Oleh Zulkifli Abdy
LIMA tahun yang lalu, pada Pemilu 2019 rakyat Indonesia terbelah karena politik identitas, sehingga melahirkan istilah Cebong dan dan Kampret.
Pada Pemilu 2024, keterbelahan akibat politik relatif tidak terjadi, karena para pihak yang mengikuti kontestasi berada pada posisi yang sudah saling bertukar, sehingga ruang keterbelahan lima tahun yang lalu itu menjadi relatif sepi. Yang dulu Cebong, sekarang sudah berada di posisi Kampret, demikian pula sebaliknya.
Tetapi berbeda dengan Pemilu 2019, pada Pemilu 2024 yang baru saja berlalu, terlalu banyak “keanehan” yang terjadi, mulai proses sampai pada hari pemilihan. Kondisi tersebut telah memantik kegaduhan di tengah masyarakat, yang akhirnya menyita energi demokrasi di negeri ini.
Hal mana setidaknya dimulai dari politik cawe-cawe, dan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kontroversial, serta issu kecurangan yang merebak pasca pemilihan yang masih memerlukan pembuktian.
Kondisi ini telah menimbulkan gejolak politik atau bahkan “tsunami” demokrasi yang berkepanjangan. Dimana masing-masing Paslon yang merasa diperlakukan tidak adil, membawa segala persoalan terkait dengan Pemilu 2024, mulai dari proses pencalonan hingga hari pemilihan ke Mahkamah konstitusi.
Pilihan ini diapresiasi oleh berbagai kalangan, termasuk para tokoh bangsa, intelektual dan akademisi, karena dipandang lebih baik dan bermartabat daripada penyelesaian melalui “parlemen jalanan” dengan demonstrasi atau pengerahan massa.
Ini merupakan suatu upaya mencari keadilan melalui jalur konstitusional, dengan menguji dugaan-dugaan dan silang sengkarut Pemilu dengan dalil-dalil hukum di MK, sungguh merupakan penyelesaian sengketa Pemilu yang sangat baik.
Kita patut berharap, proses di MK akan berujung pada suatu keputusan yang dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Dengan demikian akan teruji pula secara hukum, mana yang salah dan mana yang benar, atau dengan kata lain; mana kebenaran yang artifisial, dan mana kebenaran yang hakiki.
Kendati tidak ada lagi keterbelahan ala Cebong dan Kampret, namun keterbelahan lain justru muncul dari para pihak yang bersengketa. Sehingga tidak mengherankan kita melihat dengan jelas, betapa para elite dan pembela masing-masing Paslon terjebak dalam kondisi psikologis yang dilematis.
Dimana pada Pemilu 2019 yang lalu, yang bersangkutan berada pada posisi yang menghujat Paslon tertentu, kini mereka justru membela bahkan menyerang Paslon yang pernah mereka dukung lima tahun yang lalu dengan argumen-argumen yang bertolak belakang dengan yang mereka gunakan pada Pemilu sebelumnya, demikian pula sebaliknya.
Fenomena ini tentu menjadi tontonan yang menarik pada sidang-sidang di MK, sehingga kita dapat melihat dengan jelas, betapa kepentingan telah menjebak seseorang atau kelompok. Kondisi ini telah memantik keinginan khalayak untuk menelusuri kembali jejak-jejak digital para elite dan pembela Paslon tertentu. Sehingga akan terlihat dengan jelas sikap mendua seseorang ketika sedang terhanyut dalam arus deras politik kepentingan tanpa mereka sadari.
Mungkin hal ini sesuatu yang wajar-wajar saja dalam dunia politik, tetapi menjadi tidak wajar, bahkan memalukan bagi pribadi-pribadi yang selama ini diketahui khalayak sebagai sosok intelektual yang berintegritas. Namun akhirnya sikap yang cenderung hipokrit itu terlihat dengan kasat-mata oleh masyarakat luas, setidaknya pada sidang-sidang di MK.
Politisi tentu akan menggunakan berbagai cara untuk mencapai tujuan, dan itu merupakan sesuatu yang lumrah di dalam dunia politik. Tetapi yang mesti dihindari adalah perilaku politik yang menghalalkan segala cara, karena bukankah di dalam politik juga ada etika dan norma, bahkan azas kepatutan yang menyertainya.
Beberapa hari ke depan, MK akan membuat suatu keputusan penting, keputusan yang akan menentukan arah perjalanan demokrasi di Indonesia di masa mendatang. MK tentu tidak mungkin dapat memuaskan semua orang, tetapi setidaknya MK dapat mengembalikan lagi kepercayaan publik, dengan suatu keputusan yang benar-benar dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat luas.
Ini adalah momen penantian yang sangat penting bagi demokrasi di Indonesia, dan tidaklah berlebihan kalau segenap harapan masyarakat tertumpu pada keputusan MK nanti. Dengan kata lain keputusan yang akan diambil oleh setidaknya lima orang hakim di MK akan menjadi tonggak sejarah bagi terbangunnya kembali iklim demokrasi di Indonesia yang sehat dan berkeadilan.
Negarawan tidak saja hadir dari para pejuang kemerdekaan, tetapi juga dapat hadir dari para pejuang keadilan.
Semoga!.
(Zulkifli Abdy)