Dengarkan Artikel
Oleh Afridal Darmi
Aku mengenal Agam lebih lama dari siapa pun. Sejak kecil, kami tumbuh bersama, berbagi mimpi, dan menghafal dunia dengan cara yang berbeda. Tapi seiring waktu, saat kami bersama-sama mencebur dalam perikehidupan orang dewasa, aku mulai melihat jurang yang semakin dalam antara kami. Dan sejak ia bergabung dalam sebuah organisasi politik, Agam yang dulu berpikir keras tentang apa itu keadilan dan memperjuangkannya dengan seluruh daya yang ia punya, kini hanya tertawa sinis saat kata keadilan itu disebut.
Aku melihat perubahan itu, dan aku bertanya-tanya, apakah ia benar-benar berubah, atau hanya mengungkap dirinya yang sebenarnya?
Baginya sekarang keadilan dan demokrasi, tak lebih daripada sekadar kata yang gemetar dalam mulut para penguasa. Ia dijunjung tinggi dalam pidato, disematkan dalam konstitusi, tapi dirusak dalam praktiknya. Demokrasi adalah ilusi yang dihidupkan agar rakyat merasa memiliki sesuatu, sementara yang berkuasa menggenggam kendali, tanpa pernah benar-benar memberikannya. Kekuasaan bukan sekadar alat, melainkan candu—bagi mereka yang sudah mencicipinya, tidak ada jalan kembali.
Agam kini memandang dunia sebagai segala sesuatu telah ada di tempatnya masing-masing: mereka yang berkuasa dan mereka yang diperintah. Ia meyakini bahwa rakyat butuh penguasa, bukan sebagai pelindung, tetapi sebagai tali kekang, agar mereka tetap tunduk. Ia tak melihat sistem ini sebagai ketidakadilan, melainkan sebagai hukum alam yang harus diterima.
Agam tumbuh menjadi yakin politik bukan soal kebenaran, melainkan kelicikan. “Lihatlah aku”, katanya, “bukan keturunan raja, bukan bangsawan, tetapi aku bisa naik ke derajat setinggi ini”. Ia sengaja berhenti di situ dan tidak membeberkan bagaimana ia mempelajari cara politisi berbicara, bagaimana mereka menipu dengan senyuman, bagaimana mereka mengendalikan orang banyak tanpa pernah terlihat memaksa.
Benar, ia tidak punya warisan darah biru, tetapi ia memiliki sesuatu yang lebih penting: kemampuan membaca kelemahan manusia dan menggunakannya sebagai pijakan.
Ia tidak memandang dunia sebagai sesuatu yang harus diperbaiki. Baginya, dunia sudah bekerja sebagaimana mestinya—selalu ada penguasa dan yang dikuasai, selalu ada mereka yang menuntut dan mereka yang harus melayani. Rakyat hanyalah gerombolan yang membutuhkan arahan, dan tanpa orang-orang seperti dirinya, mereka hanyalah massa tanpa bentuk, tanpa arah, tanpa daya.
Kekuasaan, menurutnya, bukanlah sesuatu yang direbut secara tidak adil. Itu adalah hak alamiah mereka yang cukup cerdik dan cukup kejam untuk mengamankannya.
Agam meyakini bahwa dunia ini adalah rantai makanan yang telah tertata sejak awal. Singa tidak pernah bertanya apakah ia berhak memangsa rusa. Ia percaya dirinya adalah bagian dari kasta penguasa, bukan karena takdir, tetapi karena kemampuannya untuk memahami cara kerja rantai itu. Jika ada yang harus menjadi budak, itu bukanlah kesalahan majikan, melainkan kelemahan budak itu sendiri.
Dunia ini milik mereka yang cukup kuat untuk menggenggamnya, dan mereka yang lemah tak lebih dari sekadar tanah yang diinjak.
Aku sering bertanya padanya, “Kau tak merasa bersalah?” dan ia hanya tersenyum, senyumnya itu menjawab bahwa aku baru saja menanyakan sesuatu yang bodoh.
“Salah? Salah itu apa? Dalam tatanan alam yang murni, salah dan benar itu tidak ada, yang ada hanyalah memakan atau dimakan. Rakyat di luar sana juga begitu. Yang kuat akan terus berkuasa, yang lemah akan terus diperintah. Kau bisa memilih di sisi mana kau berdiri, tapi kau tak bisa mengubah rantai ini.”
