Ilustrasi : TribunJabar
Oleh Cut Alya Allyva
Kelas VIII SMP Negeri Bandar Dua, Pidie Jaya, Aceh
Sore itu, di kala hujan turun, membahsai daun-daun, langit ditutupi awan, berkabut tebal menurunkan butiran-butrian air nan jernih. Sesosik gadis berparas cantil dan anggun baru saja pulang sekolah. Liza namanya. Tidak salah kalau orang-orang menyebutnya cantik. Namun, agak aneh, karena mukanya terlihat masam, ya amat masam.
Ya, wajahnya cemberut, pucat dan marah, seraya melepaskan jaket merahnya yang basah karena hujan. Ia melemparkan jaket itu ke lantai dan memanggil ibunya, โ Makโ dengan nada suara yang keras. Tak lama kemudian, di balik pintu kayu yang bermotif bunga, keluarlah sosok perempuan tua dengan wajah yang amat teduh dan senyuman yang amat hangat. Ia berjalan membungkuk dan memegang pundak putrinya sambil bertanya. โ Ada apa rembulan hatiku?โ
Bukannya menjawab pertanyaan manis itu, malahan ia berbalik bertanya kepada wanita tua itu. โ kemanakah baju-bajuku Mak?โ Tanya Liza dengan nada agak membentak. Wanita tua itu hanya diam sejenak, lalu berkata. โ Bajumu belum kering Liza, dikarenakan hujan yang sudah mngguyur selama dua hari, tiada hentiโ
Hmmm, bukannya ia mengerti dengan perkataan ibunya, justru Liza terlihat kesal dari sebelumnya. Ia langsung beranjak pergi, meninggalkan ruangan, lalu pergi ke kamarnya. Sementara wanita tua itu hanya bisa menyaksikan apa yang dibuat oleh anaknya. Ia hanya terdiam membisu, lalu pergi ke dapur untuk memasak.
Khuk khuk khuk, suara pertikaian batuk terdengar di langit-langi rumah bambu sederahana itu. Liza barusan keluar dari kamar untuk mengambil air putih hangat di dapur, langsung mengerenyitkan kening dan berkata, Mak, tidak bisakah Mak tidak batuk saat memasak? Virus dan bakteri batuknya Mak dapat menular dan termakan lagi!
Kata dan kalimat itu lansgung terlontar begitu saja, keluar dari bibir kecil ranum Liza. Mulut manis berbisa, kata dan kalimat itu singkat dan jelas, namun beracun. Lagi-lagi wanita tua itu terdiam membisu. Itu semua dikarenakan Liza adalah segala-galanya . Ia tidak mempunyai anggota keluarga lain. Suaminya sudah lama tiada. Kini ia hanya punya satu-satunya rembulan kasih sayangnya.
Sekarang, wanita tua itu tidak lagi berada di dapur. Ia mencuci baju. Walau dengan rasa penat dan lelah, seakan-akan itu semu dalam pikirannya. Senyum kehancuran. Semua ia tutupi, walaupun hatinya terkikis. Ia tetap menganggap senyum adalah obat bagi hatinya yang rindu akan saat suaminya masih ada, masih dapat menjaga dirinya dan Liza anak satu-satunya. Namun itu semua adalah masa silam. Ia tahu benar bahwa waktu terus berjalan dan tak menunggu dirinya. Ia tak bisa terus terbuai dalam mimpinya. Ia harus terus berusaha semaksinal mungkin agar dapat menghidupi Liza.
Sementara itu di dalam kamar, bernuansa sepi, Liza seorang diri asyik membaca komik. Ia tidak peduli apa-apa. Justeru ia lebih memilih berbaring di dalam empuknya Kasur dan terbuai mimpi dan membuarkan terus waktu berjalan,
Tanpa terasa, sebulan berlalu dan waktu berjalan begitu cepat. Penyakit kronis infeksi pernafasan pun terus menggerogoti tubuh perempuan tua renta tersebut. Liza sendiri, sebenarnya tidak tahu bahwa ibunya sudah sakit separah itu. Ibu sengaja tidak memberi tahu Liza, karena Liza sendiri pasti sukar mendengarnya.
Pukul 03.30 WIB
Usai salah tahajut untuk terakhir kalinya, wanita tua itu berjalan membungkuk, ia terjatuh dan tersungkur, terkapar di lantai, di samping sajadah satu-satunya. Ia pun pergi meninggalkan anak satu-satunya, Liza.
Sungguh ia sudah melakukan tugasnya sebagai sosok ibu yang amat tabah. Semua rasa kecewa ia hempaskan. Semua makian milik tutur kata anaknya. Ia telan semuanya. Ia hanyutkan ke lautan dalam bilik hatinya.
Sementara itu, di kala fajar pagi meremang. Liza pun terbangun dari lamunan. Kicau burung bernyanyi, semilir angina membawa harum rerumputan, sejuk menyapu wajah paginya saat wudhu, Liza pun termenung dan bertanya dalam hati. Mengapa pagi ini rumah sangat sepi? Hanya dengungan hembusan angina sejuk yang menyertai.
โ Kemanakah Ibu?โ tanya Liza dalam hati. Liza lalu ke kamar ibu dan melihat sesosok tubuh tergelatak di lantai. Tubuh yang tidak berdaya, tak bernyawa. Tidak ada lagi detak jantung. Ia sudah pergi. Suasana hening, tak bersuara.
Seketika hati Liza membuncah dengan sejuta rasa. Hati yang tercampur aduk. Hati yang berkeora bagaikan ombak, pecah menyisir pantai. Tubuh Liza terjerembab. Suara Liza tertahan. Nada suaranya serak, kantung matanya seakan sepeti bendungan yang tidak hanya mengalir dari matanya. Namun, jelas ke seluruh tubuhnya dan jiwanya terdalam.
Liza sekarang antara sadar dan tidak. Ia justru sedang duduk berlutut. Baju garis-garis merahnya terkena lumpur tanah merah. Ya, lumpur tersebut adalah lumpur tanah merah dari tenpat pemakaman barusan. Kini ia tersadar sambil terisak, batinnya begitu pedih dan pahit. Ia kini sudah tidak bisa lagi melihat wajah teduh Mak, tiada lagi suara Mak yang lembut. Tiada lagi senyuman dan hangatnya pelukan tangan Mak yang keriput. Mak, yang biasanya membelai hati Liza dengan kasih sayang.
Kini ia tersadar benar bahwa selama ini ternyata lebih banyak tangisan di hati Mak, dibandingkandi matanya. Ia telah merobek hati Mak. Tanpa disadarinya, ia telah berbuat salah. Tutur katanya yang ia ucapkan setiap hari bagaikan meludahi hati Mak.
Entahlah. Namun sekaranf Liza sedang memanggil-manggil, Ooo Mak!!!
Tidak ada lagi kasih sayang Mak
Kini hanya gemburan tanah yang hanya bisa Liza tangisi