Oleh Ahmad Rizali
Berdomisili di Depok
Di Banda Aceh setidaknya yang kutahu ada 2 Museum: Museum Tsunami dan Museum Aceh. Cak Satria dan saya meminta pak Tabrani Yunis mengantar kami ke Museum Aceh dan selama 3 jam yang tidak cukup, kami tenggelam di sana. Dengan membayar tiket (pak Satria yang tahu. Beliau sebagai Twa Suheng (Kakak Pertama) merasa wajib membayari kami adik adiknya.
Hari senin itu, kurang dari 10 pengunjung Museum yang nyaman ini. Kami memulai dengan menengok perpustakaannya. Terpamerkan Al-Qur’an sebesar 100 x 60 cm bertuliskan tangan. Pak Satria membuka buka karya sastrawan Aceh era lama dan membaca Sajak Adik Amir Hamzah dan divideokan oleh pak Tabrani. “Kaya sekali diksi yang dipakai dan sudah banyak yang tidak dipakai lagi….” Ujar cak Satria.
Saya “enggan” ikut cak Satria membukai karya karya klasik itu, karena perasaan saya akan seperti hadir di sebuah pameran buku besar dan hanya mampu membeli satu exemplar buku. Perasaan sedih karena ada kemewahan namun “Alfaqir” yang datang tak sanggup menjangkaunya. Mata saya mulai mengembun.
Kami berpindah ke Museum Temporal yang memamerkan aneka keramik dan gerabah (pottery). Karena tak ada penjelasan dan tulisan serta petugasnya juga tak faham, kami hanya menonton dan berdiskusi tentang kekayaan budaya dan ketrampilan pembuat keramik tersebut. “Pameran saat ini untuk mencegah jangan sampai lokasi ini tutup pak… ” Ujar penjaganya yang terlihat senang, karena kami bertigalah “pembeli” pertama “jualannya”.
Ruang ke 3 adalah Ruang Pamer tetap. Di sini kita sedikitnya dapat faham tentang sejarah Aceh sejak jaman Sultan pertama. Museum ini dikemas modern dan menampilkan geografi hingga puncaknya Patriotisme Rakyat Aceh yang menampilkan pahlawan/wati dan membanggakan, yang perempuan sama dahsyatnya dengan lelaki. Menarik, semua gubernur jenderal Belanda yang pernah menjadi penindas dalam Perang Aceh dipajang foto dan perannya.
Sekali lagi saya faham yang terjadi di Aceh dan kondisi saat ini, “meski DOM (Daerah Operasi Militer) dicabut oleh Presiden Habibie sejak dicanangkan di Tahun 1988, namun….. “perang benar benar berhenti sesudah tsunami meluluh lantakan Aceh” Ujar pak Tabrani Yunis yang kehilangan semua anak istrinya.
Mungkin pak Tabrani Yunis senang, kami tak mengajak beliau ke museum tsunami karena saya sangat faham bagaimana perasaan ditinggal orang tercinta “saya hanya ditinggal seorang dengan normal, pak Tab ditinggal semua dengan cara direnggut…. 100 x lebih pahit” ujar saya.
“Saya sudah sembuh dari trauma yang saya menjadi tak menyukai laut, Padahal dulu saya sering bermain main di laut…. ” Ujar pak Tab. Saya faham perasaan beliau.
Rakernas IGI 2023 Aceh: Komisi (3) Rekomendasi Kebijakan
Saya tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh pukul 10.30 dan langsung dibawa oleh pak Fitriadi Sekwil Aceh ke Hotel Kyriad di Simpang Lima dan langsung bergabung dengan peserta Rakernas yang sedang sidang membahas materi utama. Sidang dipimpin oleh Dr. Jasmansyah Wakil Ketum, didampingi Ketwil Aceh dan Ketwil NTB.
Usai makan siang, saya langsung dicemplungkan ke Komisi 3 dan didaulat memberi pembekalan sebelum rapat komisi yang wajib selesai pukul 17.00 sore dan dimulai pukul 14.30 wib. Hanya saya berikan acuan dalam membuat analisis masalah strategis yang terjadi saat ini, dampak merusaknya dan pada jenjang kab/provinsi/nasional yang kesemuanya terkait dengan guru dan persekolahan.
Saya jelaskan pula kaitannya dengan 3 ranah rekomendasi: Akses, Mutu dan Tatakelola. Keterkaitan dengan 8 SNP dan membiasakan diri untuk selalu medeksripsikan masalah berdasar fakta di lapangan dan mengaji, apakah kasuistik saja atau bersifat umum.