Aku hanya bisa tertawa pahit dengan jawaban itu. “Kau hanya mengulang dusta yang diwariskan sebelum kau,” jawabku perlahan, “dan suatu hari kelak, kau pun akan dilupakan seperti mereka yang pernah mengatakannya”.
Agam hanya mendengus. Menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecil, lalu kembali asyik ke gadget mahalnya.
Aku mendengar kata-katanya itu berulang kali, tapi aku tidak pernah bisa menerimanya. Aku ingin membantah, ingin mematahkan logika dinginnya, tapi di balik itu ada sesuatu yang lebih menyeramkan: keyakinannya. Ia tidak ragu, tidakgentar, tidak terbebani oleh apa pun. Ia berjalan dengan kepala tegak seolah dunia memang diciptakan untuk dikuasai olehnya.
Keyakinannya terbentuk, mengeras dan tak tergoyahkan. Bahkan ia yang dulu gigih memperjuangkan kejujuran dan menentang korupsi, kini bahkan tak hanya sekali dua diberitakan terlibat di dalam penggelapan dana negara. Toh, Ia seperti asap di dalam ruangan tertutup, selalu menemukan celah untuk keluar, meski sekecil apa pun.
Agam, sabahatku yang lurus dulu itu menjelma menjadi politisi yang memiliki kemampuan seekor ular yang mengganti kulit, setiap kali terpojok, ia muncul dengan wujud baru. Aparat penegak hukum tidak bisa menyentuhnya, ia menjelma menjadi bayangan di senja hari—tak pernah bisa benar-benar ditangkap. Setiap kali aparat mendekat, ia sudah lebih jauh dari yang dikira. Walau selalu ada pula orang di sekeliling Agam yang ditangkap dan dipidana dalam setiap kasus itu. Seakan-akan narapidana itu adalah dinding-dinding pelindung, perisai yang menyediakan dirinya dikorbankan agar Agam tak tersentuh.
Tapi ada satu hal yang selalu membuatku bingung: ibunya. Aku tahu bahwa Agam tidak menghormati perempuan itu sebagaimana seharusnya. Ia memperlakukan perempuan tua itu seperti seorang pelayan. Sebagaimana pandangannya tentang dunia, ia pun merasa sudah semestinya ibunya ada menjadi pelayannya, menyediakan segala sesuatu tanpa meminta apa pun.
Aku sering melihat ibunya menatap anaknya itu dengan mata yang penuh cinta, tapi juga dengan kelelahan yang mendalam.
Aku ingin bertanya padanya, “Ibu, mengapa kau tetap bertahan? Mengapa kau terus menyayangi anak yang bahkan tak melihatmu sebagai manusia?” Tapi aku tahu, aku tak akan mendapatkan jawaban yang memuaskanku. Aku harus memuaskan diri pada jawaban bahwa cinta seorang ibu tidak memiliki batasan yang sama seperti logika. Ia ingin Agam memahami, tapi ia juga takut jika ia melawan, maka Agam akan semakin menjauh, semakin membatu, semakin hilang dalam dunia yang menelannya.
Tapi di dalam hatiku perang tak henti-henti berkecamuk. Apakah cinta berarti mengorbankan harga diri? Apakah seorang ibu harus menerima bahwa anaknya melihatnya sebagai pelayan, hanya karena ia mencintai anaknya lebih dari dirinya sendiri?
📚 Artikel Terkait
Ibunya dengan sabar dan lembut berusaha mengajari Agam tentang pengorbanan. Tapi bagi Agam, pengorbanan adalah kelemahan. Bagi Agam, sikap ibunya yang melayani, memberi tanpa meminta, dan tetap tegak meski diinjak, bukanlah sikap yang membanggakan, melainkan kebodohan. Agam tidak ingin menjadi seperti ibunya—ia ingin menjadi seseorang yang diberi, bukan seseorang yang memberi. Dan dalam keyakinannya yang semakin membatu, ia tidak menyadari bahwa ibu yang selama ini ia anggap budak adalah alasan ia bisa berdiri tegak.
Suatu malam, aku ada di sana ketika ibunya akhirnya berbicara.
“Agam, janganlah kau pikir dunia ini hanya tentang menang dan kalah. Tentang siapa yang berdiri di atas dan siapa yang berlutut di bawah. Apa kau kira mereka yang berkuasa bisa hidup tanpa yang diperintah?
