Dengarkan Artikel
Oleh Don Zakiyamani
Gejala yang tampak dalam masa pemerintahan Prabowo Subianto—baik dari arah kebijakan fiskal, tata kelola birokrasi, maupun pendekatan terhadap pembangunan nasional—menunjukkan pola baru dari sentralisasi kekuasaan yang dibungkus dalam jargon modernisasi dan efisiensi negara. Fenomena ini bisa disebut neo-sentralisme: bukan kembalinya otoritarianisme lama, melainkan pembentukan ulang kekuasaan pusat dalam bentuk yang lebih canggih, terkoordinasi, dan “rasional”.
Dalam bentuk klasiknya, sentralisme lahir dari keyakinan bahwa negara harus memiliki kendali penuh atas seluruh wilayah demi stabilitas dan efisiensi. Namun, seperti diingatkan oleh Alexis de Tocqueville dalam Democracy in America, bahaya terbesar demokrasi adalah ketika negara perlahan-lahan “menyusup ke seluruh detail kehidupan rakyatnya” atas nama ketertiban dan kesejahteraan. Inilah yang terjadi di Indonesia pasca dua dekade desentralisasi—pusat kembali memegang kendali, bukan melalui paksaan, melainkan lewat perangkat kebijakan, indikator pembangunan, dan mekanisme insentif fiskal.
Teori-teori kekuasaan modern seperti yang dikemukakan Michel Foucault dalam Discipline and Punish menjelaskan bagaimana kekuasaan hari ini tidak lagi menindas secara terang-terangan. Ia bekerja melalui sistem, melalui apa yang tampak seperti kebijakan netral. Misalnya, sistem perencanaan pembangunan nasional yang “terintegrasi” melalui platform digital, atau instrumen dana transfer pusat yang mengatur prioritas daerah. Semua tampak rasional, tapi di baliknya ada logika pengawasan dan homogenisasi kebijakan yang meniadakan konteks lokal.
Contoh paling jelas dapat dilihat pada pemotongan dana transfer daerah untuk Aceh. Provinsi yang memiliki status otonomi khusus ini secara hukum berhak atas mekanisme fiskal yang lebih mandiri. Namun, kebijakan pusat yang menunda atau mengurangi transfer dana otsus dan DAU (Dana Alokasi Umum) atas nama penyesuaian fiskal justru menunjukkan gejala dominasi fiskal yang halus. Daerah dipaksa menyesuaikan prioritasnya dengan perintah pusat karena aliran dana menjadi alat kontrol. Dalam bahasa politik ekonomi, ini adalah bentuk fiscal dependency trap—di mana pusat menggunakan instrumen keuangan untuk menegaskan kekuasaan struktural atas daerah.
Giovanni Sartori menyebut sistem politik yang terlalu tersentralisasi sebagai over-integrated polity—sebuah kondisi di mana pusat memiliki kontrol normatif atas seluruh wilayah, hingga membunuh spontanitas sosial dan kreativitas politik daerah. Dalam konteks Indonesia hari ini, otonomi daerah secara formal masih hidup, tetapi otonomi substantif—yakni kemampuan daerah menetapkan arah kebijakan berdasarkan kebutuhan dan karakter lokal—semakin menyusut.
Kelemahan mendasar dari neo-sentralisme adalah matinya agency di level lokal. Pemerintah daerah kehilangan keberanian untuk berbeda atau berinovasi karena setiap langkah harus sesuai dengan narasi besar “visi nasional”. Dalam kerangka teori Anthony Giddens, ini bisa disebut structuration trap: ketika struktur negara begitu kuat sehingga agen lokal hanya bisa bergerak di dalam rel yang sudah ditentukan oleh pusat. Daerah tidak lagi menjadi laboratorium kebijakan, melainkan menjadi kepanjangan tangan dari kebijakan pusat yang bersifat seragam.
