Oleh: Syarif Hidayatullah
Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional Universitas ALMUSLIM, Matang Geulumpang Dua, Bireun, Aceh
Belakangan ini Aceh mendapatkan gelar baru, yaitu Provinsi ter-Miskin se-Pulau Sumatera. Sungguh prestasi yang sangat memilukan dan memberikan gores rasa sakit di hati warga Aceh sendiri. Namun memang tak mungkin kita menutup mata dengan situasi masyarakat kita yang saat ini secara jelas mencerminkan keterbelakangan dibandingkan daerah lainnya di Indonesia. Hal ini memunculkan tanda tanya dalam diri saya, mengapa kemiskinan dapat terjadi di daerah yang memiliki kekayaan alam luar biasa dan memiliki hak otonomi khusus dan keistimewaan tersendiri? Mengapa kesejahteraan masih sulit dirasakan oleh rakyat kecil yang tinggal di pelosok pelosok Serambi Mekkah ini?
Untuk mengetahuinya kita perlu menelaah kembali sumber kekuataan dan semangat Aneuk Aceh itu sendiri, yaitu melalui MoU Helsinki yang telah diundangkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor Nomor 11 Tahun 2006
Nah, setelah mengkaji MoU Helsinki, semangat yang membara dapat saya rasakan dari setiap poin menggambarkan kepahitan selama ini yang dirasakan rakyat Aceh. Keinginan untuk sejahtera dapat dirasakan dari setaip harapan keinginan yang tertulis dalam MoU Helsinki dan UUPA itu. Kita dapat membayangkan kesejahteraan akan terwujud di Bumoe Seuramoe Meukah, dengan hak dan kewenangan yang dimiliki Pemerintahan Aceh itu sendiri. Namun kekuatan yang dimiliki UUPA yang dijiwai MoU Helsinki belum memberikan harapan untuk kesejahteraan Aceh.
Dari UUPA kita melihat ada beberapa poin penting dari MoU itu hilang atau tidak tercantumkan. Beberapa di antaranya adalah poin 1.1.5 di mana Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah, termasuk bendera, lambang, dan hymne yang hingga saat ini masih menjadi perdebataan dengan pusat. Namun bukankah ini telah disepakati dalam MoU Helsinki?
Ada satu poin lagi yang menurut saya sangat krusial sekali, yaitu poin 1.3.1 di mana Aceh berhak untuk memperoleh dana melalui utang luar negeri. Aceh juga berhak dalam menentapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral RI (Bank Indonesia). Dengan kata lain Aceh dapat menentukan sendiri bagaiamana tingkatan suku bunga dan pengelolaan utang dari luar negeri dengan sendirinya. Namun hal ini masih belum terealisasikan. Padahal dengan penentuan angka suku bunga, Aceh dapat mengatur perekonomian yang ada mulai dari sektor investasi hingga kegiatan ekonomi lainnya. Bahkan Aceh seharusnya sudah melakukan pengurangan pajak yang dialihkan dengan adanya Zakat itu sendiri sebagaimana yang tertulis dalam UUPA Pasal 192 tentang zakat. Namun mirisnya pasal 192 yang sudah jelas menjadi kesepakatan bersama masih berada dalam daftar antri untuk dibahas kembali dengan Pemerintah Pusat.
Sedih rasanya melihat betapa derita yang diperjuangkan Rakyat Aceh dan dengan keikhlasan menandatangai MoU Helsinki, namun malah dipandang sebelah mata. Hasil perjuangan dari peluh keringat linangan air mata dan kucuran darah saudara-saudara kita, namun realisasian dari MoU itu masih tak terasa. Berapa banyak hasil alam yang dimiliki Aceh ini. Berapa banyak uang yang dihasilkan dari Alam Nanggroe Aceh-nyo. Sementara kita melihat masih ada siswa yang tidak memiliki sepatu untuk pergi ke sekolah.
Rakyat Aceh masih terbayang akan kemegahan sejarah Aceh di masa lampau dan berharap suatu hari nanti kesejahteraan itu kembali hadir. Saat ini Aceh memiliki 148 ribu orang dalam keadaan tidak memiliki pekerjaan. Sedih rasanya, namun ini bukanlah akhir dari perjuangan kita. Jadikanlah kobaran semangat MoU Helsinki dan UUPA sebagai acuan utama dalam pembangunan dan kesejahteraan. Klausul UUPA yang belum memuat semangat yang tertuang dalam MoU Helsinki dapat segera untuk direvisi. Jadikanlah MoU Helsinki menjadi Semangat Cinta Daerah di setiap jiwa generasi aneuk-aneuk Aceh tanyoe. Menanam rasa aneuk Nanggroe Aceh dalam setiap pemuda-pemudi kita, menjadi langkah awal menciptakan kegairahan dan semangat membangun Aceh.