Dengarkan Artikel
(Kisah Rohana Kudus)
Padang Panjang, 1910. Di ruang kecil bersusun buku dan majalah dari Hindia hingga Mesir, seorang perempuan muda membasahi ujung pena dengan tinta hitam pekat. Matanya menatap surat dari Manggopoh yang baru saja tiba—sepucuk kabar dari pejuang yang ditangkap karena berani.
“Namanya Siti,” gumam Rohana, suaranya pelan, namun mengeras di dalam hati. “Mereka menyebutnya perempuan perkasa. Tapi di surat kabar Belanda, ia hanya ‘penghasut’.”
Rohana Kudus meletakkan surat itu di meja, lalu mengambil kertas kosong. Tangannya menari di atas lembaran putih:
“Apakah membela suami dan tanahnya adalah kejahatan? Kalau begitu, setiap perempuan Minangkabau akan menjadi penjahat di mata tuan-tuan kulit putih.”
Ia tahu tulisannya akan mengundang amarah. Tapi ia lebih takut kalau diam. Rohana adalah putri dari Haji Muhammad Rasul, seorang ulama pembaharu. Tapi ia lebih suka pena daripada mimbar, lebih nyaman di antara rak buku daripada di panggung seremonial. Ia membuka sekolah perempuan pertama di ranah Minang, dan kini mendirikan surat kabar: “Soenting Melajoe.”
Lewat lembar-lembar itulah suara perempuan Minangkabau mengalir, bukan sekadar tentang dapur dan kebaya, tapi tentang tanah, hak, dan martabat.
Dalam satu artikel, Rohana menulis:
“Kalau Siti Manggopoh membawa golok di tangan, kami membawa pena di jari. Kalau dia dibungkam besi, kami melawan lewat huruf.”
Tulisan-tulisannya membuat geger. Di Padang, gubernemen menekan penerbit. Di surau-surau, para lelaki membicarakannya. Tapi banyak perempuan—murid, petani, janda, bahkan istri kontrolir Belanda—menggunting tulisannya dan menyimpannya seperti doa.
Suatu hari, Rohana menerima surat dari narapidana politik di Padang. Hurufnya gemetar, ditulis dengan arang:
“Saya dengar, tulisan engkau sampai ke Belanda. Jika benar, maka biarlah sejarah mencatat: ada dua perempuan dari Minangkabau, satu mengangkat senjata, satu mengangkat pena.” — Siti Manggopoh
Rohana menangis malam itu. Bukan karena sedih, tapi karena tahu: tulisannya telah menyeberangi jeruji, membelah penjajahan, dan menjadi jembatan bagi mereka yang terbuang.
Malam itu juga, ia menulis artikel terpanjangnya: “Perempuan dan Perlawanan”—sebuah tulisan yang kemudian menginspirasi pendirian sekolah-sekolah perempuan, dari Bukittinggi sampai Bengkulu.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini





