Dengarkan Artikel
Oleh Rosadi Jamani
Dunia politik Indonesia memasuki era agung. Era yang belum pernah ada presedennya. Mahkamah Konstitusi, lembaga terhormat itu, telah mengetukkan palu, menghancurkan dinding tebal bernama ambang batas presiden. Tahun 2029, setiap partai peserta pemilu, besar atau kecil, kaya atau melarat, berkuasa atau hanya punya tiga baliho di gang sempit, berhak mengusulkan calon presiden. Semua.
Bayangkan, Wak! Di sebuah aula besar dengan lampu gantung yang berkilauan, berdiri Ketua MK Suhartoyo. Ia membaca putusan dengan suara lantang, seperti seorang nabi yang menyampaikan wahyu. Di sudut ruangan, para pengurus partai kecil menangis terharu, tangan terangkat ke langit, sambil berkata, “Akhirnya, giliran kita.”
Di luar gedung, seorang analis politik berbisik pada rekannya, “Kita akan punya 30 calon presiden. Atau mungkin lebih.” Yang lain menanggapi dengan getir, “Ini bukan pemilu. Ini festival. Panggung hiburan dengan tiket masuk gratis.”
Di pasar-pasar, rakyat mulai membicarakan kemungkinan-kemungkinan baru. Pak RT yang dulu cuma jadi ketua panitia lomba 17-an kini punya peluang menjadi presiden. Ketua partai yang kantornya di garasi juga mulai bermimpi punya ajudan dan mobil dinas. “Kenapa tidak?” katanya sambil memandangi kalender di dinding. “Tuhan Maha Adil, MK lebih adil lagi.”
Lalu bagaimana dengan pemilu itu sendiri? Sebuah pertunjukan epik tengah dirancang. Bukan lagi sekadar debat dua pasang calon dengan pertanyaan basi. Tidak. Pemilu 2029 akan menjadi parade kandidat, sebuah kabaret politik penuh warna dan retorika. Di layar kaca, akan ada lima puluh debat dalam satu musim, masing-masing menampilkan janji-janji baru yang terbuat dari angan-angan, mimpi, dan ilusi.
📚 Artikel Terkait
Kita akan menyaksikan kertas suara sepanjang novel. Slogan-slogan yang memusingkan. Wajah-wajah penuh harapan menghiasi baliho, dari ujung desa hingga pusat kota. Jangan heran jika nanti seorang supir ojek online tiba-tiba berkata, “Ini kartu nama saya. Jangan lupa pilih saya sebagai cawapres.”
Namun jangan salah, ini bukan sekadar absurditas. Ini adalah puncak demokrasi, versi lokal kita. Di mana semua orang bisa bermimpi. Di mana setiap partai, tak peduli seberapa kecil, punya peluang mencetak sejarah.
Tentu, ada yang sinis, yang berkata ini hanya menambah keruwetan. Tapi bukankah keruwetan itulah inti dari politik? Sebuah panggung tempat ambisi, absurditas, dan drama bercampur menjadi satu.
Ketika hasil akhirnya diumumkan, ketika satu dari tiga puluh calon berhasil naik ke kursi kepresidenan, mungkin kita akan menoleh ke belakang dan berkata, “Tahun 2029 adalah tahun paling lucu dan paling megah dalam sejarah republik ini.”
MK, dengan senyuman kecil di bibirnya, akan berkata, “Kami hanya memberi semua orang kesempatan.”
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini

















