Dengarkan Artikel
Oleh ReO Fiksiwan
“Artefak kebudayaan adalah teks yang harus dibaca; ia menyimpan makna historis dan hermeneutik yang menyingkap cara hidup manusia masa lalu.” — Jacob Sumardjo(83), Arkeologi Budaya Indonesia: Pelacakan Hermeneutis-Historis Terhadap Artefak-Artefak Kebudayaan Indonesia (2002)
Perhelatan kegiatan Pembinaan Sumber Daya Manusia, Lembaga, dan Pranata Kebudayaan Daerah Kota Manado Tahun 2025 yang digagas Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Manado di bawah kepemimpinan Kadis Peter K. B. Assa, ST., M.Sc., Ph.D., menjadi ruang apresiasi yang mempertemukan lintasan sejarah dan kebudayaan.
Berlokasi di pesisir utara teluk Manado, Nusantara Diving Club(NDC) — sebelumnya, NDC dibangun oleh penyelam asal Surabaya, mendiang Lock Herlambang di selatan Malalayang Pante sekitar awal 1990 — perhelatan ini menghadirkan dua sosok(RR) alumni Fakultas Ilmu Budaya Unsrat(dulu Fakultas Sastra) yang menandai perbedaan sekaligus keterhubungan disiplin.

Duo RR, mereka ini: Roger Kembuan(44) SS., MHum, sejarawan yang menekuni historiografi kritis, dan Reiner Emyot Ointoe(67) alias ReO, fiksiwan yang mengolah kebudayaan melalui imajinasi sastra.
Roger Kembuan, putra mendiang Mener Kembuan—dosen bahasa Perancis alumni Universitas Lyons (1977)—menapaki jalur sejarah sejak S1 hingga pascasarjana di UGM dengan tesis Sejarah Eksil Kiyai Modjo(2015).
Ketajamannya dalam memanfaatkan data sejarah, khususnya lanskap kota Manado, ditopang oleh metode heuristik dan hermeneutik.
Ia memaparkan detail sejarah kota dengan kesabaran seorang peneliti yang percaya bahwa setiap artefak, dokumen, dan jejak masa lalu adalah pintu menuju pemahaman identitas kolektif.
Sejarawan seperti Roger menegaskan bahwa sejarah bukan sekadar catatan peristiwa, melainkan tafsir kritis atas perjalanan manusia dalam ruang dan waktu.
Berbeda jalur, ReO memilih jalan kebudayaan melalui sastra. Alumni Sastra Jerman Unsrat dan penerima beasiswa(Stipendiaten) DAAD di Universitas Otto Friedrich Bamberg Jerman(1990) ini menulis dengan semangat fiksiwan yang menghidupkan kebudayaan lewat imajinasi.
Setelah pensiun dini dari dunia akademik pada 2009, ia menekuni ilmu kebudayaan secara otodidak, dalam tradisi Jerman disebut Geistwissenschaft oleh Dilthey.
William Dilthey(1833-1911), dalam Einleitung in die Geisteswissenschaften(1883), menekankan bahwa ilmu-ilmu tentang manusia, kebudayaan, dan sejarah tidak bisa dipahami dengan metode eksperimental semata.
Ia menulis: “Wir erklären die Natur, wir verstehen das Seelenleben.”(Kita menjelaskan alam, tetapi kita memahami kehidupan jiwa).
Kutipan ini menjadi dasar hermeneutika historis: artefak kebudayaan, teks, dan sejarah harus ditafsirkan (hermeneutik), bukan sekadar diukur atau dijelaskan secara mekanis.
📚 Artikel Terkait
Dengan demikian, Geisteswissenschaft adalah ilmu yang berusaha memahami makna hidup manusia dalam konteks sejarah dan kebudayaan.
Lebih dari 30 buku kebudayaan telah lahir dari tangan ReO, termasuk novel sejarah Manado 1830(2017) dan karya terbaru Tuhan dan Senjakala Kebudayaan(2025).
Dalam tulisannya, kebudayaan dipahami sebagai medan pergulatan nilai, simbol, dan makna yang terus bergerak, bukan sekadar warisan statis.
Meski berbeda disiplin, sejarawan dan fiksiwan ini bertemu dalam satu titik: sejarah kritis atas perkembangan kebudayaan.
Roger menekankan pentingnya data dan metode, sementara ReO menekankan imajinasi dan refleksi.
Keduanya, Duo(RR) ini, saling melengkapi, karena kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari sejarah, dan sejarah tidak bisa dipahami tanpa kebudayaan.
Mereka mengungkapkan kerangka filsafat kebudayaan pragmatisme holistik White Morton(1917-2001), dalam A Philosophy of Culture: The Scope of Holistic Pragmatism(1990), dikutip:
“Kita tidak dapat memisahkan sains dari etika atau seni dari politik; budaya adalah jaringan yang tak terputus.”
Sementara filsafat sejarah Hegel, mereka menegaskan bahwa kebudayaan adalah dialektika antara fakta dan makna, antara struktur dan imajinasi.
Dalam kuliah-kuliah ini, Vorlesungen über die Philosophie der Geschichte(edisi pertama 1837) disusun oleh muridnya Eduard Gans, Hegel(1770-1831), menegaskan bahwa sejarah adalah proses dialektis roh(Geist) menuju kebebasan.
Ia menulis:
“Die Weltgeschichte ist der Fortschritt im Bewusstsein der Freiheit.”(Sejarah dunia adalah kemajuan dalam kesadaran akan kebebasan).
Dengan kata lain, inti filsafat sejarah Hegel: sejarah bukan sekadar rangkaian peristiwa, melainkan gerak rasional menuju kebebasan universal.
Tinjauan atas sejarah kebudayaan mutakhir Kota Manado pun tidak berhenti pada narasi lokal.
Ia dapat dikritik dan diperkaya melalui referensi seperti Arkeologi Budaya Indonesia: Pelacakan Hermeneutis-Historis Terhadap Artefak-Artefak Kebudayaan Indonesia(2002) dan IMAJINASINUSANTARA: Budaya Lokal dan Pengetahuan Tradisional dalam Masyarakat Indonesia Kontemporer(2021) karya Arif Susanto dkk.
Dari sana, terlihat bahwa kebudayaan Manado adalah bagian dari mosaik besar kebudayaan Nusantara, yang terus bertransformasi di tengah arus globalisasi.
Sejarawan dan fiksiwan, dua jalur yang berbeda namun saling menanggapi, hadir sebagai cermin bagi generasi alumni FIB Unsrat.
Mereka menunjukkan bahwa apresiasi terhadap sejarah dan kebudayaan bukan hanya soal disiplin akademik, melainkan juga soal komitmen untuk menjaga, menafsirkan, dan menghidupkan identitas kolektif.
Dalam perhelatan kebudayaan Kota Manado 2025, keduanya menjadi simbol bahwa sejarah dan kebudayaan adalah dua wajah dari satu tubuh: tubuh masyarakat yang terus bergerak, mencari makna, dan menulis dirinya sendiri.
coverlagu: Album Ancient History dari proyek musik Symphonic Planet dirilis pada tahun 2021.
Album ini dimaknai sebagai sebuah eksplorasi musikal yang memadukan orkestrasi simfonik dengan nuansa elektronik untuk menghadirkan refleksi tentang peradaban kuno, jejak sejarah, dan kesinambungan budaya manusia.
credit foto: Jenry Koraag, Ketua Dewan Kesenian Kota Manado.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini

















