Dengarkan Artikel
Oleh: Novita Sari Yahya
*”We do not just talk or walk; we use our brains, because we are Indonesian women.”*
Pendahuluan: Tubuh Perempuan danKekeliruan Representasi Media.
Apa yang hari ini sering ditampilkan media arus utama dan media sosial tentang perempuan Indonesia sungguh memprihatinkan. Perempuan direduksi menjadi tubuh, wajah, sensualitas, dan skandal. Narasi yang berulang-ulang diproduksi bukan tentang gagasan, kerja intelektual, atau kontribusi sosial perempuan, melainkan tentang siapa berpacaran dengan siapa, siapa viral karena sensasi, dan siapa menjadi bahan gosip berjilid-jilid. Representasi ini bertolak belakang secara diametral dengan sejarah panjang perempuan Indonesia yang progresif, terdidik, dan memiliki kesadaran politik serta kebangsaan yang kuat.
Sejarah mencatat bahwa perempuan Indonesia tidak pernah absen dalam perjuangan ide dan organisasi. Namun, ingatan kolektif ini sengaja dikaburkan oleh banjir konten dangkal yang mengutamakan sensasi. Dalam konteks inilah kalimat “We do not just talk or walk; we use our brains, because we are Indonesian women” menjadi penting. Ia bukan slogan kosong, melainkan pernyataan ideologis untuk merebut kembali martabat perempuan Indonesia sebagai subjek berpikir.
Kongres Perempuan Indonesia 1928: Bukti Progresivitas Sejak Awal.
Kongres Perempuan Indonesia pertama yang diselenggarakan pada 22–25 Desember 1928 di Yogyakarta merupakan tonggak sejarah penting. Perempuan dari berbagai latar belakang organisasi berkumpul, berdiskusi, dan merumuskan agenda bersama. Mereka berbicara tentang pendidikan, perkawinan, hak perempuan, dan masa depan bangsa. Kongres ini membuktikan bahwa perempuan Indonesia telah mampu mengorganisir dirinya secara mandiri, berpikir sistematis, dan melahirkan ide-ide progresif jauh sebelum Indonesia merdeka.
Mereka tidak hadir sebagai pelengkap gerakan laki-laki, tetapi sebagai aktor utama dengan kesadaran politik dan sosial yang matang. Kongres Perempuan Indonesia II kemudian melahirkan gagasan besar tentang “ibu bangsa”. Konsep ini bukanlah domestifikasi sempit, melainkan pengakuan atas peran strategis perempuan dalam membentuk generasi, nilai, dan karakter bangsa. Ibu bangsa adalah penjaga akal sehat, moral, dan keberlanjutan peradaban.
Ibuisme Negara dan Penjinakan Gerakan Perempuan.
Sayangnya, progresivitas perempuan Indonesia tidak dibiarkan tumbuh secara alami. Pada masa Orde Baru, negara melakukan domestifikasi sistematis melalui ideologi ibuisme negara. Perempuan diposisikan terutama sebagai pendamping suami dan pengurus rumah tangga, bukan sebagai warga negara yang berpikir kritis. Organisasi perempuan, seperti halnya organisasi buruh, pemuda, dan profesi, diseragamkan dan dijadikan alat pengendalian massa.
Gerakan perempuan progresif dihancurkan, dibungkam, dan disisihkan dari ruang publik. Perempuan yang berpikir kritis dianggap ancaman. Sejarah kekerasan seksual tahun 1965 dan 1998 tidak dapat dilepaskan dari proyek besar penghancuran gerakan perempuan progresif. Kekerasan terhadap tubuh perempuan menjadi alat politik untuk menundukkan, menakut-nakuti, dan menghapus perlawanan.
Reformasi, Kebebasan, dan Kekosongan Dialektika.
Reformasi membuka ruang kebebasan berekspresi di ruang publik. Namun, kebebasan ini tidak selalu diikuti oleh pendidikan politik, dialektika pemikiran, dan kaderisasi ide kebangsaan. Akibatnya, kebebasan sering kali jatuh menjadi kebebasan tanpa tanggung jawab. Media sosial menjadi panggung utama. Sayangnya, yang viral bukanlah gagasan, melainkan sensasi.
