Dengarkan Artikel
Klaim bahwa Indonesia menang diplomasi atas Amerika Serikat dalam kesepakatan dagang bebas pajak adalah bentuk baru dari donasi kebodohan politik. Sayangnya, banyak pendukung Prabowo yang menyambut narasi ini tanpa verifikasi maupun nalar. Ini mengingatkan kita pada fenomena serupa di masa Jokowi—di mana loyalitas emosional kerap menggantikan logika dan kajian kebijakan.
Francis Bacon pernah menyebut bahwa manusia mudah terjebak dalam “idola pikiran”—keyakinan yang dibentuk oleh kebiasaan, budaya, dan otoritas, bukan oleh rasionalitas. Apa yang kita saksikan hari ini adalah bentuk kontemporer dari itu: pendukung yang lebih mirip penonton teater politik, menonton tanpa tahu skrip, dan bahkan menolak berpikir tentang pesan moralnya.
Dalam kasus Prabowo, apa yang disebut kemenangan justru secara ekonomis adalah bentuk kekalahan. Tak ada satu pun teori ekonomi yang menyatakan bahwa pajak ekspor-impor 0% vs 19% adalah bentuk simbiosis mutualisme. Bila kita melihat melalui kacamata ekonomi Marx, apalagi ekonomi Pancasila yang kerap disebut tapi tak pernah dikonsep secara konkret, maka jelas Indonesia berada dalam posisi pecandu pada narkobanya.
Ini bukan semata kesalahan teknokratis. Ini adalah buah dari kebiasaan lama: senang dengan angka, tetapi tidak mengerti substansi di balik angka itu. Seperti dalam setiap musim pemilu, angka-angka kecil rupiah digelontorkan untuk membeli suara rakyat, yang kemudian digunakan untuk membungkam kritik atas kebijakan besar yang bermasalah.
Diplomasi Prabowo—hari ini ke Rusia, kemarin ke Cina, besok ke AS—adalah bentuk akrobat politik yang tak berdampak jangka panjang. Ini hanya menambah daftar panjang kebijakan simbolik yang miskin makna. Narasi kedaulatan hanya menjadi dekorasi dalam panggung boneka yang dimainkan oligarki. Dan Prabowo, dalam narasi ini, tampak lebih sebagai pemeran daripada sutradara.
Kita pun mulai melihat kerusakan sistemik pada cara berpikir masyarakat. Alih-alih membangun akal sehat dan logika yang sehat, banyak yang memilih jalan pintas: fanatisme. Loyalitas tanpa kritik. Bahkan dalam lingkungan akademik, cacat logika makin merajalela. Gelar tinggi tak menjamin kedalaman berpikir. Sebaliknya, seringkali justru menjadi tameng dari kemalasan intelektual.
Fenomena ini berbahaya. Karena pada akhirnya, kebijakan negeri akan diambil bukan berdasarkan rasionalitas publik, melainkan atas nama kepentingan segelintir elite yang memelihara kebodohan kolektif demi stabilitas kekuasaan.
Apa yang bisa kita lakukan? Kita perlu memulai jihad logika. Kita butuh revolusi epistemik di sekolah-sekolah, universitas, media, bahkan di warung kopi. Kita harus mendorong budaya berpikir kritis sejak dini, bukan sekadar mengejar nilai atau ranking. Kita harus mulai mencurigai angka, narasi besar, bahkan simbol-simbol nasionalisme yang tak berpijak pada realitas sosial.
Negeri ini terlalu besar untuk jadi panggung boneka. Dan rakyatnya terlalu berharga untuk dijadikan penonton teater tanpa naskah. Saatnya kita cabut tirai sandiwara, dan menyusun ulang panggung politik berdasarkan logika, akal sehat, dan etika.
Minumlah kopimu dan renungkan sejenak. Mengapa ilmu yang Anda miliki harus dilacurkan pada kekuasaan. Padahal, ilmu dapat menjadi kekuatan yang mengalahkan kekuasaan. Sudah banyak contoh historis dan empiris. Ilmu yang berkah akan menghadirkan negara yang berkah.
Generasi hari ini harus bebas dari fanatisme. Kita harus melawan para donatur kebodohan, entah itu media, akademisi, influencer, dan publik figur lainnya. Kita harus melakukan reset pabrik jika istilah gadget. Menginstal aplikasi yang benar-benar membantu kinerja otak. Bukan malah aplikasi yang membuat gadget lamban, dalan hal ini otak kita.
Suatu hari saat berjalan dari Pango ke Neusu saya pernah ditanya; “bukankah Indonesia memiliki banyak guru besar, mengapa mereka tidak mencerahkan malah sebaliknya?”. Pertanyaan itu mengganggu selera kopi pagi itu. Jalan diperlambat guna mencari jawaban, saat itulah muncul kata ‘moral’.Anda barangkali mudah meraih gelar guru besar akademik namun belum tentu dapat meraih gelar sarjana moral, apalagi guru besar. Kita boleh putus sekolah maupun tak pernah meraakan wisuda sarjana namun jangan pernah tidak lulus ujian moral. Meski idealnya, cerdas akademik dan moral.
Jawaban-jawaban itu menambah gairah ngopi pagi itu. Siapa dia yang memberi jawaban itu, pastinya saya jalan sendirian ditemani angin yang nakal dan binal.
Sampai di Neusu, jawaban sudah tersaji dan kopi mengeluarkan kepulan semangat dari gelas jernih, sejernih pikiran hari itu. Suara manusia diskusi seperti suara harapan dan kenyataan serta kepasrahan akan semakin bodohnya elit negeri. Ya sudahlah, setidaknya kopi hari itu tidak cacat rasa dan tidak dikukung idola rasa. Pertanyaan akhir cerita; “Apakah Anda yang punya gelar tinggi, dijuluki dengan beragam gelar intelektual, akan diam saja menyaksikan sistemiknya pembodohan?”. Dan apakah mitologi kemenangan diplomasi harus dianggap masuk akal?
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini






