Oleh : T. Fajar Ilham
Sebenarnya, tulisan ini belum memiliki judul, hanya ada kerangka fenomena tentang kehidupan di Indonesia. Baru kemudian judul ini saya ambil dari Derrida yang berkesan untuk dimaknai sebuah kalimat yang ditinggalkan ayahnya. Kalimat ini kalau dalam bahasa Indonesia adalah: โMemperteguh kelangsungan hidupโ.
Siang itu, tepatnya pukul 11-40, sambil ngopi dan rokok dji sam soe di tangan kiri, dan sanger arabica sesekali di tangan kanan, sambil seruput aroma kopi khas Gayo, di usia 34 tahun ini Allah masih memberikan saya nikmatnya hidup, yaitu:โkesehatan dan kewarasanโ.
Sebagaimana biasanya, membaca adalah kesukaan, tetapi menulis adalah keterpaksaan, karena ini adalah sebuah keterpaksaan yang dipaksa oleh Mas Tabrani, akhirnya saya dengan keterpaksaan mencoba mengingat-ingat kembali tentang buku โResistance, Rebellion, and Deathโ, karya Albert Camu1s, di buku itu kalau saya tidak salah ia menawarkan refleksi mendalam tentang bagaimana manusia menghadapi penindasan, ketidakadilan, dan menghadapi kematian.
Dalam hal penindasan atas ketidakadilan penguasa, Camus mengajak masyarakat yang dikuasai untuk melakukan sebuah perlawanan terhadap tirani, ia mengatakan perlawanan ini bukan hanya soal untuk bertahan hidup, tetapi tentang mempertahankan martabat manusia, dan Camus juga menolak gagasan kekuatan (kekuasaan) dan kekerasan dapat membenarkan segalanya.
Jika kita kembali sejenak ke masa-masa perjuangan bangsa ini, sepertinya, dan itu memang terjadi terhadap masyarakat kita. Yaitu, militer adalah alat yang digunakan penguasa untuk menakut-nakuti rakyatnya, jika di zaman orde lama dan orde baru militer digunakan untuk membungkam lawan-lawan politiknya, dan setelah reformasi hal yang sama juga dilakukan terhadap mereka yang menyuarakan dan memperjuangkan keadilan.
Hal itu ditandai dengan kasus-kasus HAM yang tidak pernah mereka (pemerintah) selesaikan. Di saat ini, di masa yang mereka jargonkan Indonesia emas, terbalik menjadi Indonesia cemas. Keadaan ini terkait dengan perilaku mereka itu (pemerintah) yang bermanuver dengan manipulasi โbias kognitifโ yang sengaja mereka (pemerintah) lakukan dengan instrumen merakyat, dan itu mereka lakukan untuk mendapatkan predikat pemimpin populis.
Namun demikian, pada hari-hari ini. Apa yang terjadi dengan tagar โkabur aja duluโ? Jika kita membaca buku The Theory Moral Sentiments karya Adam Smith yang Ia takuti adalah ketika suatu negara terjadi sebuah fenomena, yaitu:โ kebiasaan orang untuk memuji mereka yang kaya, berkuasa, sambil pada saat yang bersamaan menghardik mereka yang miskin dan berkondisi lemah.
Sekarang coba kalian bayangkan, jika para pemimpin ormas itu lebih gemar untuk memuja mereka yang berkuasa dan mengemis kekuasaan sambil mengabaikan kerusakan moral yang terjadi akibat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Rocky menambahnya lagi itu sama juga seperti Universitas, yang semestinya menggali pemikiran,tetapi mereka lebih memilih menggali tambang. Dan sekarang itu meledak, timbul lagi pertanyaan setelah meledak itu bagaimana Indonesia kedepan.
Dalam menjawab persoalan ini, kita kembali kepada Albert Camus, Ia menekankan bahwa pemberontakan bukanlah tujuan akhir, melainkan proses untuk mencari makna. Ia tidak menawarkan solusi utopian, tetapi mengajak pembacanya untuk hidup dengan integritas di tengah kekacauan.
Dalam menghadapi kematian, sikap Camus terhadap hukuman mati. Ia menentangnya dengan argumen bahwa kematian yang disengaja oleh negara tidak hanya tidak manusiawi, tetapi juga gagal memberikan keadilan sejati.
Camus melihat hukuman mati sebagai simbol absurditas:โnegara mengklaim otoritas atas hidup, padahal hidup itu sendiri tidak memiliki makna absolutโ. Pandangan ini diyakini oleh para pembacanya, pemberontakan harus konstruktif, bukan sekadar saling menghancurkan.
Dalam buku โThe Myth of Sisyphusโ Camus mempertanyakan pertanyaan yang sangat fundamental: “Apakah hidup layak dijalani?” Sementara dunia ini tanpa makna inheren, ia menyatakan bahwa hidup adalah absurd. Tokoh mitologi Yunani, Sisyphus yang dikutuk untuk mendorong batu ke puncak bukit hanya untuk melihatnya menggelinding kembali, berulang tanpa akhir.
Itulah yang menjadi simbol absurditas ini bagi Camus. Namun, Camus tidak menyerah pada keputusasaan. Ia menyimpulkan bahwa kita harus “membayangkan Sisyphus bahagia,” menerima absurditas tanpa harapan palsu, dan hidup dengan penuh kesadaran serta pemberontakan terhadap ketidakbermaknaan.
Namun dalam hal absurditas kematian, sepertinya kopi saya terasa agak sedikit asam, karena jika kita membaca bagaimana ia mengulas metafora Sisyphus, kehidupannya di dunia tidak memiliki tujuan akhir. Saya berhenti sejenak sambil menghabiskan sebatang dji sam soe, dan mencoba melihat dalam perspektif Islam.
Dan pada kesempatan ini saya mengambil kesimpulan sementara bahwa jika Camus mengajak kita untuk menghadapi hidup dengan keberanian, sementara Islam memberikan kompas untuk menavigasi absurditas yang dirasakan melalui iman, sabar, dan harapan akan keadilan akhirat. Jika Sisyphus adalah metafora, maka dalam Islam, ia akan diundang untuk meletakkan batu itu, pulanglah ke kerajaan-Ku disini tempat kediamanmu yang sesungguhnya, yang Camus sendiri mungkin tidak mempercayainya.
Catatan redaksi : “Affirmez la Survie” adalah frasa dalam bahasa Perancis yang berarti “Afirmasi Kelangsungan Hidup” atau “Mengafirmasi Kelangsungan Hidup”.Frasa ini dapat memiliki makna yang berbeda-beda tergantung pada konteksnya, namun secara umum, frasa ini digunakan untuk menekankan pentingnya mengakui dan menghormati hak untuk hidup dan kelangsungan hidup. Dalam konteks HAM (Hak Asasi Manusia) digunakan untuk menekankan pentingnya mengakui dan menghormati hak untuk hidup dan kelangsungan hidup sebagai hak asasi manusia yang fundamental.
- Resistance, Rebellion, and Death” adalah kumpulan esai yang ditulis oleh Albert Camus. Karya ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1960. โฉ๏ธ