Karya: Zuthirafi Fahwa Salsabilla
Berdomisili di Peudada, Bireun.
Ujian sekolah baru saja usai. Minggu ini fakultatif. Meski belum libur resmi, datang boleh tak hadir pun tak apa. Lagipun tidak diabsensi. Tetapi aku, walaupun ujian pelajaran utama berhasil baik, namun nilai pelajaran kesenianku ‘failed’. Itu disebabkan ketika ujian menggambar bertemakan lingkungan. Jujur, aku tidak mahir karena tuntutan detilnya terlalu njelimet. Sedangkan aku cuma bisa menggambar sketsa sederhana. Makanya hari ini aku hadir ingin membahasnya dengan Ibu Guru Kesenian untuk memperbaiki nilai itu.
Aku mujur, bu guru berlunak hati menyetujui.
“Boleh, Billa. Buatlah wajah tokoh pahlawan idolamu,” saran Ibu.
“Baik. Terimakasih, Ibu,”
“Sama-sama. Oh iya, ibu akan rapat, tolong Ibu. Kembalikan buku ini ke perpustakaan, ya?”
”Baik, Ibu” Sahutku seraya meninggalkan ruang guru.
Di perpustakaan berupaya kudapatkan pedoman menggambar sketsa. Lalu kupelajari dalam-dalam. Tiba-tiba terbayang wajah seseorang. Ya! Seorang sahabat yang sangat berkesan seumur hidupku. Orang yang selalu menegurku di masa kecilku dulu, suka mencoret-coret dinding rumah, lalu ia ambilkan kertas, pensil, kemudian mengajariku menulis, mewarnai gambar, dan membuat sketsa! Begitulah sikap bijaksana sahabat sejatiku itu, yaitu Bapakku.
Sayangnya, masa-masa seperti itu bersama beliau telah hilang selama delapan tahun. Karena aku, mamah dan adik-adikku, diperpisahkan dengan bapak oleh ayah mamah, kakekku, ketika aku kelas tiga SD, sedang kedua adikku perempuan belum waktunya sekolah. Begitulah berlarut-larut sampai kini aku sudah SMA, dan kedua adikku sudah SMP. Entah sebesar apalah kesalahan bapakku sampai kakekku sebegitu bencinya dan sulit mema’afkan bapakku? Setahu kami, bapak dan mamah tak pernah ada masalah. Mereka selalu rukun dan saling sayang. Sungguh, sangat sulit kami memahami dan berat menerima ini. Tapi kami tidak berdaya! Kami sekeluarga hanya bisa berserah diri kepada sang Maha Benar, Allah swt.
Ukh! Sudahlah. Hari semakin siang. Mamah pasti mencemaskanku. Aku harus pulang.
Senin berikutnya tiba jadwal remedial pelajaran seniku. Tapi setelah istirahat pertama. Sembari menunggu, aku berlatih di taman belakang sekolah. Tidak kusangka, jemariku begitu lincah menorehkan pinsil diatas kertas gambarku mengikuti kilasan samar wajah sosok yang menginspirasi benakku. Kian lama, konsentrasiku makin larut sehingga semakin memperjelas wajah itu. Wajah seorang yang senantiasa kudamba, kucinta, kurindu, ialah bapakku.
Entah mengapa, seminggu ini seringkali terbayang wajah beliau. Apakah karena aku punya pengharapan akan datang seseorang yang membawa kabar keberadaan bapakku di Jakarta sana?
Tetapi memang, hari ini akan datang putra Miwa-ku ke rumah kakekku. Namanya Syaifuddin Azhar. Kami memanggilnya Pakwa Pudin. Ia juga adalah seorang sahabat dan rekan sepekerjaan bapakku di Industri Gas di kawasan Lhokseumawe waktu itu. Menurut cerita pakwaku, ia lebih dulu keluar dari pekerjaannya jauh sebelum bapakku. Karena pakwaku itu mendapat pekerjaan lebih baik di Qatar Gas, Emirat Arab untuk beberapa tahun. Setelah habis kontrak kerjanya di sana, ia direkrut oleh Lembaga Konsultan Asing Industri Gas yang berkantor di Jakarta. Sekarang ia sedang cuti dan pulang ke kampung asalnya di Lingke, Banda Aceh. Seminggu lalu, ia janji akan silaturrahmi ke rumah kakekku hari ini.
