Oleh: Dayah Abdurrahman
Peneliti Independen Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
Arab Saudi sedang berada dalam fase transformatif yang sangat menentukan dalam sejarah modernnya. Di satu sisi, negeri ini tetap menjadi pusat spiritual umat Islam sedunia dengan keberadaan Mekkah dan Madinah sebagai dua kota suci. Di sisi lain, melalui inisiatif ambisius Visi 2030, kerajaan ini mendorong revolusi ekonomi, sosial, dan teknologi dengan proyek futuristik seperti NEOM.
Artikel ini akan membahas apakah Arab Saudi dapat mengelola wajah gandanyaโsebagai negara spiritual sekaligus negara modernโdengan tetap menjaga harmoni antara nilai-nilai tradisional dan tuntutan zaman.
Warisan Spiritual: Identitas Tak Tergantikan
Secara historis, Arab Saudi dikenal luas sebagai penjaga dua tanah suci. Setiap tahun, jutaan umat Islam dari seluruh dunia menunaikan ibadah haji dan umrah ke Mekkah dan Madinah, menjadikan Arab Saudi sebagai episentrum spiritual Islam global. Nilai-nilai keislaman tidak hanya melekat dalam sistem hukum dan sosial masyarakatnya, tetapi juga menjadi simbol kebanggaan nasional.
Data dari General Authority for Statistics Saudi Arabia (2023) menunjukkan bahwa sebanyak 2,4 juta jemaah haji dan 7 juta jemaah umrah datang ke Arab Saudi setiap tahunnya sebelum pandemi. Ini bukan sekadar angka ekonomi, tetapi juga menunjukkan kekuatan simbolik Arab Saudi sebagai โrumah spiritualโ umat Islam.
Lompatan Menuju Modernitas: NEOM dan Visi 2030
Bersamaan dengan citra religiusnya, Arab Saudi juga tengah menjalankan proyek-proyek futuristik untuk membangun kekuatan ekonominya di luar sektor minyak. NEOM, misalnya, adalah megaproyek kota pintar berbasis teknologi hijau senilai 500 miliar dolar AS yang dirancang untuk menjadi pusat riset, teknologi, dan wisata global.
Proyek ini diperkirakan akan memberikan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nonmigas Arab Saudi. Menurut laporan McKinsey & Company (2022), sektor nonmigas di Arab Saudi tumbuh sebesar 5,4% per tahun sejak diluncurkannya Visi 2030. Hal ini menunjukkan bahwa negara ini tidak lagi hanya mengandalkan kekayaan minyak, tetapi mulai merintis jalan menuju ekonomi berbasis inovasi dan pengetahuan.
Pandangan Edukasi dan Kultural: Antara Tantangan dan Peluang
Transformasi ini mengundang respons beragam, baik dari dalam maupun luar negeri. Beberapa pihak melihatnya sebagai langkah progresif yang perlu disambut. Akademisi seperti Dr. Huda Al-Abdullah, pakar pendidikan dari King Saud University, menyatakan bahwa modernisasi membuka peluang besar bagi generasi muda Arab Saudi untuk berkembang dalam ranah global, terutama dalam pendidikan STEM (science, technology, engineering, and mathematics).
Namun, ada pula kekhawatiran bahwa modernisasi yang terlalu cepat dan bertumpu pada model Barat dapat menggerus nilai-nilai kultural dan keagamaan yang selama ini dijaga ketat. Sebagian ulama dan pengamat budaya lokal menekankan pentingnya menjadikan Islam bukan sebagai โkorban modernitasโ, melainkan sebagai kerangka nilai yang memandu arah modernisasi.
Data Kualitatif: Persepsi Masyarakat
Hasil survei dari Arab Barometer (2022) memperlihatkan bahwa 68% warga Arab Saudi menyambut baik transformasi ekonomi dan sosial, namun 52% di antaranya juga menyatakan kekhawatiran bahwa nilai-nilai keislaman dapat terpinggirkan. Artinya, mayoritas masyarakat mendukung modernisasi selama tidak menghilangkan identitas religius.
Wawancara mendalam yang dilakukan oleh tim peneliti dari Middle East Institute juga menunjukkan adanya aspirasi masyarakat yang lebih bersifat moderat: mereka ingin Arab Saudi menjadi negara maju yang tetap berbasis pada nilai-nilai Islam, bukan negara sekuler ala Barat. Beberapa narasumber menyebut pentingnya โwasathiyyahโ (moderat) sebagai prinsip utama transformasi ini.
Menuju Integrasi Nilai: Harmoni atau Konflik?
Pertanyaannya, apakah mungkin Arab Saudi menjadi negara yang modern tanpa kehilangan ruh spiritualnya? Jawabannya tidak dapat dirumuskan dalam hitam-putih. Yang tampak adalah upaya untuk merumuskan model modernitas Islamiโyakni pendekatan pembangunan yang tidak menanggalkan nilai-nilai keislaman, melainkan mengintegrasikannya dalam struktur ekonomi dan sosial modern.
Kurikulum pendidikan baru yang diperkenalkan pada 2021, misalnya, telah menggabungkan materi sains modern dengan prinsip-prinsip Islam. Hal ini menunjukkan bahwa Arab Saudi tidak sedang menanggalkan identitasnya, tetapi sedang berupaya membentuk sintesis antara dua kutub: spiritualitas dan kemajuan teknologi.
Penutup: Menjaga Wajah Ganda sebagai Kekuatan
Arab Saudi saat ini sedang menulis ulang narasi kebangsaannya. Mekkah dan Madinah tetap menjadi simbol spiritual dunia Islam, sementara NEOM dan Visi 2030 menjadi simbol kekuatan masa depan. Kedua wajah ini bukanlah kontradiksi jika dikelola dengan bijak dan berkesadaran nilai.
Bagi dunia pendidikan dan kebudayaan, perjalanan Arab Saudi ini menjadi studi penting: bagaimana membangun peradaban yang tidak meniru Barat sepenuhnya, tetapi menciptakan jalan tengah yang harmonis dan berkarakter. Maka, modernitas dan spiritualitas bukan harus dipertentangkanโia dapat dirangkai menjadi jalinan nilai yang memperkaya arah pembangunan bangsa.