Dengarkan Artikel
Oleh Dayan Abdurrahman
Koperasi sejak lama digadang-gadang sebagai sokoguru perekonomian Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Melalui berbagai kebijakan, termasuk Instruksi Presiden (Inpres), pemerintah mencoba mendorong gerakan koperasi sebagai instrumen pemerataan ekonomi.
Salah satu inisiatif terbaru adalah gagasan pengembangan Koperasi Desa Merah Putih yang konon akan menjangkau hingga 80.000 unit di seluruh tanah air. Namun, muncul pertanyaan mendasar: sejauh mana pemerintah benar-benar berperan sebagai penggerak, bukan sekadar simbol, jika pendanaan hanya diberikan setelah koperasi berjalan mandiri dan menghasilkan keuntungan? Apakah skema ini realistis dan selaras dengan semangat Inpres yang notabene adalah instrumen strategis negara?
Data dari Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop, 2023) menunjukkan bahwa dari 127.124 koperasi aktif di Indonesia, hanya sekitar 31% yang benar-benar sehat dan beroperasi optimal. Di Aceh, misalnya, terdapat sekitar 6.800 koperasi (BPS Aceh, 2023), namun kurang dari 40% yang dinilai aktif dan berkelanjutan. Sebagian besar koperasi desa menghadapi masalah klasik: keterbatasan modal awal, lemahnya manajemen, dan rendahnya literasi keuangan anggota. Jika pemerintah berencana mendorong pembentukan koperasi baru tanpa skema dukungan awal—baik berupa modal, pelatihan, maupun akses pasar—risiko kegagalan akan sangat tinggi. Sejarah mencatat, banyak koperasi yang terbentuk hanya karena proyek atau dorongan politik, namun mati suri karena tidak mampu bersaing atau bertahan tanpa sokongan awal.
Logika kebijakan publik menuntut bahwa Instruksi Presiden seharusnya tidak hanya memerintahkan pembentukan, tetapi juga memastikan ekosistem dukungan. Tanpa itu, Inpres berpotensi menjadi instrumen administratif yang hanya menambah beban pengurus koperasi dan harapan palsu bagi masyarakat desa. Dalam konteks inisiatif Koperasi Desa Merah Putih, jika pendanaan hanya disalurkan setelah koperasi menghasilkan keuntungan, siapa yang bertanggung jawab menyediakan modal awal? Apakah pemerintah berharap pengurus mencari pinjaman ke bank dengan risiko bunga, sementara negara sekadar bertindak sebagai penonton yang baru hadir ketika keuntungan muncul? Pola seperti ini akan membuat masyarakat memandang pemerintah sebagai pihak yang hanya ingin menuai hasil, bukan berbagi risiko.
Kebijakan publik yang sehat seharusnya mempertimbangkan tahapan pertumbuhan koperasi. Berdasarkan studi Kemenkop (2022), koperasi baru biasanya membutuhkan 2–3 tahun untuk mencapai arus kas positif, tergantung pada jenis usaha dan kapasitas manajemen. Tanpa dukungan modal awal, kebanyakan koperasi akan gagal sebelum mencapai tahap tersebut. Bahkan, dari 10 koperasi baru yang terbentuk pada 2019–2020, 6 di antaranya tidak lagi aktif pada 2023 (Data BPS). Penyebab utama? Modal kerja yang tidak mencukupi dan minimnya akses pembinaan.
Pemerintah seharusnya belajar dari program sebelumnya, seperti Gerakan Koperasi Nasional pada 1970–an atau program revitalisasi koperasi 2014–2019, yang menunjukkan bahwa keberhasilan koperasi sangat ditentukan oleh kombinasi modal awal, pembinaan berkelanjutan, dan penguatan jaringan pasar. Tanpa itu, koperasi cenderung menjadi beban administrasi yang menambah angka statistik tetapi tidak berkontribusi signifikan pada ekonomi lokal.
