Oleh Dr. Nurkhalis Muchtar, Lc.M.A
Banyak karya tulis para ulama nusantara dicetak dan diterbitkan di Kairo Mesir. Sebut saja Maktabah/Pustaka Bab al-Halabi yang memberikan porsi khusus untuk karya ulama Jawi/Melayu Nusantara. Jarak pustaka tersebut hanya beberapa puluh meter di belakang Masjid Al Azhar, tepatnya di seputaran Universitas Al Azhar Kairo, Mesir kawasan Meydan Husein.
Umumnya yang datang ke pustaka itu para penuntut ilmu dan peneliti. Bahkan ada berita yang menyebutkan ulama sekaliber Syekh Ali Jum’ah yang merupakan mufti senior Mesir lebih memilih cetakan pustaka Bab al-Halabi karena orisinilitas isinya yang masih sangat terjaga.
Para ulama nusantara masa yang lalu terkenal produktif dalam menulis. Di antaranya yang sering disebut sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia yaitu Syeikh Nawawi al Bantani dengan gelar “Sayyidul Ulamail Hijaz” setelah terbit karya monumentalnya Tafsir al Munir yang dicetak terakhir oleh Darul Kutub Ilmiyah Bairut.
Bila kita mundur ke abad 16 dan 17, akan ditemukan beberapa nama ulama dan cendekiawan Islam yang produktif. Seperti Syeikh Hamzah Fansuri dengan sentuhan sufistik yang kental, dan Syeikh Nuruddin al Raniry yang berasal dari Randir India dengan berbagai karya fikihnya yang berbobot.
Tidak ketinggalan dalam fase yang sama ulama moderat yang ahli tafsir Syeikh Abdurrauf Singkel atau Teungku Syiah Kuala dengan karyanya Turjuman al Mustafid, tafsir pertama di nusantara dalam bahasa Melayu. Syeikh Abdurrauf juga merupakan guru bagi Syeikh Yusuf al Makassari yang dianggap sebagai pahlawan bagi rakyat Afrika Selatan.
Pada abad selanjutnya 18 dan 19, muncul beberapa ulama yang dikenal produktif. Antara lain, Syeikh Abdussamad Palimbani dengan dua karyanya Sirus Salikin dan Hidayat Salikin. Dalam rentang masa yang sama di daerah Banjarmasin, hidup seorang Ulama besar fikih Syeikh Muhammad Arsyad al Banjari dengan karyanya Sabilal Muhtadin sebagai syarah untuk karya Syekh Nuruddin al Raniry yaitu Sirathal Mustaqim.
Pada abad ke 19 dan 20, estafet pena penulisan dilanjutkan oleh ulama-ulama yang kemudian lebih dikenal pada era kita sekarang. Sebut saja Syeikh Nawawi al Bantani yang karyanya mencapai 114 judul dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Adapula ahli hadis pertama Indonesia yang berasal dari Termas Pacitan yaitu Syeikh Mahfuz Termas dengan karyanya Manhaj Dzawinnazar, dan tidak ketinggalan ulama besar dari Sumatera Barat Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau yang pernah menjadi Khatib Mesjidil Haram dan Mufti Syafi’i pada masanya, dengan berbagai karyanya, salah satunya Annafahaat Syarah Waraqat.
Adapun penutup ulama nusantara yang karyanya dijadikan rujukan di berbagai belahan dunia adalah Syeikh Muhammad Yasin al Padani dengan 98 judul karyanya.
Khusus dalam bidang sanad hadis, Syeikh Yasin sebagai digelar Musnid Dunya, sebuah gelar yang tidak mudah dicapai. Di antara banyak muridnya, ada Syeikh Muhammad ‘Alawi al Maliki, Prof Ali Jum’ah mantan mufti senior Mesir, dan banyak lainnya. Bahkan ulama besar hadis Aleppo Syiria Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah sangat bangga menyebut Syeikh Yasin Padang sebagai gurunya, padahal Syekh Abu Ghuddah adalah Imam dalam dunia Tahqiq, murid dari Syeikh Muhammad Zahid Kautsari yang merupakan Maestro Tahqiq dunia Islam.