Dengarkan Artikel
Oleh Don Zakiyamani
“Di sekolah kami ada begitu banyak drama, semakin parah karena kepala sekolah ikut nimbrung di dalam.” Demikian seorang guru di salah satu SMA Negeri di Kota Banda Aceh berujar kepada saya. Seperti biasa, saya hanya menjadi pendengar, mengikuti ritme pembicara.
Tak lama berselang, seorang pedagang tampak kesal kepada temannya. Ketika ia berjualan di gedung papan, temannya tak pernah menghubungi. Namun ketika ia berjualan di lokasi yang lebih mewah, barulah temannya menelpon. “Dasar manusia,” ucapnya dengan nada kesal.
Realitas memang sering kali berbalik dari harapan. Kenyataan terlalu sering tidak selaras dengan keinginan manusia. Dalam film-film Mandarin kerap disebutkan bahwa “takdir memainkan manusia”. Dalam paham Jabariyah, manusia tidak kuasa atas dirinya sendiri; semua atas kehendak Yang Maha Kuasa. Sedangkan Qadariyah berpandangan sebaliknya—manusia memiliki kehendak bebas.
Namun artikel ini tidak membahas perdebatan teologi itu; kita fokus saja pada dua fenomena tadi.Meski kedua situasi itu sering kita temui dalam hidup, jarang sekali kita meresponnya dengan senyum dan syukur.
Padahal Allah sudah menggambarkan tabiat manusia dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.” (QS Al-Ma’arij 70:19).Kasus pertama, tentang drama di sekolah—selain Ahmad Albar yang pernah menyanyikan bahwa “dunia ini panggung sandiwara”, Allah juga menegaskan: “Kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau.” (QS Al-An’am 6:32; QS Al-Hadid 57:20).
Menghadapi senda gurau dengan terlalu serius hanya akan melahirkan kecewa. Isyarat ini jarang kita tangkap. Kita lebih memilih marah, kesal, memaki, depresi, bahkan kadang bertindak anarki. Padahal bila kita tersenyum dan bersyukur sambil berucap “ah sudahlah”, langit tetap di tempatnya, kita masih bisa ngopi, kesehatan mental dan fisik tetap terjaga. Anggaplah diri ini orang baik yang sedang diuji dengan perilaku kurang baik dari orang lain.
Pada kasus kedua, tentang teman yang membuat kesal. Sebenarnya itu lebih tepat disebut rasa kecewa. Meski rasa itu seharusnya tidak perlu muncul, sebab kita memang tidak bisa mengontrol sikap orang lain. Bahkan, dalam banyak kejadian, rasa kecewa itu sebenarnya bentuk kasih sayang Allah yang sedang membuka tabir siapa teman kita yang sebenarnya. Dan bisa jadi pula, sikap kita sendiri turut menjadi penyebab ia bertindak demikian — siapa yang tahu?
Melihat dua peristiwa kecil itu dengan kacamata sosiologis, hubungan antar manusia selalu terikat oleh kontrak sosial. Namun memahami dan menyadari kontrak sosial adalah dua hal yang berbeda.
📚 Artikel Terkait
Seseorang bisa memahami konsepnya, tetapi belum tentu menyadarinya dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita memilih hidup di tengah masyarakat, suka atau tidak, kita ikut terikat aturan sosial. Kita mungkin merasa tidak nyaman diatur oleh norma, tetapi bila tidak ingin terikat, satu-satunya jalan hanyalah mengasingkan diri. Dan ketika menyadari bahwa kita hidup bersama banyak karakter, kita juga seharusnya sadar bahwa keberagaman itu pasti membawa gesekan.
Kesadaran sosial itu perlu ditempa agar kita tidak mudah kecewa, kesal, sedih, dan marah. Paulo Freire mengingatkan bahwa kesadaran hanya hadir jika ditempa melalui dialektika (dialog kritis) dan refleksi. Ceramah agama, seminar, atau workshop saja tidak cukup. Kita perlu muhasabah — menghisab dan mengevaluasi diri secara terus-menerus.
Dalam ajaran Islam, seluruh ibadah pada hakikatnya mengarah pada perbaikan hubungan sesama dan lingkungan. Shalat misalnya, tampak seperti hubungan antara hamba dan Tuhan, tetapi Al-Qur’an menunjukkan dimensi sosial yang kuat.
Allah menyebutkan bahwa orang yang shalat pun bisa celaka: “Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) mereka yang lalai dari shalatnya, yang berbuat riya dan enggan menolong (memberi) barang berguna.” (QS Al-Ma’un 107:4–7). Artinya, ibadah tanpa kepedulian sosial tidak memiliki nilai.
Allah juga berfirman: “Dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar.” (QS Al-Ankabut 29:45). Shalat mewajibkan membaca Al-Fatihah, dan di dalamnya kita mengakui: “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (QS Al-Fatihah 1:5). Kita juga memohon: “Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat.” (QS Al-Fatihah 1:6–7).
Ibadah lainnya seperti puasa dan zakat pun demikian. Kedua ibadah ini menghadirkan kepekaan sosial. Puasa tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi menahan diri dari perilaku yang merusak hubungan sosial. Rasulullah bersabda: “Barang siapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR Bukhari). Ayat lain menegaskan bahwa puasa ditujukan untuk membentuk pribadi yang bertakwa dan matang secara moral: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah 2:183).
Demikian pula zakat. Allah memerintahkan zakat bukan hanya sebagai kewajiban finansial, tetapi sebagai sarana membersihkan hati dari egoisme: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS At-Taubah 9:103). Nabi juga bersabda: “Tidaklah berkurang harta karena sedekah.” (HR Muslim), sebuah isyarat bahwa memberi tidak akan memiskinkan, justru menguatkan ikatan sosial dan menghapus penyakit hati.
Dengan demikian, ibadah bukan hanya menguatkan hubungan dengan Allah, tetapi juga mendidik kita agar lebih matang secara sosial: lebih sabar, lebih legowo, lebih memahami manusia dengan segala kekurangannya, dan tidak mudah terombang-ambing oleh drama kehidupan.
Dan pada akhirnya, setiap peristiwa kecil dalam hidup hanyalah cermin yang menelanjangi siapa kita sebenarnya—bukan siapa yang kita pura-pura jadi. Hidup selalu memberi kita adegan-adegan sederhana yang menunjukkan wajah kita yang paling jujur, dan hanya mereka yang berani melihatnya secara telanjang yang benar-benar bisa tumbuh.
Karena untuk menjadi manusia yang utuh, kita memang mesti “telanjang”—berani membersihkan diri lahir batin, menyingkirkan debu yang melekat dalam pikiran dan perilaku, sebagaimana pesan yang pernah dinyanyikan Ebiet G. Ade: sebelum bicara tentang orang lain, tengoklah dulu ke dalam diri sendiri. Selamat ngopi.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini












