Dengarkan Artikel
Perdebatan hebat terjadi di meja kopiku. Meja kopi yang diisi oleh semua kalangan mahasiswa lintas universitas. Kami memperdebatkan antara fungsi organisasi hari ini sebagai apa. Kami saling bertukar sudut pandang, tapi tak mencela. Kami menyebutkan meja kopi tersebut dengan Perhimpunan Rakyat Merdeka (PRM).
Di tengah semakin menipisnya semangat perlawanan dalam dunia kampus, kita dihadapkan pada satu ironi besar: maraknya organisasi mahasiswa yang memakai nama “pergerakan”, namun seluruh aktivitasnya tak lebih dari praktik event organizer. Mereka suka mengemas seminar, pelatihan, dan perlombaan berlabel perubahan sosial, namun seuruhnya itu, pergerakan telah dijadikan komoditas. Isu hanya jadi tema, dan idealisme hanyalah janji sementara.
Organisasi semacam ini dibangun pada logika proyek, tak ada kesadaran kritis. Alih-alih membentuk kader yang peka terhadap isu sosial-politik, mereka lebih sibuk merancang proposal, mencari sponsor, dan mengejar engagement. Semua aktivitas mereka dirancang demi branding, bukan perjuangan. Tak ada perenungan ideologis, tak ada advokasi konkret, apalagi aksi makmum dari keresahan rakyat. Mereka nyaman dengan pencitraan, cukup puas dengan pujian di media sosial dan plakat penghargaan dari institusi.
Yang lebih ironis adalah mereka kerap menggunakan nama besar gerakan mahasiswa, menembak nama-tokoh-tokoh pergerakan, meminjam diksi perjuangan, dan mengaku diri sebagai representasi suara rakyat. Padahal, kehadiran mereka di tengah krisis demokrasi kampus, komersialisasi pendidikan, dan ketimpangan sosial nyaris tak terasa. Mereka menjadi lembaga yang steril dari konflik, aman dari tekanan, karena memang tak pernah benar-benar menyentuh hal-hal yang mengancam status quo.
Model organisasi seperti ini tumbuh subur karena ada ruang yang disediakan oleh birokrasi kampus dan iklim pragmatisme di kalangan mahasiswa itu sendiri. Banyak kampus lebih nyaman mendukung organisasi yang “tertib”, “produktif”, dan “tidak berisik” dalam arti tak mengganggu kebijakan kampus, tak menuntut keadilan, cukup hadir sebagai mitra pelaksana acara. Akibatnya, organisasi mahasiswa yang benar-benar kritis dan militan justru sering dipinggirkan, dicap radikal, atau dikriminalisasi.
Ini adalah bentuk banalitas pergerakan. Kita sedang menyaksikan bagaimana simbol-simbol perjuangan dikapitalisasi, dan idealisme dijual murah dalam paket sponsorship. Mahasiswa tak lagi diajak berpikir tentang rakyat kecil, buruh, petani, atau kebijakan pendidikan nasional, tapi lebih sibuk membahas konten, pencitraan, dan impresi.
📚 Artikel Terkait
Sudah saatnya kita membongkar kepalsuan ini. Mahasiswa harus berani membedakan mana gerakan sejati dan mana yang hanya replika kosong. Pergerakan bukan soal seberapa besar acara, tapi seberapa besar dampaknya pada kesadaran dan keberpihakan. Organisasi mahasiswa semestinya membentuk manusia merdeka, bukan pelaksana acara. Jika mahasiswa terus terjebak dalam mentalitas EO berkedok pergerakan, maka perlawanan akan mati sebelum sempat dilahirkan.
Kita harus merebut kembali makna organisasi mahasiswa—sebagai ruang pembebasan, bukan sekadar lembaga penyelenggara kegiatan. Perlu revolusi cara berpikir, reorientasi nilai, dan keberanian untuk melawan arus pragmatisme. Karena tanpa itu, kampus hanya akan jadi ladang produksi panitia, bukan pemimpin masa depan.
Kenapa ini bisa terjadi?
Karena orientasi banyak mahasiswa sudah bergeser: dari perlawanan menuju performa. Perjuangan dilihat bukan sebagai panggilan nurani, tapi sebagai “jalur prestasi”. Ruang-ruang organisasi yang dulu penuh perdebatan ideologis kini berubah jadi tempat rapat template proposal. Forum kaderisasi berubah jadi kelas motivasi. Dan diskusi politik digantikan workshop “public speaking untuk pemimpin”.
Sementara itu, suara-suara kritis makin dibungkam. Aksi massa dianggap usang. Advokasi dianggap membahayakan citra kampus. Dalam iklim seperti ini, organisasi EO berbaju pergerakan jadi pilihan aman. Mereka tidak mengganggu kekuasaan, tapi tetap bisa bicara soal “kepemimpinan muda dan kontribusi sosial” di panggung-panggung mewah yang ditonton rektorat.
Tapi sampai kapan kita akan terus menipu diri sendiri?
Mahasiswa harus bangkit. Harus berani berkata: “Kami bukan panitia, kami pelopor.” Organisasi mahasiswa bukan alat untuk menaikkan pamor individu, tapi ruang kolektif untuk melawan ketidakadilan. Kampus bukan pabrik sertifikat, tapi tempat lahirnya kaum tercerahkan.
Kalau kita biarkan pola ini terus berjalan, maka kita hanya sedang mencetak generasi pelaksana, bukan pemikir. Generasi yang cekatan bikin rundown, tapi gagap menyusun gerakan. Pandai menyusun proposal, tapi takut menyusun tuntutan.
Dan saat itu terjadi, gerakan mahasiswa akan benar-benar mati. Bukan karena dibungkam, tapi karena mereka sendiri memilih untuk diam.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini


















