Karya Heri Haliling
Pada pesisir kau temukan perbatasan.
Menunduk dan lihatlah jejakmu di bawah.
Pasir? Itu butiran dari buanamu,
mampukah kau memilikinya?
Demi buih laut biru yang memunculkan awan menggiring dan mengayunkan kapal pada anjungan hingga buritan. Demi angin garam yang menyemai pipi semua hawa bermata sayu beku disepuh deru. Demi camar yang terbang dengan simbol kebebasan. Siang itu Zulaikha menunggu jemputan untuk tinggalkan kampung halamannya.
Sumpah! Cukup untuknya menahan. Di usia Zulaikha yang kini beranjak 20, rasa pahit macam apa yang belum ia cecap. Usia 6 tahun, bapaknya yang jadi nelayan hilang digulung gelombang. Apa yang berkesan darinya? Nihil! Hanya sekelebat wajah legam keras dengan tanda 3 jahitan di atas pelipis kanan sang ayah yang Zulaikha ingat.
Untuk emak sendiri, depresi tentu menyeruak dan menyesak. Akibat ini sang emak harus berjuang bertahan untuk membesarkan putrinya dengan melacur hingga usia Zulaikha remaja 15 tahun. Sudah itu karena penyakit hina, sang emak pun akhirnya meninggal dengan risiko dosa yang harus ia pikul di dalam kubur.