Dengarkan Artikel
Oleh: Dr. Dayan Abdurrahman
Iran dalam Lanskap Geopolitik Islam Global
Jika ada satu negara di dunia Islam yang paling sering menjadi sasaran stigma dan pengucilan internasional dalam beberapa dekade terakhir, maka Iran menempati posisi terdepan. Pasca Revolusi Islam 1979, negara ini mengubah wajah perpolitikan Timur Tengah secara radikal.
Iran tidak hanya mengganti sistem pemerintahan monarki pro-Barat menjadi republik Islam, tetapi juga menantang tatanan global yang dikendalikan oleh negara-negara Barat dengan keberanian politik yang jarang ditemukan di dunia Islam kontemporer. Iran menempatkan dirinya sebagai simbol perlawanan terhadap hegemoni internasional, dan inilah yang membuatnya dikucilkan. Namun, pengucilan ini tidak semata-mata karena isu HAM atau nuklir sebagaimana narasi dominan yang beredar di media Barat. Pengucilan ini lebih karena sikap independen Iran terhadap dominasi kekuatan besar dunia dan upayanya membangun tatanan alternatif yang berbasis pada kemandirian nasional dan solidaritas umat Islam.
Pelajaran dari Ekonomi Perlawanan
Iran telah menghadapi sanksi ekonomi global selama lebih dari 30 tahun. Sanksi ini bukan hanya menargetkan sektor energi, perbankan, dan militer, tetapi juga berdampak pada kehidupan rakyat sipil, termasuk akses terhadap obat-obatan dan teknologi kesehatan. Namun, alih-alih runtuh sebagaimana yang terjadi di negara-negara lain yang menghadapi embargo, Iran justru mengembangkan model ekonomi perlawanan—sebuah konsep yang menekankan pada produksi lokal, inovasi teknologi, dan ketahanan pangan.
Hasilnya cukup mencengangkan: meskipun pertumbuhan ekonomi Iran sempat terkontraksi, data dari International Monetary Fund (IMF) dan World Bank menunjukkan adanya pemulihan secara bertahap dan konsistensi dalam investasi riset ilmiah dan pendidikan tinggi. Menurut Nature Index, Iran termasuk negara dengan pertumbuhan publikasi ilmiah tercepat di Asia Barat. Ini menunjukkan bahwa ketahanan sebuah bangsa tidak selalu ditentukan oleh koneksi global, tetapi oleh kapasitas internal untuk bertahan dan berkembang.
Tantangan Internal dan Hak Rakyat
Namun demikian, Iran bukan tanpa cacat. Gerakan sosial, terutama yang dipimpin generasi muda dan perempuan, terus menuntut reformasi di bidang hak sipil, demokrasi, dan kebebasan berekspresi. Kasus Mahsa Amini pada 2022 membuka luka sosial yang selama ini ditutup rapat dengan retorika stabilitas nasional. Pemerintah Iran perlu menjawab kritik ini dengan lebih inklusif dan humanis, bukan sekadar dengan narasi keamanan negara.
Dalam sistem politik mana pun, legitimasi tidak cukup dibangun dari kekuatan militer atau simbol agama, melainkan dari dialog dengan rakyat. Oleh karena itu, jika Iran ingin menjadi panutan dalam dunia Islam, maka konsistensi antara semangat revolusi dan perlindungan terhadap hak rakyat adalah keniscayaan yang tidak bisa ditawar.
📚 Artikel Terkait
Politik Mazhab dan Strategi Pemecah Belah
Salah satu faktor yang membuat Iran tetap dijauhi banyak negara Islam adalah perbedaan mazhab. Iran identik dengan Syiah, sedangkan mayoritas dunia Islam adalah Sunni. Perbedaan ini sering dieksploitasi oleh kekuatan eksternal untuk memecah belah umat Islam. Bahkan di internal dunia Islam sendiri, sentimen sektarian digunakan oleh elite politik untuk membangun loyalitas sempit dan menutup ruang kritik.
Padahal, Iran bukan satu-satunya negara Syiah. Irak, Libanon, dan bahkan komunitas Syiah di Afrika dan Asia Tenggara menunjukkan bahwa realitas mazhab bukanlah hal baru dalam sejarah Islam. Yang membuatnya berbahaya adalah ketika perbedaan mazhab dijadikan alat politik dan alasan untuk membenci sesama Muslim. Padahal, kita satu akidah, satu nabi, dan satu kitab. Maka, semestinya perbedaan ini dikelola dengan semangat ilmu, bukan dibakar dengan kebencian.
Iran dan Diplomasi Persatuan Islam
Iran melalui institusi seperti World Forum for Proximity of Islamic Schools of Thought telah mencoba mempromosikan dialog antar mazhab. Pesan-pesan dari para ulama Iran, termasuk Ayatollah Khamenei, sering menekankan pentingnya wahdatul ummah—persatuan umat Islam. Ini bukan slogan kosong, melainkan panggilan yang lahir dari kesadaran geopolitik bahwa musuh utama umat Islam bukanlah perbedaan internal, tetapi infiltrasi dan dominasi eksternal yang sistematis.
Sejarah telah membuktikan bahwa kolonialisme modern menjajah dunia Islam dengan memanfaatkan konflik internal. Kini, strategi itu dihidupkan kembali dalam bentuk perang proksi, perang identitas, dan ketergantungan ekonomi. Ketika umat Islam sibuk berkonflik tentang perbedaan mazhab, musuh dengan tenang menyusun strategi dominasi sumber daya, budaya, dan informasi.
Pecahnya Islam: Pintu Masuk Musuh Global
Disadari atau tidak, perpecahan dalam tubuh umat Islam adalah pintu masuk utama bagi kekuatan luar untuk merusak dan melemahkan dunia Islam. Pecahnya kekhalifahan, perang antar faksi Islam di Timur Tengah, serta saling tuding antara negara Muslim hanya menguntungkan pihak ketiga. Kasus Suriah, Yaman, Libya, dan Irak menjadi contoh nyata bagaimana perang sektarian membuka ruang intervensi asing.
Iran sering dijadikan kambing hitam, padahal aktor-aktor global dari luar Islam juga terlibat aktif dalam memperkeruh konflik. Maka, logika kita harus dibalik: bukan Iran yang menjadi sumber masalah, melainkan perpecahan umat Islam itu sendiri yang membuka jalan bagi krisis berulang.
Dalam konteks ini, Iran adalah peringatan sekaligus peluang: peringatan agar umat tidak lagi membiarkan perbedaan menjadi jurang, dan peluang untuk membangun ulang solidaritas Islam berbasis keadilan dan kedaulatan bersama.
Islam sebagai Titik Temu: Satu Tuhan, Satu Kitab, Satu Umat
Sudah saatnya dunia Islam menyadari bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada keseragaman, tetapi pada kemampuan mengelola keberagaman secara konstruktif. Jika kita sepakat bahwa Islam adalah agama bersama, maka sudah seharusnya Iran juga diakui sebagai bagian dari keluarga besar umat Islam. Meskipun ada perbedaan tafsir politik atau praktik keagamaan, kita tetap bersaudara dalam akidah yang sama. Dalam QS Al-Hujurat: 10, Allah menegaskan bahwa “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara dua saudaramu yang berselisih.” Ayat ini menjadi fondasi untuk membangun kembali jembatan ukhuwah yang telah lama runtuh.
Iran, dengan segala kompleksitasnya, adalah cermin dan pelajaran. Cermin bagi dunia Islam untuk melihat dirinya sendiri: apakah kita masih mampu menghargai perbedaan dan bersatu melawan ketidakadilan? Dan pelajaran bahwa selama kita terus memperbesar perbedaan dan mengecilkan persamaan, kita sedang membuka gerbang kekalahan. Islam tidak akan kuat jika umatnya terus saling membenci atas dasar sejarah yang tak pernah selesai. Sebaliknya, Islam akan kembali bangkit jika kita mulai merajut kekuatan baru berbasis kesamaan, keadilan, dan keberanian menghadapi musuh bersama.
Penutup
Maka, dalam konteks hari ini, mari kita belajar dari keberadaan Iran—bukan untuk mengagungkan negara, tetapi untuk mengambil hikmah dari keteguhannya dalam mempertahankan prinsip, identitas, dan perlawanan terhadap ketidakadilan global. Iran bukan tanpa salah, tetapi siapa pun yang jujur melihat peta geopolitik Islam saat ini tahu: selama umat Islam terpecah, tak ada kekuatan yang bisa menahan laju dominasi luar. Sudah waktunya kita memperbesar persamaan, dan mengecilkan perbedaan—sebelum perbedaan itu kembali dijadikan alat penghancur oleh musuh-musuh Islam dari luar.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini


