Kita menyaksikan bagaimana seorang influencer merasa berhak menyebut dirinya cantik, seksi, dan pintar tanpa pernah diuji publik melalui karya intelektual atau kontribusi nyata. Popularitas dan isi rekening bank dijadikan ukuran keberhasilan. Lebih ironis lagi, ada influencer majalah dewasa yang diangkat menjadi bagian dari tim kreatif kementerian. Fenomena ini menunjukkan bahwa viralitas mampu mengalahkan kapasitas berpikir, etika publik, dan rekam jejak moral. Akal sehat dikalahkan oleh algoritma.
Algoritma, Buzzer, dan Perang Proxy terhadap Martabat Perempuan.
📚 Artikel Terkait
Bisnis buzzer bukanlah mitos. Semua orang dapat membayar untuk memviralkan atau menjatuhkan seseorang. Akun anonim bermunculan, membully, memaki, dan menghancurkan reputasi. Sensasi tentang tubuh perempuan menjadi komoditas yang laku dijual. Berbagai laporan menyebutkan adanya penggunaan alat pengelolaan algoritma media sosial yang canggih oleh kelompok tertentu.
Dalam konteks ini, viralitas tidak lagi netral. Ia menjadi bagian dari perang proxy yang merendahkan martabat perempuan Indonesia, menjauhkan mereka dari kesadaran kritis, dan mendorong perilaku konsumtif serta permisif. Jika dulu perempuan dilecehkan di kamp-kamp konsentrasi seperti Plantungan, hari ini mereka dilecehkan melalui layar ponsel: tubuhnya dibahas, dieksploitasi, dan dijadikan skandal murahan. Seksualitas direduksi menjadi tontonan, bukan wilayah martabat.
Tubuh, Risiko Kesehatan, dan Generasi yang Dipertaruhkan.
Eksploitasi tubuh perempuan tidak berhenti pada ranah simbolik. Ia berdampak nyata pada kesehatan dan masa depan generasi. Normalisasi gaya hidup bebas, berganti pasangan, dan seks tanpa tanggung jawab meningkatkan risiko HIV/AIDS, penyakit menular seksual, dan kehamilan tidak diinginkan. Lebih jauh, pola hidup orang tua sangat memengaruhi kualitas generasi yang akan lahir. Ketika perempuan didorong untuk menganggap gaya hidup bebas sebagai simbol modernitas, maka yang dipertaruhkan bukan hanya individu, tetapi masa depan bangsa.
Belajar dari Rusia dan Tiongkok: Ketahanan Keluarga sebagai Kebijakan Negara.
Rusia dan Tiongkok memberikan contoh bagaimana negara memandang keluarga dan perempuan sebagai fondasi strategis bangsa. Rusia memperkenalkan mata pelajaran “Family Studies”, proyek nasional keluarga, dan berbagai dukungan finansial untuk ibu dan keluarga besar. Tiongkok bahkan mengesahkan Undang-Undang Promosi Pendidikan Keluarga yang menempatkan keluarga sebagai “sekolah pertama” dan orang tua sebagai pendidik utama.
Negara hadir bukan untuk mengontrol tubuh perempuan, tetapi untuk memastikan ketahanan keluarga dan generasi. Pendekatan ini menunjukkan bahwa modernitas tidak harus berarti kebablasan. Negara dapat mendorong kemajuan teknologi sekaligus menjaga nilai, etika, dan kesehatan sosial.
Penutup: Mengembalikan Akal Perempuan Indonesia.
Tagar “We do not just talk or walk; we use our brains, because we are Indonesian women” adalah seruan untuk kembali pada akar sejarah perempuan Indonesia yang berpikir, berorganisasi, dan berjuang dengan akal sehat. Perempuan Indonesia bukan komoditas algoritma, bukan objek sensasi, dan bukan alat perang proxy. Mereka adalah pewaris tradisi intelektual Kongres Perempuan 1928 dan gagasan ibu bangsa.
Masa depan Indonesia bergantung pada apakah kita memilih viralitas atau kecerdasan, sensasi atau kesadaran.
Daftar Pustaka
Kompas.com. Kongres Perempuan Indonesia II: Latar Belakang dan Hasilnya.
Tempo.co. Kongres Perempuan Indonesia 1928 dan Penetapan Hari Ibu Nasional.
CNN Indonesia. DPR Usul Komdigi Bisa Akses Algoritma Konten Medsos.
Oxford Academic. China’s Family Education Promotion Law.
Supreme People’s Court of China. Law of the People’s Republic of China on Family Education Promotion.
Novaya Gazeta Europe. Russian Schools to Offer Family Studies.
Novita sari yahya
Penulis buku Ibu Bangsa Wajah Bangsa.
Cp pembelian buku 089520018812
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini







