Dengarkan Artikel
Oleh: Dayan Abdurrahman
Ketika empat pulau — Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek — akhirnya dipulangkan kembali ke Aceh oleh Presiden Prabowo Subianto, bukan hanya tanah dan laut yang kembali, tetapi juga marwah dan harga diri rakyat Aceh. Kita patut bersyukur, karena sejarah dan logika akhirnya menang melawan kekeliruan birokrasi dan, siapa tahu, mungkin juga melawan permainan kekuasaan yang nyaris menggusur hak Aceh secara diam-diam.
Mari kita jujur: jika tak ada gejolak dari masyarakat, tokoh adat, DPR Aceh, dan bahkan reaksi nasionalis dari mahasiswa serta pengamat hukum tata negara, barangkali keputusan ngawur yang “menyerahkan” empat pulau ke Sumut itu tetap akan berjalan mulus. Tapi Aceh, dengan segala luka sejarah dan kesadarannya hari ini, tidak lagi bisa ditidurkan.
Aceh Menang, Indonesia Menang
Ada yang menyebut ini sebagai kemenangan Aceh. Tapi sesungguhnya, ini kemenangan untuk Indonesia juga. Sebab, bila sebuah kesalahan administratif (yang entah disengaja atau tidak) bisa mengalihkan wilayah tanpa dasar sejarah dan dialog yang adil, maka yang terancam bukan hanya Aceh — tapi seluruh struktur keadilan dalam negara ini.
Maka, kita layak bersyukur. Tidak hanya karena Aceh tak kehilangan wilayah, tapi juga karena kita menyaksikan satu momen langka: pusat mengakui kesalahan dan memperbaikinya. Sebuah pemandangan yang selama ini kita impikan, tapi jarang kita dapatkan — apalagi jika melibatkan mereka yang ‘kebetulan’ dekat dengan lingkaran kuasa dari Solo.
Ya, kita tidak bisa menutup mata. Beberapa pihak yang paling semangat ‘mengklaim’ pulau-pulau itu ke Sumatera Utara adalah mereka yang—kebetulan—punya garis langsung ke pusat kekuasaan. Atau mungkin terlalu percaya bahwa apa pun yang mereka inginkan akan dikabulkan, sebab mereka bagian dari “keluarga besar istana”.
Tapi Aceh bukan ladang kosong yang bisa diambil seenaknya. Bukan juga anak tiri yang bisa dikorbankan demi kalkulasi politik.
Sumut Harus Fair
Tentu saja, kita memahami jika sebagian pihak di Sumatera Utara merasa kecewa. Tapi fairness adalah inti dari republik ini. Kalau dari awal pulau-pulau itu sudah ada dalam peta Aceh, dan bahkan diakui bersama lewat SKB 1992, maka tidak ada alasan etis maupun legal untuk memindahkannya hanya karena koordinat digital yang salah di tahun 2008.
Sumut yang besar, bersejarah, dan penuh kebanggaan tentu tidak ingin dikenal sebagai provinsi yang mengambil milik tetangga karena kelengahan dokumen. Ini saatnya menunjukkan kedewasaan politik dan sportivitas. Mari kita ingat, mempertahankan yang benar bukan berarti melawan. Dan mengalah untuk yang sah, bukan berarti kalah.
📚 Artikel Terkait
Rakyat Aceh Bersorak, Tapi Tetap Waspada
Kita, rakyat Aceh, boleh bersyukur hari ini. Tapi jangan sampai euforia ini membuat kita lalai. Sebab kalau bukan karena tekanan publik dan pengawalan media, bisa saja pergeseran wilayah ini sudah sah secara de jure dan de facto. Kita harus tetap waspada: sejarah bisa dirampas bukan hanya dengan senjata, tapi juga dengan tanda tangan dan stempel pejabat.
Kemenangan ini harus jadi bahan bakar untuk menguatkan posisi Aceh sebagai daerah dengan hak otonomi yang harus dihormati. Jangan sampai narasi ‘kita semua NKRI’ dijadikan tameng untuk mengaburkan hak-hak wilayah yang sudah diatur dalam konstitusi dan sejarah.
Kekalahan Geng Solo?
Apakah ini kekalahan bagi Geng Solo dan lingkaran kekuasaan yang selama ini merasa segala sesuatu bisa diatur dari pusat tanpa konsultasi daerah? Mungkin tidak akan pernah mereka akui. Tapi satu hal pasti: rakyat menang, hukum menang, dan Aceh tak tunduk pada logika kekuasaan yang seringkali terlalu percaya diri.
Ini pelajaran penting bagi siapa pun yang duduk di kekuasaan: bahwa kesewenang-wenangan bisa dikoreksi, bahwa suara rakyat bisa menembus istana, dan bahwa satu provinsi di ujung barat Indonesia bisa memberikan perlawanan yang elegan dan bermartabat.
Penutup: Menjaga yang Telah Kembali
Kini tugas Pemerintah Aceh adalah menjaga wilayah yang telah kembali, membangun ekonomi pesisir, memberdayakan nelayan dan warga pulau, serta menunjukkan kepada Indonesia bahwa Aceh bukan hanya bisa mempertahankan haknya, tapi juga mampu mengelola amanahnya dengan bijak.
Dan bagi Sumut — mari bersaudara seperti sediakala. Karena pulau boleh kembali ke Aceh, tapi persatuan dan harga diri sebagai sesama anak bangsa harus tetap kita jaga.
Kita menang bukan karena mengambil, tapi karena mempertahankan yang memang milik kita.
Dayan Abdurrahman adalah warga Aceh, pengamat sosial-politik, dan penulis opini tentang marwah daerah dan keadilan republik.
–
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini


















