lokal. Neo-sentralisme meniadakan ketegangan itu dan menggantikannya dengan keseragaman yang steril. Stabilitas yang dihasilkan mungkin tampak indah di permukaan, tetapi di bawahnya demokrasi kehilangan denyutnya.

Dengan demikian, tantangan terbesar bagi Indonesia hari ini bukan hanya melawan otoritarianisme klasik, tetapi memahami bentuk baru dari dominasi yang muncul lewat rasionalitas kebijakan. Neo-sentralisme adalah wajah baru kekuasaan yang halus namun efektif—dan karena itu, lebih berbahaya. Jika negara terus berjalan di jalur ini, kita tidak sedang menuju masa depan yang efisien, melainkan kembali ke masa lalu yang dirombak dengan bahasa modern: negara besar, rakyat kecil.

🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini

Pria Yang Merindukan Prostatnya
Pria Yang Merindukan Prostatnya
28 Feb 2025 • 114x dibaca (7 hari)
Oposisi Itu Terhormat
Oposisi Itu Terhormat
3 Mar 2025 • 103x dibaca (7 hari)
Keriuhan Media Sosial atas Kasus Keracunan Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
Keriuhan Media Sosial atas Kasus Keracunan Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
2 Oct 2025 • 87x dibaca (7 hari)
Hancurnya Sebuah Kemewahan
Hancurnya Sebuah Kemewahan
28 Feb 2025 • 86x dibaca (7 hari)
Hari Ampunan
Hari Ampunan
1 Mar 2025 • 76x dibaca (7 hari)
📝
Tanggung Jawab Konten
Seluruh isi dan opini dalam artikel ini merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi bertugas menyunting tulisan tanpa mengubah subtansi dan maksud yang ingin disampaikan.
Don Zakiyamani

Don Zakiyamani

Penikmat kopi tanpa gula

Artikel

Menulis Dengan Jujur

Oleh Tabrani YunisSeptember 9, 2025
#Gerakan Menulis

Tak Sempat Menulis

Oleh Tabrani YunisJuly 12, 2025
#Sumatera Utara

Sengketa Terpelihara

Oleh Tabrani YunisJune 5, 2025
Puisi

Eleği Negeriku  Yang Gelap Gulita

Oleh Tabrani YunisJune 3, 2025
Puisi

Kegalauan Bapak

Oleh Tabrani YunisMay 29, 2025

Populer

  • Gemerlap Aceh, Menelusuri Emperom dan Menyibak Goheng

    Gemerlap Aceh, Menelusuri Emperom dan Menyibak Goheng

    162 shares
    Share 65 Tweet 41
  • Inilah Situs Menulis Artikel dibayar

    153 shares
    Share 61 Tweet 38
  • Peran Coaching Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan

    145 shares
    Share 58 Tweet 36
  • Korupsi Sebagai Jalur Karier di Konoha?

    57 shares
    Share 23 Tweet 14
  • Lomba Menulis Agustus 2025

    51 shares
    Share 20 Tweet 13

HABA MANGAT

Haba Mangat

Tema Lomba Menulis November 2025

Oleh Redaksi
November 10, 2025
Haba Mangat

Tema Lomba Menulis Bulan Oktober 2025

Oleh Redaksi
October 7, 2025
Haba Mangat

Pemenang Lomba Menulis – Edisi Agustus 2025

Oleh Redaksi
September 10, 2025
Postingan Selanjutnya

Rasio Gaji BUMN yang Tidak Rasional

  • Kirim Tulisan
  • Program 1000 Sepeda dan Kursi roda
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Tentang Kami
  • Kirim Tulisan
  • Program 1000 Sepeda dan Kursi roda
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Tentang Kami

INFO REDAKSI

Tema Lomba Menulis November 2025

November 10, 2025

Tema Lomba Menulis Bulan Oktober 2025

October 7, 2025

Pemenang Lomba Menulis – Edisi Agustus 2025

September 10, 2025

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Facebook
Sign Up with Google
OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Artikel
  • Puisi
  • Sastra
  • Aceh
  • Literasi
  • Esai
  • Perempuan
  • Menulis
  • POTRET
  • Haba Mangat

© 2025 Potret Online - Semua Hak Cipta Dilindungi

-
00:00
00:00

Queue

Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00
Go to mobile version