Saya simpulkan persoalan yang muncul dan berujung pada rekomendasi adalah persoalan hak guru dan perlindungan profesi guru serta kesemrawutan pengelolaan dana BOS di sejumlah kabupaten/kota dan inkonsistensi panduan BOS dari pusat. Yang kedua keresahan terhadap mutu penguasaan ketrampilan bahasa Inggris dan Matematika. Yang lain adalah status guru P3K yang dikesampingkan oleh Yayasan tempat bekerja dan (tentu) yang dibatalkan pengangkatannya oleh Kemdikbud.
Mengikuti sidang pleno 3 komisi sejak pukul 20.30 yang diselingi dengan diskusi pleno dari bu Puti, saya dan pak Satria sejak 19.30, saya hanya sanggup sd pukul 23.45 wib dan saya dengar sidang diskors hingga pukul 02.00 wib. Saat membahas tempat dan kapan diselenggarakan Rakernas 2024 dan Rakornas.
Pagi hari ahad 19 Maret 2023, diputuskan bahwa Rakornas akan bertempat di Semarang di Tahun 2023 ini. Sedangkan Rakernas 2024 akan bertempat di NTB. Tunggu SK resmi yang akan diedarkan oleh Pengurus sebagai hasil keputusan Rakernas 2023 ini.
Rakernas IGI 2023 Banda Aceh: Kuliner dan Kopi
Aceh mungkin adalah salah satu tempat yang paling sering saya kunjungi di luar Jawa, sesudah Kalsel dan Sulsel. Karena di Tahun 1980an saya ikut sebuah ekspedisi mengarungi sungai Alas dari Kutacane dan 2 peserta ekspedisi Budi-Belek-Laksmono dan Tom Sukaryadi wafat ketika perahu karetnya terbalik.
Di Tahun 1984 saya juga pernah Praktikan kerja industri selama 1 semester di Kilang LNG Arun dan tinggal di komplek expat Rancing selama 5 bulan lebih. Skripsi saya juga mengambil topik persoalan “foaming” di kilang ini. Karena di sinilah, saya sempat pertama kali ke Banda Aceh dan menyeberang ke Sabang.
Tsunami dan pembenahannya membuat saya juga berkesempatan berkunjung ke Pidie saat menyelia pelatihan guru SD oleh tim Unnes yang difasilitasi oleh sebuah NGO Internasional, seingat saya Oxfam. Saat itulah saya menonton final piala dunia sepakbola saat Zidane menanduk Materazi. Tim Unnes dipimpin oleh almarhum mas Nugroho.
Klayapan saya ke Aceh mencapai puncaknya ketika menemani IGI dan terakhir ke Aceh adalah ketika dibawa sampai ke Aceh Barat Meulaboh oleh pak Imron dan pak Fitriadi Mahmud serta pak Khairul Zami sesaat sebelum Pandemi berlangsung. Jadi, ikatan emosi saya dengan Aceh cukup kuat, apalagi saya berkawan dengan pak Tabrani yang biasa kami panggil bung Top, dimulai sejak awal Tahun 2000 saat beliau aktif di CCDE.
Kemarin, ke Banda Aceh jadi seperti pulang kampung dan karena memang sangat menyukai masakan Aceh yang gurih dan penuh rempah. Saya dengan gembira menghabiskan sepiring setengah kuliner khas Aceh traktiran pak Imran sekaligus mengantar kami ke Bandara. Sehari sebelumnya, kami ditraktir masakan Aceh jenis lain “kuah daging” dan “ayam tangkap”.
Kemarin kami mengudap gulai ayam kampung, ayam goreng dan ayam tangkap serta pliek U dengan isi Coe (sejenis keong laut sebesar keong emas dan di Kepri disebut gonggong dengan postur lebih besar). Jika pak Satria Dharma memperlakukan makanan hanya berfungsi sebagai pengenyang (mbadog dan wareg), saya selalu mengaitkan dengan produk budaya (lihatlah bedanya level kami berdua)
Cobalah perhatikan, sebuah bangsa yang memiliki akar budaya yang kuat dan termasuk bangsa tua serta memiliki sumber daya alam yang kaya, selalu memiliki keragaman kuliner yang dahsyat, di sini pula kreativitas bangsa itu terlihat.
Di Aceh “Jika ada 5 ruko yang dibangun, pasti 1 dipakai untuk warung kopi….” Ujar pak Tabrani memberi ilustrasi semaraknya warkop atau kafe di Banda Aceh. “Mungkin juga karena mudahnya berjualan kopi, tinggal merebus air dan menuangkan bubuk kopi dan disajikan….” ujar beliau sambil menyetir mengajak kami “City Tour”.
Selamat Ramadhan dan Berpuasa….