Dengarkan Artikel
Oleh Rivaldi
Di negeri yang katanya beradab ini, Indonesia, ada satu hal lucu tapi tragis: seolah-olah dosa terbesar dan satu-satunya yang haram itu cuma babi. Ya, babi! Bukan korupsi, bukan kebohongan, bukan pemerkosaan keadilan, bukan perampokan uang rakyat. Babi jadi kambing hitam, sementara tikus berdasi berpesta pora di atas kemiskinan orang kecil.
Lihat saja, orang bisa ribut berjamaah kalau ada menu mengandung babi di pojok restoran. Tapi ketika pejabat korup nyolong miliaran, tanggapan masyarakat adem kayak kipas angin mati. Ulama dadakan muncul kalau ada konser musik, tapi pada bungkam saat uang bansos dikencingi pejabat bangsat. Di warung kopi, orang bisa ceramah panjang soal najisnya daging babi, tapi gak pernah risih sama najisnya sistem hukum yang bisa dibeli kayak barang diskonan.
Ini negeri aneh.
Makan babi haram, tapi nyogok polisi? “Yah, wajar, biar urusan lancar.”
Babi haram, tapi nyolong anggaran proyek? “Itu strategi pembangunan.”
Babi haram, tapi memperkosa moral bangsa tiap detik lewat televisi dan politik? “Itu bagian dari demokrasi katanya.”
Yang lebih lucu, bahkan ada pejabat yang bisa ceramah soal moral, ngutip ayat sana-sini, tapi di belakang meja, dia tanda tanganin proyek fiktif, lobi-lobi busuk, atau sekadar nambah istri hasil selingkuh. Tapi tetap suci asal gak makan babi.
Jadi, di Indonesia ini, haram itu bukan soal akhlak atau kejujuran. Haram itu cuma soal menu makan siang. Selama lo gak makan babi, lo masih bisa nyolong, nipu, manipulasi data, bahkan jual negara—asal lidah lo bersih dari bacon, lo tetap bisa jadi tokoh agama, caleg, bahkan pemimpin daerah.
Mungkin babi satu-satunya makhluk yang jujur: dia kotor, tapi gak munafik. Sementara manusia di negeri ini, bersih di luar, tapi najis di dalam.
Jadi, kita mau jujur atau terus pura-pura?
Karena di negeri ini, yang paling haram ternyata bukan babi, tapi kebenaran.