Dengarkan Artikel
Oleh ReO Fiksiwan
„Kemiskinan bukanlah kurangnya karakter. Kemiskinan adalah kurangnya uang.” —Rutger Bregman(37), Humankind: A Hopeful History(2019).
„Kemiskinan bukanlah suatu kecelakaan. Seperti perbudakan dan apartheid, kemiskinan adalah buatan manusia dan dapat dihilangkan melalui tindakan manusia.” —Nelson Mandela(1918-2013).
Secara antropologi isu kemiskinan adalah persoalan klasik dan klise. Namun, sejak ide globalisasi muncul menyertai merkantelisme dan kapitalisme, kemiskinan jadi pangkal perujuk kemiskinan struktural dan kultural.
Struktural, berarti kemiskinan adalah tindakan. Kultural, berarti kebiasaan yang muncul dari perbuatan.
Yang pertama bisa dipetik dari Mahbub Ul Haq, Tirai Kemiskinan(YOI,1995) atau Asian Drama: an inquiry into the poverty of nations(1968), Gunnar Myrdal. Kedua, Five Families(1959), Oscar Lewis(1914-1970).
Akan tetapi, pada abad-20 tengah, antropologi kemiskinan di Asia Tenggara, oleh sosiolog S.H. Alatas, telah dikritik sebagai waham mitos pribumi malas produk kolonialisme(The myth of the lazy native, 1977).
Dengan kata lain, produk kemiskinan di Indonesia seperti baru saja diproyeksikan Bank Dunia(https://brief.id/bank-dunia-penduduk-miskin-indonesia-tertinggi-kedua-di-asean/), tentu struktural bisa mencapai angka fantastis 60,3%.
Alasannya?
Berdasarkan ambang batas garis kemiskinan negara berpendapatan menengah ke atas, Bank Dunia memproyeksikan jumlah penduduk miskin di Indonesia akan turun, yakni menjadi 58,7% pada 2025; 57,2% pada 2026; dan 55,5% pada 2027.
📚 Artikel Terkait
Melalui laporan tersebut, persentase penduduk miskin di Indonesia pada tahun lalu diketahui menjadi yang tertinggi kedua di antara negara-negara berkembang Asia Tenggara.
Sebagai perbandingan, tingkat penduduk miskin di Indonesia sebesar 60,3% hanya lebih rendah dari Laos sebesar 68,9%.
Tingkat penduduk miskin di Indonesia itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia sebesar 1,3%, Thailand sebesar 7,1%, Vietnam sebesar 18,2%, dan Filipina sebesar 50,6%.
Sebagai catatan, Bank Dunia tidak memasukkan data kemiskinan di Kamboja dan Myanmar.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terdapat 24,06 juta penduduk miskin di Indonesia per September 2024.
Angka itu mengalami penurunan 1,16 juta orang bila dibandingkan dengan 25,22 juta penduduk miskin per Maret 2024.
Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan angka ini merupakan 8,57% terhadap populasi di Indonesia.
Persentase ini juga mengalami penurunan 0,46% poin terhadap Maret 2024(https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/69681/bank-dunia-60-rakyat-ri-tergolong-miskin-tertinggi-ke-2-asean).
Proyeksi Bank Dunia tertanggal 29 April 2025 ini, mendadak meruak deras di ruang berita medsos(https://x.com/bospurwa/status/1917110021642719628?s=46&t=h5otWI7LEJVnYRZJH9tQgA).
Meski telah dinafikan kantor BPS, proyeksi kemiskinan (di) Indonesia dapat dirasionalisasi dengan krisis ekonomi — dari efisiensi, PHK, MBG hingga defisit APBN — oleh para ekonom eksper dapat „dipolitisir“ secara ilmiah.
Karena itu, proyeksi Bank Dunia bukan ihwal momok ekonomi semata. Tapi, bagaimana momok politik sebagai anak kembar kekuasaan, bisa menjelaskan itu secara komunikatif-konstruktif.
Kemiskinan, struktural maupun kultural, adalah wajah peradaban. Bukan kosmetik kekuasaan yang dengan mudah di-skincare dengan produk palsu bernama: policy.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini



