📚 Artikel Terkait
Dari sisi ekonomi-politik, neo-sentralisme juga menciptakan ketergantungan fiskal yang tinggi. Desentralisasi fiskal yang seharusnya memberikan ruang otonom bagi daerah untuk mengelola sumber daya justru berubah menjadi sistem transfer vertikal: pusat menentukan, daerah menunggu. Jean-Paul Fitoussi dan Joseph Stiglitz dalam kajian mereka tentang governance menegaskan bahwa sistem yang terlalu tersentralisasi menurunkan efisiensi jangka panjang karena mengabaikan informational advantage daerah—yakni pengetahuan lokal yang tidak dimiliki oleh pusat. Kasus Aceh memperlihatkan hal ini secara telanjang: daerah yang kaya sumber daya dan memiliki keunikan sosial justru kehilangan kemampuan untuk memutuskan arah fiskalnya sendiri karena struktur ketergantungan yang dipelihara pusat.
Lebih jauh, dari perspektif teori ruang publik Jürgen Habermas, demokrasi hanya bisa hidup jika ada deliberative sphere yang bebas dari dominasi kekuasaan administratif. Namun, neo-sentralisme hari ini justru mempersempit ruang itu. Diskusi publik di tingkat daerah—baik di DPRD, lembaga adat, maupun forum warga—tidak lagi menentukan arah kebijakan substantif, karena keputusan strategis sudah “diarahkan” dari pusat dengan alasan sinergi nasional. Demokrasi berubah dari proses diskursif menjadi proses teknokratis.
Bentuk kontrol modern ini juga memiliki wajah kultural. Negara kini membangun imaji “persatuan nasional” sebagai simbol moral yang tidak boleh digugat. Kritik terhadap kebijakan pusat sering ditafsirkan sebagai sikap anti-nasional. Padahal, sebagaimana diingatkan oleh Hannah Arendt, pluralitas adalah inti kehidupan politik. Ketika pluralitas digantikan oleh keseragaman arah, politik kehilangan maknanya dan berubah menjadi administrasi semata.
Akibat lanjut dari neo-sentralisme adalah menurunnya kepekaan terhadap perbedaan sosial, ekonomi, dan ekologis antarwilayah. Kebijakan pembangunan yang seragam sering kali gagal memahami karakter geografis dan kultural daerah. Dalam konteks Indonesia, hal ini tampak dari proyek-proyek nasional yang mengabaikan konteks lokal, seperti pemindahan ibu kota atau proyek strategis nasional yang dikelola tanpa partisipasi bermakna dari masyarakat setempat. Di sinilah muncul paradoks: atas nama pemerataan, negara justru memperkuat ketimpangan.
Maka, bahaya terbesar dari neo-sentralisme bukan hanya hilangnya otonomi administratif, melainkan hilangnya kesadaran kewilayahan—kemampuan suatu daerah untuk mengenali, menafsirkan, dan memperjuangkan kepentingannya sendiri dalam kerangka negara. Bila ini terus berlanjut, Indonesia berisiko menjadi negara yang secara formal demokratis, tetapi secara substansi mengalami repolitisasi kekuasaan ke pusat.
Dalam bahasa Chantal Mouffe, demokrasi yang sehat menuntut agonisme—yakni ketegangan produktif antara pusat dan daerah, antara kepentingan nasional dan lokal. Neo-sentralisme meniadakan ketegangan itu dan menggantikannya dengan keseragaman yang steril. Stabilitas yang dihasilkan mungkin tampak indah di permukaan, tetapi di bawahnya demokrasi kehilangan denyutnya.
Dengan demikian, tantangan terbesar bagi Indonesia hari ini bukan hanya melawan otoritarianisme klasik, tetapi memahami bentuk baru dari dominasi yang muncul lewat rasionalitas kebijakan. Neo-sentralisme adalah wajah baru kekuasaan yang halus namun efektif—dan karena itu, lebih berbahaya. Jika negara terus berjalan di jalur ini, kita tidak sedang menuju masa depan yang efisien, melainkan kembali ke masa lalu yang dirombak dengan bahasa modern: negara besar, rakyat kecil.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini

