Tanpa kusadari, ternyata aku menangis dan membuat basah gambar sketsa. Disaat tengah asyik mengelapnya, terdengar samar seseorang memanggilku;
“Billaaa..”
“Ya, Pakwa!” sahutku terkejut dan menolehkan kepalaku. Ya, ampun! Ternyata Ibu guru seniku. Semoga beliau tak mendengar pekikku tadi.
“Sedang apa disini?”
“Berlatih, bu,”
“Ujian ulangmu sudah dimulai. Ayo, masuk,”
“Ooh. Baiklah, bu.”
Di kelas aku cukup memperjelas arsir yang kubuat tadi. Sehingga sekejap selesai dan kuserahkan kepada ibu guru. Beliau mengernyitkan keningnya dan memanggilku;
“Billa, sketsa tokoh siapa ini?”
“Pacar, Buuu..!” Olok teman-temanku serempak.
”Itu, sketsa wajah bapak saya, bu” Jawabku jujur.
“Bohong, buuu..!” Lagi-lagi mereka meledekku.
“Benarkah kata mereka, Billa?”
“Sungguh, itu sketsa wajah bapak saya, bu”
“Baiklah, karya yang bagus! Kalian tepuk tangan doong..”
Perasaanku sangat lega. Pulang sekolah teman-teman mengajakku jajan bakso ke kota Biruen. Tapi, aku bilang: “Hari Minggu saja! Siang ini akan datang saudara dari Jakarta”. Semua temanku mau mengerti.
Setiba di rumah, Pakwa Pudin sudah di ruang tamu. Langsung kuhampiri dan kusalami.
“Bagaimana ujianmu, nak?”
“Billa optimis, baik, Pakwa”
“Syukurlah. Semoga naik kelas, nak ya!”
“Amin. Pakwa berhasil ketemu bapak?” Tanyaku tak sabar.
“Alhamdulillah, ketemu beberapa kali, nak”
“Subhanallah! Gimana keadaannya? Kenapa tidak diajak sekalian? Berapa nomor telfonnya? Pakwa, jawab!” Tanpa sadar kuguncang-guncang tubuh pakwaku yang masih terlihat lelah.
“Astaghfirullahal’adzim. Sabar, nak.”
“Enggak! Terlalu lama kami menanti kabar ini, pakwa”
“Pakwa mengerti. Ini, nomor handphone bapak kalian”
Aku tak mampu menunda lagi. Kuserobot saja catatan di tangan pakwa dan kubawa lari ke kamarku untuk kuhubungi. Alhamdulillah! Beliau spontan menyambutku. Bathinku pun mengguncah! Kupanggil mamah dan adik-adikku untuk bergantian bicara. Semua menangis haru. Juga bapakku diseberang sana. Tanggal 8 agustus 2011 kami pertamakali berkomunikasi kembali dengan bapakku. Setelah itu, kami didukung pakwaku mendesak kakekku untuk menerima kembali bapakku pulang. Alhamdulillah wa syukurillah, kakekku mengabulkannya. Pertengahan april 2012, nenek dan mamahku berangkat ke Jakarta untuk berobat. Mamah bertekad mengajak serta bapakku pulang. Tepat tanggal 2 Mei 2012, nenek dan mamah kembali dari Jakarta, dengan disertai bapak kami. Pelukkan rindu dan isak tangisan haru kami, menggema di rumah kakek kami. Akhirnya, sketsa wajah itu, kini nyata adanya. Tidak lagi berupa kilasan bayang-bayang. Kami sekeluarga sungguh amat sangat bahagia!
Terimakasih kami kepada: Pakwa Syaifuddin Azhar dan Bunda Indri, Pakwa Hasanuddin dan Bunda Diana di Jakarta, serta Nenek dan Kakek A.Gani, Pakwa Zulfikar dan Bunda Ramlah di Peudada.