Oleh: Siti Radha Novarianti
Semester 5, Prodi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh
Fenomena pengemis yang berdandan sebagai badut di Banda Aceh kini semakin sering dijumpai. Salah satunya adalah pria berusia sekitar 40 tahun yang biasa terlihat beroperasi di Simpang Dodik, Jl. Cut Nyak Dhien, Lamtemen Barat, Kecamatan Jaya Baru. Pria tersebut mengenakan kostum badut lengkap sambil berjoget diiringi musik dari speaker kecil, berharap belas kasih dari pengendara yang melintas.
Pria tersebut mulai mengemis sebagai badut jalanan pada tanggal 29 September 2024, di salah satu lokasi ramai di Banda Aceh, yaitu Simpang Dodik. Ia sering kali terlihat pada jam-jam sibuk, ketika banyak kendaraan berhenti di lampu merah. Pria ini memilih menjadi pengemis badut karena kondisi fisiknya yang terbatas.
Dulunya, ia bekerja sebagai tukang bangunan, namun harus berhenti setelah mengalami kecelakaan kerja yang membuatnya tak lagi mampu mengangkat peralatan berat. Atas saran seorang teman yang juga berprofesi sebagai badut
jalanan, ia menyewa kostum dan mulai bekerja di jalanan untuk menghidupi istri dan anaknya yang masih kecil. Penghasilan istrinya sebagai penjual donat hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ketika ditanya lebih lanjut tentang lokasi dan biaya penyewaan kostum, pria tersebut
enggan memberikan informasi. Ketika disarankan pekerjaan yang lebih ringan, ia menjelaskan bahwa usianya yang tak lagi muda serta pendidikan yang hanya sampai tingkat sekolah dasar menyulitkannya dalam mencari pekerjaan lain. Menurutnya, menjadi badut jalanan adalah satu- satunya pilihan yang memungkinkan saat ini.
Kepala Dinas Sosial Aceh, Muslem Yacob, di Media Haba Aceh, 2024, menyatakan keprihatinannya terhadap semakin maraknya pengemis di wilayah Aceh, baik yang bekerja sendiri maupun dalam jaringan. Muslem mengatakan bahwa fenomena ini memerlukan kajian mendalam. โFenomena ini meresahkan
pikiran saya, menjamurnya pengemis di berbagai tempat, baik itu jaringan maupun calo. Hal ini tentunya perlu kajian mendalam,โ kata Muslem dalam keterangannya, Sabtu (13/1).
Sementara itu, Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kota Banda Aceh, Marzuki, pada Rabu (4/7/2024) menjelaskan beberapa langkah yang telah dilakukan untuk menangani gelandangan dan pengemis (gepeng) di Banda Aceh. โKami melakukan patroli rutin seminggu
dua kali di area yang sering dijadikan tempat beroperasi gepeng. Kami juga bekerja sama dalam operasi penertiban yang dilakukan Satpol PP dan WH Banda Aceh, serta berkoordinasi dengan
Dinas Syariat Islam Banda Aceh untuk sosialisasi melalui dakwah dan mimbar Jumat. Selain itu,kami juga berkoordinasi dengan Dinsos Aceh untuk langkah penertiban lebih lanjut,โ ujarnya.
Marzuki menambahkan bahwa hampir setiap hari Satpol PP dan WH menyerahkan gepeng kepada Dinsos untuk diberikan pelatihan. โSesuai laporan yang kami terima dari rumah singgah, hampir setiap hari pihak Satpol PP dan WH menyerahkan gepeng untuk mengikuti pelatihan,โ
jelasnya. Para gepeng tersebut menjalani pelatihan yang mencakup aspek fisik, mental, dan spiritual di rumah singgah di Gampong Lamjabat, Kecamatan Meuraxa. Berdasarkan hasil penilaian, mereka akan dikembalikan ke keluarga masing-masing atau dirujuk ke Dinsos Aceh untuk pelatihan lanjutan di Rumoh Sejahtera Beujroh Meukarya (UPTD RSBM) di Ladong,
Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar.
Menurut data dari Dinas Sosial, jumlah pengemis di Banda Aceh memang meningkat, terutama sejak pandemi COVID-19 yang menyebabkan banyak warga kehilangan pekerjaan.
Untuk mengatasi masalah ini, Dinsos tengah mengembangkan program bantuan sosial dan pelatihan keterampilan bagi warga rentan agar mereka dapat memperoleh peluang kerja yang
lebih layak dan tidak bergantung pada kegiatan mengemis di jalanan. Diharapkan, upaya ini akan mengurangi jumlah pengemis, termasuk yang berdandan sebagai badut, di masa mendatang.(Dinas Sosial Aceh, 2024).