Seorang raja tetap butuh rakyat, sebagaimana seorang anak tetap butuh ibunya. Kau pikir kau berdiri sendiri, tapi kau bahkan tak sadar bahwa tanah yang kau pijak bukan milikmu, melainkan milik mereka yang telah menopangmu selama ini.”
Agam tidak langsung menanggapi. Ia hanya menghela napas, seakan bosan dengan perdebatan yang sama berulang kali. ” Ibu membicarakan keadilan seolah-olah itu nyata. Tapi di mana keadilan dalam hidup kita? Mengapa ayah, yang dulu begitu percaya pada rakyat, justru ditinggalkan oleh mereka? Mengapa orang baik justru jatuh dan diinjak? Aku hanya memilih untuk tidak menjadi korban.”
Ibunya menatapnya lama, seolah melihat sesuatu yang tak pernah ia pahami sebelumnya dalam diri anaknya. “Ayahmu tidak kalah karena ia baik, Agam. Ia kalah karena ia percaya bahwa dunia bisa lebih dari sekadar perebutan kekuasaan. Tapi itu bukan kesalahan. Itu adalah pilihan.
Ayahmu menolak menjadi benalu di pohon besar, perlahan menghisap kekuatan hingga akhirnya menguasai tuan rumahnya sendiri”.
Agam mendengus. Kata-kata itu bukan sekadar teguran, melainkan vonis. Matanya nanar memandang ibunya, seakan ia melihat orang tua itu untuk pertama kalinya. “Pandanglah aku ibumu ini sebagai simbol dari rakyat jelata yang selama ini kau anggap tak bernilai. Sadarlah, seseorang yang melupakan ibu dan tanah kelahirannya, yang mengkhianati asal-usulnya, pada akhirnya akan kehilangan segalanya”.
Agam tertegun, ia ingin membantah, tapi kulihat ia mengunci mulutnya, hanya gerahamnya yang kulihat mengetat. Dapatkah ia melihat wajah ibunya dalam semua yang ia abaikan? Pada wajah-wajah rakyat yang letih, dalam tangan-tangan yang terus bekerja tanpa pamrih, dalam suara-suara yang terus berharap meskipun tahu harapan adalah mata uang yang tak pernah bisa diuangkan?
Sejak kecil, ia mendengar bagaimana ayahnya, seorang aktivis yang kini hanya bayang-bayang dari idealismenya sendiri, yakin rakyat adalah akar dari segalanya. Tapi Agam juga melihat bagaimana ayahnya kalah, bagaimana idealisme itu dilumat oleh sistem yang lebih besar, bagaimana orang-orang yang percaya pada kebaikan hanya menjadi korban.
Dari pengalaman itu, Agam belajar satu hal: yang berkuasa bukan mereka yang benar, melainkan mereka yang cukup kejam untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Agam mengepalkan tangannya di meja. “Ayah terlalu naif, Bu. Ia percaya pada orang-orang yang sama yang menikamnya dari belakang. Aku belajar dari kesalahannya. Aku tidak akan membiarkan diriku jatuh seperti Ayah.”
Suara Ibunya sarat dengan kekecewaan saat berkata “Dan kau, anakku, telah memilih sebaliknya. Kau memilih untuk menjadi seperti orang-orang yang justru dulu ayahmu lawan.” Ibunya menghela napas, dan suaranya lebih lembut “Tapi kau keliru, Nak. Kau hanya terus mendaki tanpa melihat ke bawah. Nanti tiba saat kau mencapai puncak, kau akan menyadari bahwa tidak ada siapa-siapa di sana kecuali engkau dan bayanganmu sendiri.”
Ibunya berbalik meninggalkan Agam sambil menggenggam erat untaian tasbih di tangannya, melangkah ke arah sajadah yang terbentang di sudut rumah kecil itu.
Aku melihat sesuatu yang berubah di wajah Agam. Bukan kemarahan, bukan perlawanan, tapi sesuatu yang lebih dalam—sebuah celah kecil dalam tembok keyakinannya. Tapi seperti biasa, ia tidak mengakuinya. Ia hanya berdiri, mengambil jasnya, dan pergi tanpa sepatah kata pun.
Aku ingin meneriakinya. Aku ingin mengguncangnya, memaksanya untuk melihat bahwa ia telah menipu dirinya sendiri. Tapi aku tahu, Agam tidak bisa diubah oleh kata-kata. Ia terlalu dalam tenggelam dalam keyakinannya, terlalu jauh dari tempat di mana ia bisa memahami bahwa dunia ini bukan sekadar permainan kekuasaan. Aku bertanya-tanya, apakah suatu hari ia akan menyadarinya?
Malam itu, aku pergi dengan hati yang berat. Aku tahu, aku kehilangan sahabatku, bukan karena ia mati atau pergi, tapi karena ia telah menjadi sesuatu yang tidak bisa lagi kupahami.
Di hari-hari setelah itu aku semakin jarang bertemu Agam. Aku mendengar kabar tentangnya dari kejauhan. Tentang langkah-langkahnya yang semakin besar dalam dunia politik.Tentang pidato-pidato yang menggugah massa. Tentang bagaimana ia perlahan-lahan menjadi tokoh yang disegani dan ditakuti. Bahkan terpilih menjadi penguasa pada jabatan eksekutif nomor satu di sini.
Tapi ada yang aneh. Aku melihat sorot matanya di layar televisi, mendengar suaranya di radio, membaca namanya di koran-koran, dan aku tahu: ia semakin muram, semakin lelah.Aku ingin menemuinya, ingin bertanya apakah ia bahagia. Tapi aku tahu, ia takkan memberikan jawaban yang jujur, bahkan jika ia menjawabnya untuk dirinya sendiri.
Lalu suatu hari, seminggu setelah ibunya meninggal dunia, tanpa terduga aku melihatnya duduk sendirian di sebuah kafe kecil. Bukan dalam balutan jas mewah seperti yang biasa kulihat di layar, hanya berkaos merah seragam partainya. Bukan dalam sorotan lampu kamera, tapi dalam keheningan yang seolah menelannya.
Aku duduk di depannya tanpa bertanya, hanya menatapnya dalam diam. Ia menatap balik, lalu tersenyum kecil. “Kau masih sama seperti dulu,” katanya pelan.
Aku mengangkat bahu. “Aku tidak berubah. Tapi kau…”
Ia menghela napas berat. Matanya yang lelah menatapku”Mungkin aku sudah sampai di puncak dan menyadari bahwa di sana tak ada siapa-siapa.”
Aku menunggu, berharap ada lebih banyak kata yang keluar dari mulutnya, berharap ada pengakuan, penyesalan, atau sekadar tanda bahwa ia melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda sekarang. Tapi lama sekali ia hanya menatap cangkir kopinya, seolah sedang mencari sesuatu di dalam cangkir itu, mungkin sebuah jawaban, makna, atau hanya refleksi dirinya yang tak bisa ia temukan di cermin mana pun.
Seuntai tasbih kayu sederhana tergeletak di atas meja di samping cangkir kopi itu, tasbih almarhum ibunya.
“Pada hari Ibu berpulang. Aku jadi sadar tidak ada orang lain yang bisa mencintaiku lebih dari beliau” bisiknya, “dan setelah beliau pergi, sekarang tidak ada satupun orang yang mencintaiku lagi”.
Ia menggeserkan sendok kopinya di atas tatakan. Wajahnya murung dan berat. “Untuk pertama kalinya, aku merasa takut—bukan pada lawan politikku, bukan pada ancaman kehilangan kekuasaan, tetapi aku takut bahwa ketika aku akhirnya jatuh, tidak ada tangan yang akan menangkapku. Bahwa ketika aku dilupakan, tidak ada seorang pun yang akan meratapi.
Ia tersenyum sedih. Suaranya bergetar “Aku bahkan tak bisa lagi menghormati diriku sendiri. Dalam semua ambisiku, telah menjadi sesuatu yang cemar dan busuk. Mungkin sekarang aku sudah menjadi seperti yang kau katakan dulu.
Bahwa seseorang yang melupakan ibu dan tanah kelahirannya tidak sekadar kehilangan asal-usulnya, tapi juga kehilangan dirinya sendiri, terperangkap dalam bayang-bayang yang semakin menelan cahayanya sendiri.”
Ia mengusap matanya, lalu kembali hening menekuri cangkirkopinya.
Dan aku, seperti biasa, hanya bisa menyaksikan dari kejauhan, bertanya-tanya apakah bayangan yang selama ini menyelimutinya akhirnya mulai pudar, atau justru semakin pekat, hingga tak ada lagi cahaya yang bisa menembusnya. Sendirian
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini


















