Oleh: Azharsyah Ibrahim
Beberapa waktu lalu, media di Tanah air santer membicarakan tentang penangguhan gelar doktor Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM Kabinet Merah Putih. Bukan hanya media, tetapi juga masyarakat Umum. Kasus ini membuka diskusi lebih luas tentang kualitas dan integritas pendidikan tinggi di Indonesia. Masalahnya bukan hanya tentang gelar atau prestise akademik semata, melainkan menyangkut fondasi pendidikan yang menjadi dasar kemajuan bangsa.
Mengutip pernyataan legendaris Nelson Mandela yang dipasang di pintu masuk University of South Africa: “Destroying any nation does not require the use of atomicbombs or the use of long-range missiles; it only requireslowering the quality of education and allowing cheating in theexaminations by the students. Patients die at the hands of suchdoctors. Buildings collapse at the hands of such engineers. Money is lost at the hands of such economists andaccountants. Humanity dies at the hands of such religiousscholars. Justice is lost at the hands of such judges. The collapse of education is the collapse of the nation”.
Fondasi Rentan Pendidikan Kita
Pendidikan merupakan fondasi utama sebuah negara. Melalui pendidikan, lahir generasi yang memegang peran vital dalam membentuk masa depan bangsa. Negara-negara maju menunjukkan bahwa kemajuan mereka sangat bergantung pada kualitas pendidikannya. Sebaliknya, negara-negara yang terbelakang sering kali memiliki sistem pendidikan yang rapuh.
Di Indonesia, permasalahan terkait kualitas pendidikan sudah lama menjadi keluhan masyarakat. Ketidakmerataan kualitas sekolah, minimnya fasilitas pendidikan, hingga rendahnya kualitas tenaga pengajar adalah masalah yang berulang kali disorot.
Pada tingkat pendidikan tinggi, kita juga dihadapkan dengan isu-isu seperti plagiat, jual-beli gelar, hingga kelalaian dalam menjaga standar akademik. Kasus Bahlil hanyalah salah satu cermin dari masalah yang jauh lebih besar.
Kualitas pendidikan bukan hanya soal kurikulum atau sarana, tetapi juga soal nilai-nilai moral yang ditanamkan. Pendidikan yang baik harus membentuk karakter siswa yang jujur dan bertanggung jawab. Namun, ketika praktik kecurangan dibiarkan terjadi dalam proses pendidikan, mulai dari menyontek hingga manipulasi nilai, kita tidak hanya merusak individu, tetapi juga masa depan bangsa.
Kebijakan Afirmasi dan Dampaknya
Nelson Mandela secara tegas menolak sistem afirmasi atau kuota dalam pendidikan, pemerintahan, dan sektor swasta. Baginya, sistem ini justru akan merusak bangsa dengan menurunkan standar kualitas. Pandangan serupa juga diungkapkan oleh Mahathir Mohammad, mantan Perdana Menteri Malaysia, yang dalam bukunya The Malay Dilemmamengkritisi dampak negatif kebijakan afirmasi di negaranya.
Di Indonesia, kebijakan afirmasi yang mengutamakan kuota atau afiliasi tertentu tanpa memperhatikan kualitas juga patut kita tinjau kembali. Apa gunanya memberikan akses pendidikan, jika kualitasnya tidak terjamin? Sebagai gantinya, kita harus membangun sistem yang berlandaskan meritokrasi, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang berdasarkan kemampuan dan usaha, bukan karena latar belakang atau koneksi. Agar itu tercapai, penting bagi kita untuk menyediakan fasilitas yang setara bagi seluruh anak bangsa, baik yang berada di kota, maupun di pelosok. Dengan begitu, mereka dapat berkompetisi secara adil.
Penerapan kebijakan afirmasi di beberapa sektor, termasuk pendidikan, telah menimbulkan sejumlah masalah, seperti kecurangan akademik dan rendahnya standar kualitas lulusan. Mereka yang diuntungkan oleh kebijakan ini sering merasa tidak perlu berusaha keras, karena sudah ada “jaminan” berdasarkan afiliasi mereka terhadap kelompok tertentu. Di sisi lain, pihak yang menguji pun tidak selalu melakukan penilaian dengan serius, karena peserta tersebut sudah diprioritaskan melalui sistem afirmasi.
Akibatnya, standar pendidikan terus menurun. Hal ini membawa risiko besar dalam jangka panjang. Generasi yang tidak mendapatkan pendidikan berkualitas, tidak akan mampu menjalankan tugas-tugas penting di masyarakat. Bayangkan jika kita memiliki dokter, insinyur, atau hakim yang tidak kompeten akibat lahir dari sistem pendidikan yang cacat. Ketidakmampuan mereka tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga membahayakan masyarakat secara luas.
Korupsi dalam Pendidikan
Salah satu ancaman terbesar bagi pendidikan kita adalah korupsi. Korupsi ini hadir dalam berbagai bentuk, mulai dari suap untuk masuk sekolah atau universitas favorit hingga jual-beli ijazah. Lebih buruk lagi, korupsi juga merambah pada proses akademik, di mana gelar bisa diperoleh tanpa mempertimbangkan kualitas dan prestasi.
Fenomena jual-beli ijazah atau plagiarisme yang dibiarkan tanpa sanksi jelas adalah bentuk nyata dari korupsi dalam pendidikan. Ketika pendidikan diperdagangkan, kesempatan yang seharusnya diperoleh berdasarkan meritokrasi tergeser oleh kemampuan finansial. Mereka yang mampu secara finansial mendapatkan akses pendidikan tanpa harus melalui proses akademik yang adil, sementara mereka yang tidak mampu tertinggal, meskipun berpotensi lebih baik. Akibatnya, kita gagal menghasilkan lulusan yang benar-benar berintegritas.
Reformasi Sistem Pendidikan: Perubahan dari Akar
Memperbaiki pendidikan Indonesia harus dimulai dari reformasi kebijakan pendidikan itu sendiri. Kebijakan yang ada harus fokus pada peningkatan kualitas, bukan hanya kuantitas lulusan. Pemerintah perlu memberi perhatian lebih pada kualitas pengajaran, kurikulum yang relevan dengan kebutuhan zaman, serta peningkatan fasilitas pendidikan di seluruh pelosok negeri.
Selain itu, korupsi dalam pendidikan harus diberantas. Mulai dari proses penerimaan siswa hingga pemberian gelar akademik, setiap tahap harus dilakukan secara transparan dan adil. Pemerintah harus memastikan sanksi tegas bagi siapa pun yang terlibat dalam kecurangan akademik, baik mahasiswa, dosen, maupun pihak universitas.
Mengembalikan Nilai Integritas dalam Pendidikan
Selain perubahan kebijakan, pendidikan karakter harus menjadi salah satu fokus utama. Pendidikan bukan hanya tentang mengasah kecerdasan intelektual, tetapi juga membentuk karakter yang jujur, disiplin, dan memiliki tanggung jawab sosial. Jika kita hanya berfokus pada aspek akademik tanpa memperhatikan nilai-nilai moral, kita akan menghasilkan generasi yang cerdas secara intelektual, tetapi kosong secara moral.
Nelson Mandela tidak hanya menekankan pentingnya pendidikan berkualitas, tetapi juga integritas dalam proses pendidikan itu sendiri. Ketika kecurangan merajalela, kita sebenarnya sedang membangun generasi yang rusak. Bangsa yang lahir dari generasi tanpa integritas akan sulit mencapai kemajuan.
Pendidikan sebagai Investasi Jangka Panjang
Kasus Bahlil dan berbagai masalah terkait pendidikan seharusnya menjadi momentum bagi kita untuk melakukan introspeksi. Bagaimana kondisi sistem pendidikan kita saat ini? Apakah kita sudah berada di jalur yang benar untuk mencetak generasi yang siap memimpin bangsa ini ke arah yang lebih baik? Ataukah kita justru membiarkan pendidikan kita runtuh secara perlahan?
Pendidikan adalah investasi jangka panjang bagi kemajuan bangsa. Kualitas pendidikan yang buruk hari ini akan menciptakan masa depan bangsa yang suram. Kita harus segera melakukan reformasi yang mendasar, memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada, dan memastikan setiap generasi mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan berintegritas. Jika kita ingin menyelamatkan Indonesia, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah menyelamatkan pendidikan.