📚 Artikel Terkait
Pertanyaan krusial lainnya adalah mengapa pemerintah memilih pendekatan Inpres jika pendanaannya bersifat pasif? Instruksi Presiden biasanya diterbitkan untuk kebijakan strategis yang melibatkan koordinasi lintas kementerian, anggaran negara, dan target jangka panjang. Jika skemanya hanyalah “koperasi dibentuk, lalu dibiarkan mencari modal sendiri, dan pemerintah datang setelah ada keuntungan,” maka fungsinya nyaris serupa dengan gerakan swadaya murni masyarakat. Dalam logika sederhana, masyarakat sebenarnya bisa membentuk koperasi tanpa perlu Inpres. Kehadiran Inpres hanya relevan jika negara benar-benar hadir dengan sumber daya: dana, regulasi pendukung, dan akses ke pasar nasional.
Di sisi lain, kritik terhadap pemerintah juga harus diimbangi dengan pengakuan terhadap keterbatasan anggaran negara. Risiko kerugian dalam pembiayaan koperasi bukanlah hal sepele. Data Kemenkeu (2021) menunjukkan bahwa lebih dari Rp1,2 triliun dana bergulir LPDB (Lembaga Pengelola Dana Bergulir) untuk koperasi belum kembali secara penuh, sebagian karena manajemen koperasi yang lemah. Oleh karena itu, kehati-hatian pemerintah bisa dimaklumi. Namun, jika kehati-hatian tersebut berujung pada minimnya peran negara pada tahap awal, masyarakat akan mempertanyakan tujuan sebenarnya dari gerakan Koperasi Desa Merah Putih. Apakah ini program pembangunan, atau sekadar proyek citra?
Solusi yang bisa dipertimbangkan adalah model hybrid pendanaan dan pembinaan. Misalnya, pemerintah menyalurkan hibah terbatas untuk modal awal (seed capital) yang hanya dapat digunakan untuk kebutuhan vital, seperti pembelian peralatan atau pelatihan anggota, sementara pembiayaan lanjutan bisa berbentuk pinjaman lunak dengan pengawasan ketat. Selain itu, kemitraan dengan BUMN atau sektor swasta bisa menjadi jalan tengah agar koperasi memiliki akses pasar yang pasti sejak awal. Pendekatan ini akan membuat peran pemerintah lebih substantif, bukan sekadar administratif.
Sebagai warga masyarakat yang mengamati fenomena ini, penting untuk menegaskan bahwa kritik terhadap program pemerintah bukan berarti menolak gagasan koperasi. Justru sebaliknya, koperasi adalah salah satu instrumen terbaik untuk memperkuat ekonomi desa, mengurangi ketimpangan, dan mendorong kemandirian. Namun, gagasan yang baik harus diikuti oleh desain kebijakan yang realistis dan adil. Pemerintah tidak bisa hanya “menggembor-gemborkan” target 80.000 koperasi tanpa komitmen sumber daya yang memadai. Jika tidak, masyarakat akan merasa bahwa koperasi hanyalah alat politik jangka pendek, bukan solusi jangka panjang.
Ke depan, transparansi program Koperasi Desa Merah Putih menjadi kunci. Publik berhak mengetahui berapa alokasi dana negara yang disiapkan, mekanisme penyaluran, serta standar keberhasilan yang digunakan. Data BPS dan Kemenkop perlu disajikan secara terbuka agar masyarakat bisa menilai efektivitasnya. Tanpa itu, kepercayaan terhadap gerakan koperasi akan terus menurun, dan koperasi hanya akan menjadi jargon tanpa substansi.
Pada akhirnya, sebagai pemerhati koperasi, saya percaya bahwa gerakan koperasi bisa berhasil jika ada kemauan politik yang nyata, desain kebijakan yang solid, dan dukungan masyarakat yang kuat. Pemerintah harus berani mengambil peran sebagai fasilitator sekaligus mitra, bukan sekadar penonton yang datang ketika keuntungan sudah terlihat. Dengan pendekatan yang lebih berimbang, Koperasi Desa Merah Putih bisa menjadi tonggak kebangkitan ekonomi desa, bukan sekadar catatan di atas kertas.
*Warga Desa Cot Paya, Aceh besar
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini















