Oleh Rosadi Jamani
Ramadan akan berlalu esok (31/3/2025). Hening. Lalu, di kejauhan, terdengar isakan lirih. Perlahan, suara tangisan pecah menjadi jeritan pilu yang menggema ke seluruh penjuru bumi. Orang-orang bersimpuh di tikar sajadah, menggenggam mukena dengan erat seolah-olah jika dilepaskan, mereka akan terhisap ke dalam pusaran kehampaan. Di sudut lain, seseorang menatap kalender dengan mata berkaca-kaca, menelusuri tanggal-tanggal yang telah lewat, berharap ada bug sistem yang membuat Ramadan diperpanjang. Sayangnya, waktu tetap kejam, terus berjalan tanpa ampun.
Kesedihan ini bukan sekadar kesedihan biasa. Ini adalah tragedi universal. Bulan Ramadan telah pergi, meninggalkan kita dengan kenangan indah yang terlalu cepat berlalu. Seperti hubungan cinta yang begitu hangat namun berakhir tanpa aba-aba, Ramadan mengajarkan kita tentang kehilangan yang mendalam. Tidak ada lagi suara azan maghrib yang dinanti seperti soundtrack kemenangan. Tidak ada lagi momen mistis di mana manusia mendadak berubah menjadi makhluk paling sabar di siang hari hanya untuk menjadi serigala lapar di malam hari. Kini, semua kembali seperti semula, orang-orang kembali makan tanpa jadwal sakral, kembali lupa bahwa sahur bukan hanya mitos, dan kembali menjadikan malam sebagai ajang begadang tanpa alasan spiritual.
Satu bulan yang lalu, kita semua memulai perjalanan suci ini dengan semangat membara. Target ditetapkan, khatam Al-Qur’an, sholat tarawih full set tanpa bolos, dan tentu saja, diet otomatis karena puasa. Tapi kenyataan berkata lain. Hari pertama masih semangat, hari ketiga mulai menghitung berapa hari lagi yang harus dijalani, hari ke-15 mulai berpikir apakah mungkin menukar puasa dengan saham spiritual di kehidupan selanjutnya. Lalu tibalah hari ke-29, ketika semuanya terasa seperti detik-detik terakhir dalam film kolosal, semua refleksi hidup terputar dalam slow motion. Apakah aku sudah cukup baik? Apakah puasaku diterima? Apakah mungkin Ramadan tahun depan akan sama indahnya?
Tangisan ini bukan sekadar tangisan. Ini adalah letupan emosi dari manusia yang mendadak menyadari bahwa dirinya akan kembali ke rutinitas duniawi yang membosankan. Tidak ada lagi atmosfer mistis yang membuat kita merasa lebih suci dari biasanya. Tidak ada lagi suara ceramah menjelang buka yang entah kenapa selalu mengajarkan kita hal-hal yang baru kita dengar meskipun kita sudah mendengarnya setiap tahun. Tidak ada lagi takjil gratis di masjid yang menyelamatkan banyak anak kos dari kebangkrutan.
Namun, di balik kepedihan ini, terselip harapan. Seperti pahlawan tersungkur di akhir film. Lalu, bangkit kembali di sekuel berikutnya. Kita tahu, Ramadan akan kembali. Kita akan menantinya dengan sabar, menghitung hari, berharap bisa bertemu lagi.
Selamat tinggal, Ramadan. Sampai jumpa lagi tahun depan.
Puasa berlalu, hati merana,
Air mata jatuh di tikar sembah.
Takjil gratis kini tiada,
Anak kos termenung di atas bedah.
Tarawih semangat, niat membara,
Hari pertama khatam setengah.
Kini Ramadan tinggal cerita,
Tersisa dosa dan dompet lengah.
Azan maghrib bagai simfoni,
Membuat hati melonjak girang.
Kini tinggal rindu di hati ini,
Menanti Ramadan di tahun datang.
Janji khatam tiga kali,
Nyatanya mushaf pun berdebu.
Kini Ramadan pergi kembali,
Rasa sesal mengikat kalbu.
camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar